Bab 17. Suka Duka

487 24 9
                                    

Sepiker langgar yang berada di ujung desa, memperdengarkan suara orang mengaji. Lantunannya menarikku kembali ke alam sadar. Mataku berkedip-kedip, membiasakan retinanya menerima cahaya temaram.

Saat membalik badan ke kanan, kudapati Bayu juga telah bangun. Namun, ada yang aneh pada dirinya. Napasnya memburu. Jakunnya naik turun.

"Kamu kenapa, Bayu?" Aku bangkit duduk, menjulurkan tangan meraba dahi pemuda itu. Tak panas. Suhu tubuhnya seperti diriku. Untunglah. Aku takut sekali jika dia sampai sakit.

Tanpa diduga, Bayu meraih telapak tanganku, menempelkan di pipinya. Dia menggeleng. "Aku ... mencoba menahan diri."

"Untuk?"

Kulihat lagi dia menelan ludah. "Untuk tidak menyentuhmu." Ada rona merah di tulang pipinya. Mungkin dia malu mengungkap kejujuran barusan. Namun, aku senang, dia sudah terbuka tentang hal apa pun.

"Kenapa?" Ah ... bodoh. Aku baru saja keceplosan.

"Kata bapakku, kita menikah di saat kau sedang hamil. Dalam agama, pernikahan kita tidaklah sah. Setelah kau melahirkan nanti, kita harus mengucap ulang ijab kabul di depan penghulu dan dua orang saksi."

"Bukankah ... bukankah ... setelah aku melahirkan kita akan berpisah?"

Secara mendadak, Bayu menarik tanganku. Membuatku jatuh ke dalam pelukannya. "Aku telah mengubah pikiran."

Seperti ada yang menggelitiki perut, membuatku ingin terbang dan melayang ke langit-langit rumah.

"Setelah menjalani hidup beberapa bulan denganmu, aku pernah membayangkan bagaimana rasanya jika aku menghabiskan hari-hari tanpa kau bersamaku."

"Lalu?" Aku tersipu dalam pelukannya. Aku ingin mendengar kata manis lainnya dari pemuda ini.

"Sepertinya ... hidupku lebih berwarna setelah menikah." Aku semakin tersipu. Namun, rasa bahagia yang begitu membuncah, juga membuatku menangis terharu.

"Terima kasih, Bayu. Aku pikir, cintaku selamanya akan selalu bertepuk sebelah tangan." Aku bersuara di sela isak tangis.

"Dasar perempuan." Dia tergelak. Suaranya yang bariton, sungguh menggetarkan hati. "Aku bukanlah pemuda bodoh yang takut pada ancaman Pak Rustam. Sejak lama aku memperhatikanmu, Setiawati. Namun, setiap kali aku menatapmu, kau selalu membuang muka dan buru-buru menghindar. Untuk apa aku mengorbankan masa depan dan mimpiku, jika bukan untuk seseorang yang aku suka."

Tanpa segan, aku melingkarkan lengan ke pinggang Bayu. Segala beban dan nestapa yang mendera selama ini, seolah terangkat dalam sekejap setelah mendapati fakta barusan.

"Apakah aku boleh bertanya sesuatu?" Kali ini aku berani mendongak dan menatap sepasang matanya yang bening.

"Apa?"

"Apakah aku boleh melakukan ini?"

"Apa?"

Aku mendekatkan wajah dan mengecup sebelah pipinya. Bayu terdiam karena mungkin tak menduga akan aksiku barusan. Dia tersenyum, lalu aku tak menolak saat dia memagut bibirku.

***

Semakin hari, perlakuan Bayu terhadapku semakin manis saja. Dari hal-hal kecil sekalipun, dia sungguh perhatian. Apalagi yang menyangkut perihal keselamatanku.

Tentu aku bahagia. Kini, aku sudah punya gambaran tentang masa depan, bagaimana dan dengan siapa kelak kuhabiskan masa tua.

Di kusen jendela ruang belakang, aku termangu bertopang sebelah tangan. Saat ini aku sedang sendiri. Pak Santo dan Bayu sedari pagi sudah pergi ke ladang.

Pekerjaan rumah telah kuselesaikan semua. Lagipula aku hanya menyapu rumah, melipat baju dan masak saja. Sedang mencuci dan menjemur baju, sekarang menjadi tugas Bayu. Dia tak mau aku letih meniti anak tangga rumah panggungnya untuk menuju jemuran bambu yang terpancang di pekarangan belakang.

Mataku menatap langit mendung. Baju yang terjemur di halaman, tampaknya sudah kering. Aku akan mengangkatnya sebelum menyusul ke ladang untuk mengantarkan makan siang suamiku.

Ah ... suami. Sebuah kata yang mampu membuatku senyum-senyum sendiri dan tersipu malu.

Jam dinding menunjukkan pukul dua belas tepat. Baiklah. Sudah saatnya aku mempersiapkan bekal makan siang.

Aku membuka kukusan berisi nasi, menciduk isinya ke dalam dua buah wadah bekal, lalu menambahkan sepotong lele goreng dan tumisan toge tahu pada masing-masing tempat. Menu ini sesuai permintaan Bayu pagi tadi sebelum dia berangkat bekerja.

Duar!

Suara petir mengagetkanku. Centong nasi di tanganku terlepas, terpelanting hingga ke bawah meja makan. Hujan tanpa bisa diajak kompromi, turun dengan derasnya. Tetesannya terdengar berisik menimpa atap rumah.

Jemuranku? Aku setengah berlari menuju pintu, hendak menyelamatkan baju-baju yang telah dicuci Bayu pagi tadi. Alangkah kasihan jika suamiku harus mencucinya ulang akibat air hujan.

Akibat tak berhati-hati, kakiku tergelincir di anak tangga nomor dua paling atas yang licin karena tertimpa air hujan. Dalam hitungan detik tubuhku ambruk ke tanah dengan posisi perut di bagian bawah.

Dadaku sesak seketika. Sekuat tenaga, aku berusaha membalik badan. Aku tambah histeris ketika melihat darah mengalir dari sela-sela pahaku.

"Tolong!"

Aku berteriak-teriak. Posisi rumah Bayu yang berjarak jauh dari rumah tetangga, sama sekali tidak membantuku.

"Tolong!"

Sejam kemudian, untunglah sepasang suami istri lewat. Mereka membawa rumput untuk pakan ternak dengan sepeda ontel. Melihat aku sedang kesakitan bermandikan cucuran air hujan, mereka tergopoh-gopoh mendekat. Pasangan renta itu melemparkan daun pisang yang tadinya dipakai sebagai pelindung kepala. Mereka berusaha mengangkat tubuhku ke bawah emperan atap rumah.

"Bagaimana ini, Pak? Dia seperti mau melahirkan?" Si istri baru saja meraba perutku.

"Kita panggil bidan saja, bagaimana, Bu?"

"Iya, Pak. Bergegaslah! Kasihan bayinya."

Aku menahan tangan pria tua itu saat dia hendak beranjak. "Pak, tolong sekalian beritahu Bayu, ya, Pak."

"Baik." Pria itu tanpa ragu menerobos air hujan, menyingkirkan rumput dari sepeda, lalu mengendarai kendaraan beroda dua itu sekencang mungkin.

"Bertahanlah, 𝘕𝘥𝘶𝘬. Suamiku akan menjemput Bu Bidan dulu."

Badanku menggigil, akibat kehujanan dan juga menahan rasa sakit yang tidak berkesudahan.

Setengah jam kemudian, Bayu datang. Napasnya terengah-engah. Wajahnya pucat pasi. Dia dan juga Pak Santo yang menyusul di belakangnya, memindahkan tubuhku ke kamar.

Bu Bidan juga datang tak lama kemudian. Dengan bantuan ibu tua yang menemukan tubuhku pertama kali tadi, mereka membersihkan dan mengganti pakaianku.

Bu Bidan memasangkan infus. Dia juga mengecek jalan lahir. Katanya aku sudah pembukaan empat. Aku dipinta menunggu beberapa jam lagi hingga pembukaan benar-benar sempurna.

Aku menurut saja. Meski dalam hitungan, usia kandunganku masih delapan bulan. Aku pasrah saja. Juga demi keselamatanku.

Rasa sakit yang kurasakan, temponya semakin cepat. Dalam satu kesempatan, Bu Bidan memintaku untuk mengejan, menarik napas dan membuangnya secara teratur.

Saat rasa mulas itu datang hebat, aku mendorong bayi hingga berhasil keluar. Aku bisa bernapas lega saat Bu Bidan mengucap hamdallah.

Namun, aku merasakan keanehan. Tak ada rengekan atau tangis suara bayi. Bu Bidan juga tak memberitahuku apa-apa. Dia menatap sosok mungil yang ada di dalam kedua tangannya dengan pandangan kasihan.

"Bu, bayi Ibu sudah tidak ada. Jantungnya sama sekali tidak berdetak."

Ucapan Bu Bidan berhasil memancing Bayu menerobos masuk kamar. Dia memelukku dan berusaha menenangkan. Meski anak itu tidak kuinginkan, meski ayah biologisnya sangat kubenci, tetapi aku sudah terbiasa dengan tendangan dan sikutannya.

Rintik hujan pada atap rumah, turut mengiringi isak tangisku.

***

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang