Bab 7. Terbongkar

1K 39 1
                                    

Kini memasuki bulan kelima aku tidak mendapat tamu bulanan. Perutku sudah terlihat membuncit. Namun, aku berhasil menutupinya menggunakan sweter yang diberikan Retno untukku. Entahlah. Hingga saat ini aku pun tak tahu rencana apa atau langkah apa yang akan kuambil.

Beberapa kali aku mencoba melakukan hal-hal yang bisa membun*h janin diperutku ini. Seperti lompat-lompat, berlari, mengangkat beban berat dan mengonsumsi makanan yang bisa memusnahkannya. Namun, dia kuat, tak gampang gugur seperti perkiraanku.

Untuk memberi tahu Ibu, aku belum punya cukup nyali. Lagian, jika dia tahu, apakah ibuku punya jalan keluar? Nyatanya malah akan menambah beban hidupnya.

Aku sedang bergulat dengan semua pikiran-pikiran itu, berbaring telentang di ranjang warisan Nenek. Kutatap dua ekor cicak yang sedang bercengkerama, yang berada di antara selipan dinding rumah. Seketika aku merasa muak melihatnya. Dengan sekuat tenaga, kulemparkan botol air mineral yang berada di atas nakas sebelahku, mengenai tepat ke arah makhluk itu, membuat mereka jatuh ke ubin.

Rasa muak tadi membuatku gerah, bergegas aku bangkit, melepaskan sweter dari badan. Sebab aib di perut ini, membuatku memakai pakaian yang seharusnya dipakai di musim dingin, sedangkan saat ini cuaca sedang terik dan panas.

Untungnya aku sudah menyelesaikan Ujian Akhir Nasional. Di saat teman-temanku merencanakan liburan setelah kelulusan atau membicarakan tentang masa depan mereka yang indah, entah itu untuk kuliah atau bekerja, sedangkan aku, aku masih di kamar ini, meratapi dan memikirkan masa depanku yang jelas-jelas berakhir suram dan tidak tahu bagaimana ending-nya.

Lagi, pikiran itu membuatku termenung. Aku duduk di tepian ranjang sembari mengayunkan kaki. Bahkan kehadiran Ibu di dalam kamar tak kusadari.

"Kok, melamun?" Ibu berdiri, menatapku.

Aku menggeleng, tergesa-gesa meraih bantal dan menutupi perut. "Tidak apa-apa, Bu. Setiawati hanya bosan."

"Kalau bosan lebih baik kau bermain bersama teman-temanmu di luar sana." Ibu melangkah, ikut duduk di tepian ranjang, tepat di sebelahku. "Ibu perhatikan, kau lebih banyak mengurung diri di kamar. Kenapa?"

"Sedang tidak ingin. Cuaca panas sekali." Aku mencari alasan.

"Iya, kau benar. Cucian Ibu bahkan sudah kering semua. Padahal baru dijemur dua jam yang lalu." Ibu berhenti sejenak. "Bagaimana dengan Retno? Tumben sudah dua hari dia tak datang ke sini?"

"Kemarin dia bilang ingin menginap ke rumah bibinya, Bu." Aku langsung ingat ucapan Retno tempo hari. Tersadar, ternyata hal itu juga sebagai penyebab mengapa aku uring-uringan saat ini. Seandainya keadaanku berbeda, mungkin aku ikut sahabatku ke sana seperti tahun lalu saat liburan kenaikan kelas.

Ah ... sungguh menyenangkan. Kami berlarian di pematang sawah, mandi di air sungai yang jernih, mencuci di sela bebatuan besar dan menikmati jagung bakar saat malam menjelang.

Kesenangan yang telah berubah menjadi kenangan itu membuatku sesak. Gemuruh di dada memacu air mata tumpah tak terkendali.

"Kau menangis?" Ibu menatapku heran.

Ah, kenapa, sih, air mata ini tak bisa dicegah? Namun, salah aku sendiri, terlupa akan keberadaan Ibu di sisi.

"Kemarilah." Tiba-tiba Ibu menarikku ke dalam pelukannya. Dia memelukku sangat erat. Akan tetapi semenit kemudian dia mendorong bahuku agak menjauh. Matanya menatap fokus ke arah perutku.

"Ibu baru menyadari kau agak gendutan sekarang, Nak." Alisnya bertaut. Tanpa kuduga tangan Ibu menyentuh perutku. Aku berusaha mengelak, tetapi Ibu sedikit memaksa. Aku pasrah sembari menggigit bibir. Apalagi janin itu seperti ingin mengajak neneknya bermain. Raut Ibu berubah. Matanya membeliak tatkala makhluk bernyawa di perutku mengeliat. Gerakannya bisa dirasai oleh tangan Ibu.

Ibu berdiri tiba-tiba, mundur beberapa langkah hingga punggungnya menyentuh dinding kamar. Tatapannya seolah tak percaya pada apa yang terjadi barusan. Ibu memandangku, lekat.

"Setiawati! Kau hamil?"

Hening.

Aku menelan ludah. Tak tahu kalimat seperti apa yang harus kuucapkan pada Ibu. Wajahku semakin menunduk, tatkala melihat Ibu yang seketika pucat pasi.

"Jawab Setiawati? Mengapa kau diam?!"

Aku masih bertahan dengan kebisuanku. Mungkin itu membuat Ibu geram. Bergegas dia mendekat, meraih bahuku dan mengangkat agar aku berdiri tegak.

"Pandangi muka ibu!"

Perlahan-lahan aku mengangkat wajah, memindai kerutan di kulit itu yang kian kentara oleh sebab dimakan usia dan beban hidupnya yang berat. Air mata juga mengucur deras dari sudut matanya. Bisa kah aku mengatakan perkara yang sesungguhnya? Sungguh aku tak bisa menambah kesedihan wanita yang sangat kucintai ini.

"Lekas katakan, Nduk! Siapa pemuda yang telah menghamilimu?" Ibu mengguncang bahuku dengan keras, sembari terisak dia luapkan kemarahannya dengan meremas lenganku sekuat tenaga. Setelahnya dia jatuh bersimpuh di hadapanku. "Tega-teganya kau mencoreng wajahku dengan kotoran. Lebih baik kau bunuh saja aku, Setiawati."

Bibirku membisu. Aku hanya bisa menatap wanita yang sudah melahirkanku itu dengan rasa bingung dan juga rasa sakit. Bagaimana caranya aku menjelaskan pada beliau bahwa yang menghamiliku adalah suami ibu sendiri.

"Ada apa ini, Bu? Kenapa ribut-ribut?" Bapak berdiri di ambang pintu kamar, bergantian menatapku dan Ibu.

Tanpa sadar kakiku melangkah mundur melihat Bapak. Dia lah penyebab penderitaan ini. Haruskah kubongkar kali ini? Aku menelan ludah, bersiap membuka mulut.

Namun, Ibu bangkit dari simpuhnya. Dengan sekuat tenaga dia layangkan pukulan ke lenganku. Dia luapkan segala amarahnya di sana. "Anak kurang ajar! Anak tidak tahu diuntung!"

"Ampun, Bu! Sakit, Bu!" Aku mencoba mengelak. Namun, tangan Ibu sebelah lagi mencengkeram lenganku, menguncinya. Membuatku tak bisa pergi ke mana-mana. "Sebenarnya ... sebenarnya yang menodai Setiawati adalah Ba ...."

"Sudah, Bu! Sudah!" Bapak memotong ucapanku sembari menarik Ibu menjauh. "Kasihan dia. Hal ini bisa kita bicarakan baik-baik. Bisa kita cari jalan keluarnya. Tindakanmu barusan bisa berbahaya. Bisa mencelakai anakmu dan janin yang dikandungnya."

Jijik, muak, dan benci. Mereka bersatu padu di dalam hati saat melihat raut Bapak yang seolah iba menatapku. Pria biadab.

"Sudah, ya, Bu. Ibu tenangkan pikiran dulu. Kasihan dia." Bapak membawa Ibu, memapahnya ke luar kamar. Ibu masih sesengukan. Sebelum melewati pintu, Bapak meraih daun pintu, menyeringai ke arahku, yang tentunya tak disadari Ibu, saat menutupnya.

Amarahku bergejolak. Darahku terasa mendidih. Kuraih benda apa pun yang terdekat, melemparkannya ke arah pintu tepat di mana wajah Bapak tadi berada.

"Arrggh!" Aku berteriak, meluapkan isi hati yang selama ini kupendam. Kali ini aku bebas melepaskannya. Meski tahu ada sebongkah hati wanita yang remuk saat ini, hancur berkeping bersama impiannya tentang masa depanku. Mimpi itu telah menguap ke udara setelah tahu bahwa aku, putrinya yang selalu dia banggakan dan selalu mendapat nilai terbaik di kelas, sudah membuatnya sedih dan menjadi aib baginya.

Maafkan aku, Ibu! Maafkan aku. Kelak, suatu hari aku akan membayar semua air matamu yang tumpah karena hari ini.

***

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang