Bab 4. Terulang Kembali

2.3K 37 5
                                    

Sesungguhnya, ingin kukatakan pada Retno bahwa aku ingin mengikuti dia lagi ke rumah. Namun, ancaman Bapak tadi malam sepertinya tidak main-main dan tidak boleh disepelekan. Aku harus mencari cara baru agar diri ini aman.

"Retno, nanti apa kau mau main ke rumahku?" Kutanyai gadis itu saat lonceng pulang sekolah berbunyi.

Retno menghentikan gerakannya. "Um ... belum tahu. Memangnya kenapa? Apa di rumahmu ada acara?"

"Tidak. Tapi, aku selalu kesepian selama di rumah menjelang ibuku pulang." Aku berbohong. "Sesekali temani aku, ya? Nanti aku masakin mi nyemek yang biasanya aku bawa ke sekolah."

Mata Retno berbinar. Dia sangat menyukai mi nyemek buatanku. "Tapi, aku pulang dulu ke rumah, ya. Minta izin Emak dulu."

"Boleh. Aku antar, ya?"

Retno mengangguk. Setelahnya kami berjalan bergandengan keluar kelas dengan riang. Kami bersenandung bahagia meski bersumber dari hal yang berbeda. Mungkin Retno bahagia nanti bisa mencicipi mi nyemek kesukaannya, sedangkan aku, aku bahagia sudah mencari jalan keluar untuk hari ini. Ya. Hari ini aku aman. Aman untuk tidak bersama monster yang tinggal satu atap denganku.

***

Benar saja. Setibanya aku di rumah membawa Retno, muka Bapak masam. Sudut bibirnya tertarik ke bawah, pertanda tidak suka.

Lima menit kami menginjak rumah, Bapak pergi. Katanya mau menagih ke rumah salah seorang peminjam. Aku menerka-nerka. Siapa kah kali ini yang akan menjadi pelampiasan kemarahan Bapak?

"Ayo, aku sudah lapar, nih." Retno mengingatkanku pada tujuannya datang ke rumah.

"Iya, iya." Aku hampir tergelak. "Aku ganti baju dulu sebentar."

"Baiklah." Retno mengambil tempat duduk pada kursi rotan di ruang tamu. Kutinggalkan dia sendirian di sana. Aku bergegas bersalin pakaian, mengganti seragam sekolah dengan rok selutut dan atasan cokelat berbahan kaos.

"Hayuk, kita langsung kedapur saja." Kusapa Retno yang sudah berdiri sembari menatap potret di sudut ruangan. Dia mengangguk, lalu mengikuti langkahku menuju bagian belakang rumah.

***

"Cabenya berapa, sih?" Retno ber-'huha' ria. Keringat mengucur di wajahnya, sebagian ada juga mencuat di hidung.

"Sepuluh." Aku nyengir.

"Pantas!" Retno meraih teko di hadapan kami, lantas menuangkan isinya ke gelas dan meneguk dalam hitungan detik hingga isi gelas itu habis.

Setelah memasak mi nyemek, kami menikmatinya di pekarangan belakang rumah. Di atas amben bambu buatan almarhum ayahku yang masih berdiri kokoh. Di sini adalah tempat favoritku, sebagai tempat membaca atau menghafal pelajaran sembari menikmati angin sepoi yang berembus. Gemerisik daun bambu juga menambah kesyahduannya.

"Aku habiskan, ya?" Retno menuangkan isi terakhir di dalam baskom kecil berwarna biru ke pinggannya.

"Tadi katanya pedas?"

"Tapi enak." Retno kembali makan dengan lahap saat rasa pedas di mulutnya berkurang. Namun, setelah lima suapan, dia kembali ber-'huha' ria. Tentu saja aku tak bisa menahan tawa.

AIB (Hamil Anak Bapak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang