Bab 9. Perjanjian

854 30 0
                                    

Acara lamaran berlangsung cepat. Tak banyak ucapan atau basa-basi dari kedua belah pihak keluarga sebab semua tahu, acara ini hanya formalitas semata.

Para tamu menyantap hidangan ala kadar yang sudah disiapkan Ibu. Retno turut membantu, menjadi tim sibuk. Dia bolak-balik ke ruang tamu dan dapur untuk menghidangkan kue-kue dan minuman ke hadapan tamu yang hadir.

Awalnya aku ingin membantu, tetapi temanku itu meminta agar aku diam saja. Jadi lah aku hanya duduk di sudut sendirian, sembari salah tingkah saat mendapati Bayu sesekali mencuri pandang ke arahku.

Memang aku pernah memimpikan menikah dengan pemuda baik itu. Namun, aku sama sekali tak menduga jika jalannya seperti ini. Apakah dia tahu bahwa dia hanya menjadi kambing hitam untuk menutupi aib keluargaku saja? Jika tahu, bukankah jarak di antara kami akan semakin tak terjangkau?

"Ikuti aku sebentar!" Aku mendekap dada. Tak menyadari jika Bayu yang sedang kupikirkan saat ini mendekat. Kuperhatikan dia bangkit, memberi kode agar aku mengikutinya ke luar rumah.

Aku sejenak diam, memikirkan hal apa yang ingin dia bicarakan. Tak membuang waktu lama, akhirnya aku beranjak, mengikuti geraknya.

Bayu berhenti di amben bambu belakang rumah. Sama sekali tak ada cahaya lampu yang menerangi. Hanya sedikit sinar rembulan yang turun ke bumi. Perlahan aku mendekat, berdiri di sebelah Bayu.

"Duduklah!" Bayu memerintah. Herannya aku nurut saja. Duduk dalam diam.

"Sepertinya kau ... tahu mengapa aku menikahimu." Bayu menghela napas berat. Suara baritonnya lirih terdengar. "Warga sekampung bahkan mengetahui perihal hutang ayahku pada Pak Rustam."

Hening.

"Kau juga tahu, aku masih bersekolah dan tidak bekerja. Tidak bisa membantu ayah melunasi hutang-hutang itu."

Aku tahu Bayu melirik ke arahku sebentar.

"Aku pikir, ada satu masalah dari keluargamu yang membuat Pak Rustam bertindak demikian. Ternyata kabar burung itu benar." Bayu melirik ke perutku. Aku semakin menunduk.

"Hal itu tidak masalah. Bagiku, kita berdua sama-sama sedang tidak beruntung." Lagi-lagi dia menghela napas. "Tapi, sudahlah. Aku ingin membuat perjanjian denganmu. Tidak di sini. Temui aku besok di ladang ayahku jam empat sore. Jangan lupa bawa kertas dan pena."

Bayu berdiri. Tanpa menunggu jawabanku, dia melangkah.

"Bayu, tunggu sebentar." Kuberanikan diri buka suara. Dia berhenti dan berbalik badan.

"Maaf." Hanya itu yang sanggup kuucap. "Kelak, suatu hari kau akan tahu keadaan yang sebenarnya."

Tergesa-gesa kutinggalkan Bayu dengan raut penuh tanda tanya. Di dapur hampir saja aku menabrak Retno yang sedang membawa gelas-gelas kotor.

"Lho, ternyata kau di sini. Tadi aku mencarimu." Retno meletakkan nampan ke atas meja kayu persegi empat.

"Aku ke kamar dulu, ya. Capek sekali." Aku mencoba menyembunyikan air mata yang menggenang. Namun, cairan itu terlanjur dilihat oleh Retno.

"Kok, kau menangis?" Retno menahan lenganku. "Ada apa?"

Bayu muncul dari pintu dapur tempat di mana tadi aku datang. Tanpa menoleh, pemuda itu terus saja melangkah ke ruang tamu. Pasti dia mendengar ucapan Retno barusan. Namun, dia seperti tidak peduli.

"Tidak apa-apa, Retno. Maaf, ya, nanti aku tidak bisa mengantarmu pulang. Tak apa-apa, kan? Aku ingin tidur lebih cepat."

Retno mengangguk, melepaskan lenganku. Dengan senyum terpaksa, kutinggalkan gadis itu sendirian di dapur yang masih terus menatapku dengan raut iba.

***

Pukul empat sore kurang sepuluh menit, aku berjalan perlahan menuju tempat janji temu antara aku dan Bayu. Ladang ayah pemuda itu yang terletak di ujung desa.

Meski ada jalan beraspal yang mulus dan jalurnya bikin lebih cepat tiba di sana, tetapi aku menempuh jalan lain. Jalan setapak sepi di antara pepohonan kayu jati.

Selain bisa menikmati udara yang segar, aku juga menghindari tatapan warga yang memandang kasihan ke arahku. Meski mereka tak berani terang-terangan berbicara di depan, tapi aku bisa membaca sorot mata mereka.

Aku mengetahui segalanya dari Retno tentang kabar apa saja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aku hamil. Tebakan warga pun tak jauh-jauh dari kebenaran. Bahwa aku dihamili oleh ayah tiriku sendiri. Seperti kejadian yang menimpa Ibu.

Aku sangat menikmati suasana sore ini. Tanpa kusadari, ternyata cukup lama aku mendekam di dalam kamar. Kulitku pun terlihat semakin memucat.

Tiba di ujung jalan setapak itu, pondok ladang keluarga Bayu sudah terlihat. Juga, tampak pemuda itu sedang duduk beristirahat.

Sebenarnya aku agak ragu mendekat, sebab Bayu bertelanjang dada, melepaskan kaosnya yang basah oleh keringat. Tapi, ah, sudahlah. Aku tak ingin membuang waktu.

"Bayu!" Aku menyapa serumpun pohon cabe rawit yang tak jauh dari kaki pemuda itu. Meski tak menatap ke arahnya, aku tahu Bayu agak tersentak. Tampaknya dia kaget karena kedatanganku. Aku menahan senyum. Akhirnya dia merasakan apa yang sering aku rasakan.

"Oh, kau rupanya." Bergegas dia memakai kaos yang tadi tersampir di bahunya. "Apa kau membawa apa yang kupinta?"

Aku mengangguk.

"Bagus. Ke marilah. Akan kujelaskan semuanya secara rinci."

Aku menyusul duduk di sebelahnya sembari menyodorkan kertas dan pena yang tadi malam dia pinta.

"Aku ingin membuat perjanjian denganmu sebelum kita menikah. Aku pikir ini penting karena kita berdua menikah karena keadaan yang memaksa." Bayu menatapku serius. Meski belum mengerti, aku mengangguk.

"Jadi ... jadi ... kita bisa berpisah setelah anakmu lahir. Alasannya nanti bisa kita bicarakan lagi. Aku dan kau masih muda. Masa depan kita masih panjang di depan. Apa kau mengerti?"

"Ya."

"Bagus. Sesuai keinginan Pak Rustam, aku hanya sebagai ayah formalitas dari anak yang kau kandung. Aku tak mempermasalahkan jika nanti namaku yang tercantum di akte kelahiran sebagai ayah kandungnya."

Setelah menjelaskan panjang lebar, Bayu mulai mencatat beberapa persyaratan yang dia inginkan. Sesudahnya, kertas itu dia serahkan padaku. Pemuda itu ingin aku membacanya.

Yang pertama dia tidak ingin perjanjian ini sampai diketahui orang lain. Yang kedua, tak ada kontak fisik antara kami setelah menikah. Yang ketiga, kewajiban-kewajiban antara suami-istri baginya tak perlu dijalankan. Semisal tugasku sebagai istri yang harus mempersiapkan makannya atau memasak atau mencuci. Pekerjaan itu bisa kami lakukan sendiri-sendiri.

Tanpa pikir panjang aku menandatangi surat itu meski masih ada beberapa poin lagi yang belum kubaca. Setelahnya kuserahkan pada Bayu. Pemuda itu juga menyusul membubuhkan tanda tangan.

"Sudah, 'kan? Aku pulang, ya?" Aku bangkit berdiri.

"Tunggu sebentar." Bayu menyusul berdiri, melipat kertas tadi dan memasukkannya ke dalam saku celana. "Biar kau kuantar pulang. Tak baik wanita sepertimu berjalan sendirian."

Sebelum pergi, dia merapikan perkakas berkebun, memasukkannya ke dalam pondok di ladang dan menguncinya. Bayu juga mencuci tangan, kaki dan muka dari air pancuran yang  berada tak jauh dari pondoknya itu.

Sedikit pun aku tak mengalihkan pandangan dari gerak-geriknya.

Tuhan, dari semua pemuda yang ada di desa ini, mengapa harus Bayu yang ikut menderita oleh ulah Bapak? Aku bergegas menyeka sudut mata sebelum Bayu melihat aku menangis.

***

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang