Bab 1. Nasibku yang Malang

5.2K 54 0
                                    

Aku berusaha bangkit dari rebah, meringis, sebab merasakan perih di salah satu bagian tubuhku. Berhasil duduk, kupandangi Bapak yang sedang mengaitkan kancing kemejanya.

"Dengar, ya, Setiawati. Jika kau melaporkan hal ini pada ibumu, pasti kau tahu ibumu yang bakal lebih menderita." Pria berjambang lebat itu menyeringai ke arahku, lalu melangkah ke luar kamar.

Setelah Bapak pergi, satu persatu kupunguti seragam sekolah yang tadi dibuka paksa olehnya. Sambil terisak, kupeluk erat pakaian putih abu-abu itu.

Nasib buruk sepertinya selalu menaungi kehidupanku dan Ibu semenjak meninggalnya Ayah. Sesudah Ayah tiada, Ibu harus membanting tulang demi membiayai kehidupan kami berdua.

Ibu bekerja sebagai buruh harian pengupas bawang di tokonya Pak Rustam, yang kini menjadi suami Ibu. Mungkin ibuku akan bahagia jika menjadi istri pertamanya bukan yang ketiga seperti saat ini. Wanita yang melahirkanku itu terpaksa menikah dengan Bapak setelah dihamili olehnya. Dari omongan warga yang pernah kudengar, mereka bilang Ibu dipaksa melayani Bapak. Jika tidak, Ibu tidak akan bisa bekerja lagi di toko itu.

Bagi sebagian orang, mendapat pekerjaan mungkin mudah. Namun, bagi ibuku yang tidak berpendidikan sungguh sangat sulit. Ibu hanya lulusan Sekolah Dasar. Belum lagi usia yang membatasi. Tentu dengan ancaman Bapak yang seperti itu, Ibu menjadi takut bagaimana kami hidup nanti jika dia kehilangan pekerjaannya.

Sesudah menikah, nasib baik juga tidak didapat Ibu. Ternyata Bapak seorang yang tempramen. Ibu kerap kali menjadi bulan-bulanan Bapak jika pria berkulit sawo matang itu sedang banyak pikiran atau banyak masalah.

Tak jarang pula aku mendapati wajah Ibu yang biru lebam akibat hantaman tangan Bapak. Namun, ibuku tidak berdaya dan lemah. Aku sendiri pun, tidak tahu bagaimana caranya melindungi beliau.

𝘛𝘪𝘨𝘢 𝘫𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮𝘯𝘺𝘢 ....

"Assalamualaikum." Langkahku memasuki rumah sehabis dari sekolah. Pintu terbuka, aku mendapati Bapak sedang mengembuskan asap rokok yang dia hisap. Kedua kakinya terangkat di atas meja kayu ruang tamu. Tatapannya mengarah ke langit-langit rumah yang tidak tertutup plafon.

Perlahan-lahan aku melangkah mendekat, meraih dan mencium tangannya. Tercium aroma tuak dari napas Bapak, berpadu pekatnya bau rokok. Aku benci bau itu, membuatku pusing dan mual.

Jika Bapak dalam kondisi ini, lebih baik aku menghindar. Sebab Bapak gampang terpancing emosi dan marah-marah. Ditambah lagi, saat ini aku hanya berdua saja dengannya. Tak kudapati sosok Ibu maupun adikku, Raka.

Bergegas aku melangkah ke kamar, menutup pintunya perlahan, berhati-hati. Aku tak mau deritnya sampai terdengar hingga ke ruang tamu.

"Setiawati! Buatkan Bapak kopi!" Bapak berteriak dari ruang tamu saat jemariku membuka dua kancing seragam sekolah paling atas.

"Baik, Pak." Aku pun terburu-buru keluar kamar, menuju dapur, meraih mug besar, lalu meracik kopi sesuai selera Bapak: satu sendok cembung kopi dan dua sendok gula, airnya yang dituang harus mendidih. Jika tidak, Bapak tak suka. Kopinya tidak masak katanya.

Setelah siap, kubawa kopi Bapak dengan nampan kayu, berhati-hati sekali supaya kopi itu tidak tumpah.

Kuletakkan nampan beserta isinya di atas meja tepat di hadapan Bapak. Tanpa kusadari Bapak memerhatikan kancing seragamku yang lupa kukaitkan kembali.

Sontak aku menutup kerah seragam dengan tangan, kemudian berlari ke arah kamar, meninggalkan Bapak yang masih menatapku dengan raut yang tidak bisa kutebak.

Sungguh aku menjadi lebih takut. Tatapannya sangat berbeda kali ini. Apalagi jika Bapak dalam kondisi mabuk.

Melangkah terseret menuju ranjang besi nomor tiga warisan mendiang Nenek—satu-satunya peninggalan dari Nenek yang berharga di rumah ini, itu menurutku—tak lupa aku mengunci pintu.

Baru sebentar saja aku duduk di tepian ranjang, pintu kamarku terbanting keras. Slotnya terlepas paksa, menimbulkan bunyi berdenting di atas ubin.

Bapak sudah berdiri di ambang pintu. Jakunnya naik turun. Bola matanya merah, menyorot ke arahku dari kepala hingga ujung kaki.

Aku berdiri, bergerak ke sudut ruang saat langkah Bapak kian mendekat dan sempoyongan.

"Apa yang Bapak lakukan? Bapak mau apa?"

Tak ada jawaban. Hanya sudut bibirnya yang menyeringai.

"Anakku ini cantik juga. Andai waktu itu kau yang kunikahi. Bukan ibumu yang peyot itu." Sungguh aku takut melihat ekspresinya.

Langkah Bapak semakin dekat dan itu semakin membuatku terpojok. Saat melihat ada celah untuk lewat, aku segera berlari. Namun, tangan Bapak berhasil menyambar lenganku. Menarikku dan mengempaskan tubuhku ke atas ranjang. Aku sungguh tak berdaya. Jerit memohonku pun tidak jua dia hiraukan.

Dengan semua tenaga yang kupunya, aku coba bangkit. Namun, lagi-lagi dengan kasar Bapak mendorong tubuhku. "Jangan, Pak!" Dengan telapak tangannya mulutku dibungkam.

"Diam! Sstt, diamlah. Atau jika tidak, ibumu akan kupukuli hingga berdarah-darah. Apa kau mau ibumu menderita, hah?!" Bapak mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku. Membuatku terpaksa menghirup aroma tuak itu.

Aku membuang muka tak mau melihat wajahnya sambil menangis. Namun, kelengahanku itu membuat Bapak merajalela. Bapak telah dirasuki iblis. Atau bisa jadi Bapak lah iblis yang sesungguhnya.

Aku tetap mencoba berontak, tetapi apalah daya. Tenagaku tak sekuat pria dewasa. Aku pasrah. Berdoa semoga Ibu cepat pulang.

Lihatlah anakmu ini, Bu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Aku menangis dalam diam. Irama derit ranjang warisan Nenek, masih berlomba dengan suara tangisanku. Hingga derit itu berhenti ketika Bapak melenguh untuk yang ketiga kalinya.

***

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang