Bab 8. Keputusan

964 39 3
                                    

Malam ini, aku diminta berbicara enam mata. Tentu saja Bapak yang merencanakan hal ini semua. Monster itu berada di balik topeng kepedulian, seolah dia yang sangat mengkhawatirkan masa depanku. Bajingan!

Meski Ibu sudah tidak menangis lagi, tapi dia tetap tak mau menatap wajahku, bahkan untuk menoleh ke arah bayanganku. Tatapannya kosong ke ubin di mana kakinya disandarkan.

Kami bertiga saat ini duduk di kursi ruang tamu selepas makan malam.

"Jadi begini, Setiawati. Bapak dan Ibu sudah mengambil keputusan akan segera menikahkanmu." Bapak tersenyum sok bijak, sembari menepuk pelan punggung telapak tangan Ibu yang duduk di sebelahnya.

"Menikah?"

Bapak mengangguk. "Tentu saja. Apa kau mau melahirkan dan membesarkan anakmu itu seorang diri? Apa kata warga sekitar nanti? Apa kau sanggup menerima caci dan cemohan dari mereka?"

Bapak berbicara dengan nada khawatir. Bagi yang mendengarnya tentulah merasa Bapak adalah sosok yang bijaksana.

"Kalau kau tidak ingin mengikuti keputusan kami, lebih baik kau angkat kaki saja dari rumah ini!" Kali ini Ibu yang buka suara. Ucapannya sangat sengit, penuh dengan kemarahan.

Jika aku pergi, ke mana lagi tujuanku? Sedang aku tak punya sanak saudara lain selain Ibu. Aku menggigit bibir, pedih.

"Sudah, Bu. Tenanglah. Jangan memperkeruh suasana." Bapak menenangkan Ibu. "Jadi bagaimana, Cah Ayu? Kau nurut, ya?"

Aku masih menggigit bibir, menahan rasa perih di dalam dada. Mau tidak mau aku mengangguk, pasrah pada skenario yang telah diciptakan Bapak.

"Bagus. Secepatnya kita urus pernikahanmu. Tenang saja. Bapak juga sudah mencari calon suami yang pas untukmu." Bapak tersenyum semringah.

Setelahnya Bapak berdiri. Dia masuk ke kamar, lalu lima menit kemudian keluar lagi telah berganti pakaian, memakai jaket kulit hitam dan pergi entah ke mana. Terserah, aku tak peduli.

Hening.

Kini hanya ada aku dan Ibu saja di sini. Kami masih duduk dalam kebisuan.

Oleh sebab Ibu seperti tak ingin berbicara padaku, aku berniat kembali ke kamar. Namun, Ibu bersuara ketika kakiku baru dua langkah meninggalkannya.

"Katakan sejujurnya, Nak! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung ...?" Suara ibu lirih. Tatapannya setengah memohon padaku, tidak garang seperti sebelumnya.

Sanggupkah aku mengatakan yang sesungguhnya?

***

Keesokan harinya Retno pagi-pagi sekali sudah bertandang ke rumah di jam tujuh pagi, membawakanku beberapa kue dan juga sedikit oleh-oleh dari bibinya.

"Bibi titip salam. Kata Bibi andai kau juga datang, pasti suasananya lebih ramai dan menyenangkan."

Aku tersenyum kecut, tidak menyahut. Terus saja kulanjutkan kunyahanku. Setelahnya aku membuang napas panjang-panjang.

"Oh, iya. Aku juga sudah dengar sesuatu." Retno melirik ke pintu kamarku yang terbuka. Dia tutup perlahan dan menguncinya, lalu kembali duduk di depanku.

"Aku sudah dengar dari Emak bahwa kau akan dinikahkan." Retno berbicara berbisik. "Kau tahu siapa pemuda itu?"

Aku menggeleng. "Aku tidak tahu. Biarlah Bapak dan Ibu yang mengatur semuanya. Aku ... sudah pasrah pada nasibku, Retno."

Bahkan untuk menangis saja aku sudah lelah. Bagaimana mungkin aku bisa berontak pada keputusan mereka berdua?

"Aku juga dengar dari Emak, bahwa keluarga calon suamimu itu punya hutang banyak pada bapakmu. Mau tidak mau, mereka harus menyetujui permintaan Pak Rustam untuk menikahkan putranya dengan kau. Jika tidak ... kau tahu sendiri akibatnya."

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang