Bab 10. Pernikahan

1.2K 30 0
                                    

Pernikahan kami dilangsungkan secara sederhana sesuai dengan permintaanku. Meski Bapak bilang dia sanggup mengadakan pesta tiga hari tiga malam, tetapi aku menolak. Toh, buat apa? Pernikahan ini hanya sebuah kedok untuk menutupi kejahatannya.

Namun, tetap saja tamu yang datang lumayan banyak. Bukan dari kampung ini, melainkan dari beberapa kampung sebelah. Tamu yang datang kebanyakan ialah teman Bapak atau orang-orang yang ingin mencari muka. Yah ... supaya bisnis yang mereka jalankan, tidak dipersulit oleh Bapak pribadi.

Lagi-lagi Retno menjadi tim sibuk. Namun, khusus hari ini dia banyak melayaniku saja. Seperti membantuku mengambil makan atau minum. Ketulusannya sungguh patut diacungi jempol.

Waktu kian bergulir memasuki petang. Tentu tamu yang datang semakin sedikit jumlahnya. Kebanyakan dari mereka berangsur pamit pulang.

Aku pun sudah merasa sangat letih. Retno mengantarku ke dalam kamar yang sudah disulap berhias dengan bunga warna-warni dan juga kain dengan warna senada. Khas kamar pengantin pada umumnya.

Ranjang warisan Nenek sudah berganti dengan tempat tidur nomor dua dari kayu jati. Satu set dengan lemari dan kaca berhiasnya.

Sejak tadi Retno mengagumi hiasan kamarku. Katanya nanti jika dia menikah, dia ingin hiasan seperti ini. Namun, dengan warna yang berbeda, ungu berpadu merah jambu, sesuai warna kesukaannya.

"Sekarang statusmu sudah berganti menjadi Nyonya Bayu." Retno setengah berbisik menggodaku. "Apa kau bahagia? Ini, 'kan, yang dulu pernah kau impikan?" Dia menjawil pipiku. Aku menggeleng melihat aksinya barusan.

Meski ada rasa sedih, tetapi aku tetap tersenyum. "Ternyata tidak seperti apa yang kukhayalkan selama ini. Jika dilihat dari dekat, Bayu wajahnya biasa saja. Tidak setampan perkiraanku. Sepertinya aku harus mengunjungi klinik mata." Rautku pura-pura kecewa.

"Alah ... bohong sekali. Sedari pagi kuperhatikan, gigimu hampir kering karena terlalu banyak tertawa di atas pelaminan tadi." Retno berdecak.

"Lah, terus, masak di depan tamu aku harus cemberut? Ada-ada saja kau Retno." Aku berkilah.

"Hmm ... kalau masalah mengelak, kau memang ratunya." Retno menggeleng.

"Bukan begi—" Ucapanku terhenti saat Bayu masuk ke kamar. Aku dan Retno saling lirik.

"Oh, kalian sudah di sini. Aku ingin bersalin pakaian." Bayu berjalan ke arah tas ransel yang terletak di sebelah lemari. Tas itu miliknya. Dia bilang isinya baju ganti.

"Kalau begitu aku keluar, ya, Setiawati." Retno ingin bergegas keluar.

"Tak usah," potong Bayu cepat. "Aku bisa ganti di bilik kamar mandi. Kau di sini saja. Temani dia." Setelah meraih satu setel baju, Bayu keluar kamar.

"Semoga kau kuat menghadapi sikapnya yang dingin itu." Retno berbisik setelah memastikan Bayu pergi menjauh.

"Ada ... satu hal yang ingin kuberitahukan padamu. Tapi, tidak sekarang," ujarku, juga berbisik.

"Sekarang saja. Jangan buat aku penasaran sepanjang malam." Retno memperlihatkan wajah masam. Nadanya setengah memaksa.

Aku menggeleng. "Terlalu beresiko. Besok saja. Kita bicarakan di bawah pohon jambu," ujarku lagi.

"Benar, ya?" Retno menagih.

"Pasti. Aku janji."

***

Jam dinding menunjukkan pukul 23.00 malam. Seluruh tamu serta keluarga yang menghadiri acara pernikahan kami, sudah pulang ke rumah masing-masing.

Sesungguhnya aku letih dan mengantuk. Namun, aku bingung memikirkan bagaimana aku dan Bayu berbagi tempat tidur.

Aku duduk di tepian tempat tidur saat Bayu melangkah masuk.

"Kau belum tidur?"

Aku menelan ludah gugup. "Aku terbiasa begadang." Aku berbohong. "Jika kau ingin tidur duluan, silakan." Aku menggeser duduk, bermaksud memberi ruang agar Bayu bisa mengambil tempat.

Bayu menutup pintu kamar. Setelah memastikan daunnya terkunci rapat, dia menuju tas miliknya. Aku melihat pemuda itu mengeluarkan selimut yang terbuat dari kain perca yang dijahit rapi.

Lantas, selimut itu dia bentangkan di atas ubin. Alisku bertaut.

Apakah dia ingin tidur di bawah? Hanya beralaskan selimut saja?

"Aku boleh pinjam satu bantal?"

"Ya."

Bayu mengambil satu bantal yang terdekat lalu merebahkan diri dan terpejam.

"Kau juga harus tidur. Begadang tidak bagus untuk tulang bayimu." Bayu berbicara meski matanya sudah tertutup rapat.

Aku nurut, perlahan meniru gerakannya, merebahkan tubuh yang lelah. Sebab acara hari ini sungguh menguras tenaga.

Namun, apa aku bisa terlelap? Bagaimana jika sewaktu aku tidur nanti, Bayu mendengar suara dengkuranku? Aduh, pokoknya aku tidak boleh tidur terlebih dahulu sebelum Bayu tertidur.

Akan tetapi, bulatnya tekadku terkalahkan oleh rasa letih. Sepuluh menit kemudian, rasa kantuk menyerang hebat, membuatku larut terbuai dalam dunia mimpi.

***

Sinar mentari masuk dari celah ventilasi udara. Sedikit menyilaukan mataku yang sempat terbuka, tetapi kupejamkan lagi karena pupilku tak tahan dengan cahayanya.

Jam berapa ini? Sepertinya aku kesiangan.

Jemariku meraba ke bawah bantal, tak lagi kutemukan jam beker tua milik almarhum Ayah.

Tentu saja aku panik, benda itu salah satu kesayanganku yang berharga. Dengan tergesa aku bangkit duduk. Ah ... ternyata jam itu berada di rak meja rias. Aku lupa bahwa kemarin, sudah kupindahkan ke situ.

Pantas saja aku merasa gerah, sekarang jam sebelas siang. Gila! Baru kali ini aku benar-benar kesiangan.

Aku mengedarkan pandangan. Mataku mulai terbiasa dengan perabotan dan suasana baru isi kamarku. Juga, kudapati tas ransel Bayu berada di sudutnya.

Kemana pemuda itu? Apakah dia pulang ke rumahnya? Tapi, kami, kan, sudah menikah?

Penuh rasa penasaran aku beranjak, mengintip dari celah gorden kamar. Kondisi dapur masih berantakan oleh susunan piring-piring dan gelas bersih yang dipakai di acara kemarin. Sepertinya Ibu juga kelelahan tak sempat menyimpannya kembali.

Aku melangkah perlahan, tak terdengar suara siapa pun. Bahkan suara adikku, Raka.

"Kau baru bangun?" Ibu terlihat keluar dari bilik kamar mandi, menyeka rambutnya yang basah dengan handuk jingga.

"Iya, Bu." Aku menjawab singkat. "Mana Bayu?"

"Suamimu pergi ke ladang sejak pagi. Padahal sudah Ibu cegah supaya beristirahat dulu di rumah." Ibu melangkah menuju meja makan, menyiapkan nasi beserta lauk-pauk ke dalam susunan rantang.

"Lekaslah mandi. Lalu makan dan antarkan ini untuk suamimu." Ibu memerintah sembari menyusun rantang tadi menjadi tiga susunan.

"Baik, Bu." Aku nurut. Meski mempersiapkan makanan untuk Bayu sudah dicoret dari list kewajibanku sebagai istri, aku akan tetap melakukannya jika Ibu yang memerintah.

Setidaknya, hubunganku dengan Ibu sudah membaik. Sikap Ibu padaku kembali seperti dulu. Walau, sorot matanya masih terlihat ada sedikit kecewa di sana.

Bergegas aku kembali ke kamar, mengambil handuk yang tersampir di belakang pintu lalu menuju bilik kamar mandi untuk membersihkan diri.

Tanpa kusadari aku mandi sembari berdendang. Kebiasaan rutin yang tak kulakukan beberapa bulan terakhir, kini kembali. Tersadar dan tersipu, aku menggeleng.

Setiawati, sadarlah. Yang kaujalani hanya pernikahan pura-pura.

***

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang