#DRC2021
#DomesticRomanceCompetition2021Judul: Be Human
Penulis: Ardyah AyuBab 1
"Apa, Dok? Dokter salah, 'kan? Itu pasti hasil dari pasien lain!" Bibir merah jambu itu bergetar ketika mendengar diagnosis dokter. Ia menggeleng pertanda penolakan, tak mau mengakui kondisinya yang sebenarnya.
Setelah suaminya didiagnosis positif, Danisa langsung melakukan tes untuk memastikan. Namun, ucapan dokter justru membuatnya seperti berada pada sudut ruangan yang gelap. Tak ada berkas cahaya lagi dalam hidupnya.
"Tetap semangat, Bu. Ibu masih bisa hidup dengan normal." Pria berjas putih itu berusaha memberikan rangkaian kata penghiburan meskipun sia-sia.
Perempuan itu sudah pupus harapan, dunianya luluh lantak. Ia tak tahu lagi bagaimana caranya menatap dunia. Ia keluar dari ruangan yang didominasi warna putih itu seperti orang linglung. Berjalan tak tentu arah, terus melangkah hingga bertemu dengan tangga menuju lantai atas. Menapak perlahan tangga demi tangga, hingga tampak langit biru. Kini, ia berada di rooftop gedung rumah sakit.
Kakinya terus melangkah menuju pinggir gedung, lalu naik ke pagar pembatas. Membentangkan tangan seperti burung yang ingin mengepakkan sayap untuk terbang. Ia telah siap mengakhiri semuanya, tetapi ....
"Kamu gila, yaaa? Kalau mau mati, jangan di depan orang lain, tahu!" Terdengar suara lelaki pemilik lengan kukuh yang masih mendekapnya erat.
Ada seseorang yang menarik perempuan itu dan menjauhkannya dari jangkauan sang Malaikat Maut. Mereka terjatuh berdua, dengan si lelaki asing sebagai tumpuan.
Danisa mendorong tubuh beraroma musk itu sekuat tenaga. "Iya, aku emang gila! Biarin aku mati, hidupku udah berakhir!" teriak perempuan itu dengan derai air mata.
"Kamu pikir mati itu enak, haaah? Udah bawa bekal apa kamu? Dosa bejibun juga sok-sokan mau mati!"
"Kamu enggak tahu apa yang aku alamin!"
"Ya udah, sono kalau mau mati! Aku mau turun, biar enggak lihat orang bodoh mati sia-sia!"
***
"Ini lolipop buat Tante Cantik!" Seorang bocah perempuan berpipi tembam menghampiri Danisa yang sedang menyapu halaman. Ia mengulurkan satu lolipop ke arah perempuan muda tetangga sebelah rumahnya.
"Ah, makasih, Cantik!" Danisa berjongkok, menyejajarkan badannya dengan si gadis kecil.
"Shafa boleh main sama Tante Cantik?" Manik polos itu menatap penuh harap.
"Memangnya teman-teman Shafa ke mana, Sayang? Kok, tumben Shafa main sendirian?"
"Enggak tahu, Tante. Sejak tadi Shafa main sendirian," jawab gadis kecil bermata belok itu sambil menunduk sedih.
"Oh, gitu. Hem ... mama Shafa ke mana, Sayang? Emangnya udah izin ke mamanya kalau mau main sama Tante?" Ada keraguan yang terselip di benak Danisa sebelum menyetujui permintaan gadis berusia lima tahun di hadapannya.
Danisa masih berusaha menjaga jarak, ia tak berani menyentuh Shafa meskipun aslinya ia sudah gemas ingin mencolek pipi tembamnya.
"Mama tadi sedang masak, Tante. Enggak bisa main sama Shafa."
"Shafa pulang dulu, ya. Minta izin sama ...."
Belum selesai ucapan Danisa terlontar, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah luar pagar.
"Shafaaa! Pulang sekarang!" Mama gadis kecil itu menghampiri dan menggandeng paksa tangan putri mungilnya tanpa permisi.
"Shafa mau main sama Tante Cantik, Ma!" Shafa terisak-isak, terpaksa mengikuti langkah wanita yang melahirkannya ke dunia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Be Human
RomanceTentang perjuangan seorang perempuan yang menjadi inang virus mematikan dan melawan stigma di masyarakat.