Bab 21. Konspirasi Tetua Kampung

641 25 1
                                    

Aku dan Ibu kebingungan. Sehabis menumpahkan segala kesedihan dan juga rasa sesak dalam dekapan, kini kami tersadar bahwa Bapak tak juga bergerak.

Apakah dia mati? Apakah tadi pukulan Ibu merupakan malaikat pencabut nyawa baginya?

Aku menelan ludah, takut. Mataku bergantian menatap sosok Bapak yang tergeletak dan juga raut pucat Ibu. Aku mencoba menenangkannya melalui elusan pada lengan, meski pikiranku juga tak karuan.

Aku beringsut perlahan-lahan mendekati pria itu. Sedikit menunduk, aku meraba dada kiri Bapak. Sama sekali tak ada detak jantung. Jemariku beralih, ingin merasai embusan angin di depan liang hidungnya. Nihil. Bapak sudah tak bernapas lagi.

"Bagaimana ini, Setiawati? Ibu sudah membunuh dia. Ibu menjadi pembunuh, 𝘕𝘥𝘶𝘬!" Suara ibu bergetar.

Aku bertahan agar tidak tertular rasa panik. Aku menggigit kuku jari. Otakku kupaksa memikirkan jalan keluar.

"Ibu tunggu di sini. Aku mau panggil Bayu. Semoga dia punya jalan keluarnya."

Aku berlari sekuat yang aku bisa. Melewati pekarangan rumah, jalanan setapak, hutan pohon jati, lalu tibalah aku di ladang milik Pak Santo, ayahnya Bayu.

Bayu menatap heran tatkala aku berhenti di hadapannya dengan napas terengah-engah.

"Ada apa, Setiawati? Apakah sudah terjadi sesuatu?" Dia cemas, bergegas meletakkan cangkul lalu menangkup kedua lenganku.

Bukan hanya Bayu, Pak Santo juga turut mendekat. "Ada apa, Nak?"

Aku kira mudah sekali untuk mengungkap peristiwa yang baru saja terjadi. Namun, aku salah. Aku butuh waktu agak lama untuk meyakinkan diri bahwa aku juga tak punya jalan keluar sendiri.

"Ba-Bapak sepertinya ma-mati, Bay."

Detak jantung yang bertalu-talu kini bisa kurasakan manakala melihat Bayu dan Pak Santo menganga, saling pandang.

"Coba kau jelaskan pelan-pelan, Nak. Tarik napas yang dalam, lalu embuskan pelan-pelan." Pak Santo mencoba menenangkan.

Aku mengikuti perintahnya. Ternyata berhasil, akhirnya aku bisa menguasai diri.

"Tadi Bapak menipuku. Dia bilang Ibu sakit dan pingsan. Makanya aku ikut saja sewaktu dia menjemput." Aku gemetar. "Tapi, saat tiba di rumah, Ibu tidak ada. Bapak ingin memperkosaku lagi." Aku terisak.

Bayu menarikku dalam dekapannya. "Tenanglah. Kau sudah aman sekarang." Meski dia tidak menumpahkan sumpah serapah, tetapi aku bisa merasakan gemuruh amarahnya dari gemeletuk geraham.

Pak Santo pun tak bisa mengendalikan emosi. "Pria biadab. Tidak punya otak." Aku melihat tangannya mengepal.

"Lalu, bagaimana bisa kau bilang dia ... mati?" Bayu bersuara di pucuk kepalaku.

"Waktu Bapak mencekikku, Ibu datang. Ibu memukul kepala Bapak dengan balok kayu. Ibu yang sudah menyelamatkanku, Bay. Bagaimana ini? Aku tidak mau sampai Ibu masuk penjara." Aku kembali menangis.

"Tenang saja, Nak. Bapak akan mencari akal. Dia pantas mati."

Pak Santo bergegas, mencuci kaki tangan, lalu pergi entah ke mana. "Aku yakin bapakku bisa menemukan solusinya." Bayu seperti bisa menjawab tanya dari sorot mataku.

Bayu mengajakku duduk di pondok ladang. Dia memberiku segelas air putih. Aku meneguknya sampai habis.

"Kau tunggu di sini. Aku akan membereskan perkakas berkebun. Setelah itu kita pulang ke rumah ibumu."

Aku mengangguk.

Bayu bergegas, mengumpulkan cangkul dan parang, mencucinya di air pancuran di sudut ladang, lalu dia simpan ke dalam gudang sisi pondok.

"Ayo!"

Kami berjalan menuju rumah Ibu. Di antara kami tak ada yang sanggup bicara. Kami berdua larut dalam kebisuan dan pikiran masing-masing. Ketika langkah kami tiba di ujung jalan, terdengar pengumuman dari masjid yang tak jauh dari rumah Ibu."

"Innalillahi wa'inna ilaihi roojiun. Telah berpulang ke rahmatullah, Bapak Rustam yang berusia 55 tahun. Almarhum akan disemayamkan di rumah duka RT 21."

RT 21? Itu adalah alamat rumah istri pertama pria itu. Aku dan Bayu saling pandang. Dia mengulurkan tangan, aku menyambutnya kemudian kami berlari bersama.

Setiba di rumah Ibu, pintu terbuka lebar. Ada beberapa orang pria tetua desa, termasuk Pak Santo dan Ibu, duduk mengelilingi meja tamu.

"Kebetulan dia di sini. Silakan Bapak tanyakan saja langsung pada Setiawati." Pak Santo membuatku bertambah bingung karena pertanyaannya.

Pria berpeci hitam bermata sayu yang tadi diajak bicara ayah mertuaku, menatap serius. "Benarkan apa yang diceritakan bapak mertuamu, 𝘕𝘥𝘶𝘬?"

Aku menoleh lagi pada Pak Santo. Pria berwibawa itu mengangguk. "Ceritakan saja semuanya, Nak. Sedari awal."

Menuruti, aku menceritakan segalanya tanpa ada yang tertinggal. Ibu semakin menangis, mungkin baru mendengar kisah yang tak pernah aku ceritakan. Terdengar embusan napas panjang dari beberapa pria yang hadir di dalam ruang tamu ini.

"Dia pantas mati, Pak Cecep!" kata pria berbadan kurus berhidung pesek. "Kelakuannya kayak binatang. Anak saja dikangkangi juga."

Pak Cecep alias si kepala desa manggut-manggut setuju. "Baiklah kalau begitu. Anggap saja apa yang kita lakukan tadi sudah benar." Terdengar embusan napas lega dari tiap insan yang ada.

Pak Cecep kemudian menoleh pada Ibu. "Ibu juga harus tutup mulut akan kejadian ini. Jangan sampai Ibu keceplosan dan membongkar semuanya." Dia berdiri. "Saya rasa pertemuan kita cukup sampai di sini. Saya juga menganggap, rapat hari ini tidak pernah terjadi." Lantas pria itu pergi bersama beberapa pria lain. Yang tersisa hanya aku, Pak Santo, Bayu dan Ibu serta Raka yang sedang tertidur pulas di kamar.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?" Bayu lebih tak sabar dari pada aku untuk menanyakan kejadian ini. "Ke mana Bapak tadi?"

Tak langsung menjawab, Pak Santo menutup pintu terlebih dahulu. Dia kembali lagi duduk di sebelah putranya.

"Tadi, Bapak menemui kepala desa sebelum ke sini. Bapak meminta pendapat darinya yang mengerti hukum. Bapak ceritakan semuanya. Tentu dia marah. Atas idenya, semua berjalan seperti semestinya." Pak Santo menjelaskan panjang lebar.

"Aku masih belum paham, Pak." Bayu mengerutkan dahi.

"Jasad si Rustam kami pindahkan ke jalanan sepi. Kami rekayasa seolah-olah dia menabrak pohon dalam keadaan mabuk. Kau lihat pria bercaping tadi?"

Bayu mengangguk.

"Dia bersedia menjadi saksi palsu. Dia mau menyatakan bahwa melihat sendiri saat Rustam menabrak pohon dan kepalanya menghantam batu."

"Bukankah memberi kesaksian palsu, merupakan perbuatan tidak benar, Pak?"

"Awalnya kami tidak punya ide untuk itu, tapi dia sendiri yang mengajukan diri."

"Kenapa?"

"Dia punya dendam pribadi, Bay. Anaknya nomor dua, juga pernah digagahi Rustam saat bekerja di toko bawang miliknya. Gila! Dia pantas mati," ujar Pak Santo menggebu-gebu. "Dia juga kasihan pada ibu mertuamu. Katanya ibumu ini sudah menderita. Jangan sampai tambah susah karena dipenjara. Katanya lagi biarlah dosa kebohongan itu dia yang tanggung sendiri."

"Kalian jangan khawatir. Saksi asli yang melihat saat Rustam membonceng Setiawati ke sini, dijamin tidak akan berkoar. Mereka malah bersyukur atas kematiannya. Mereka juga tertindas oleh si lintah darat itu." Pak Santo meyakinkan.

Aku menangis. Ibu juga. Bukan, bukan tangisan penyesalan atau pun duka nestapa. Kami menangis karena sudah bisa bernapas lega, terbebas dari rasa ketakutan dan teror yang selama ini telah diciptakan Bapak.

Mungkin tak beradab rasanya jika kami berbahagia di atas kematian seseorang. Namun, aku yakin siapa pun tidak ingin merasakan nelangsa yang pernah dialami aku maupun Ibu.

***

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang