Bab 11

1 0 0
                                    

'Bruk!' Terdengar sesuatu terjatuh di ruang depan.

"Nyonya!" teriak Bi Ijah.

Danisa dan Arya bergegas menuju sumber suara. Mereka terkejut ketika mendapati Ranti terbaring tak sadarkan diri. Penolakan Bram membuatnya terluka. Ia hanya seorang ibu biasa yang tak sanggup menahan kebencian dari darah dagingnya sendiri.

"Tante? Tolong bangun, Tante!" Arya mengoles minyak angin di kening dan di hidung Ranti, berusaha menyadarkannya.

"Dibawa ke kamar tamu aja, Mas," saran Danisa.

Tubuh Ranti dibopong Arya menuju kamar tamu yang berada di lantai satu. Setelah memastikan Ranti aman dan nyaman, tangan Arya meraih telepon yang terletak di nakas. Ia akan menghubungi Dokter Ari--dokter pribadi sekaligus sahabatnya.

"Tante Ranti pingsan, tolong ke sini segera, ya!" Arya menutup telepon sambil meremas rambutnya sendiri.

"Aku akan buatin teh hangat buat Tante Ranti dan kamu, Mas." Danisa akan beranjak, tetapi dicegah oleh Arya.

Tangan lelaki itu menggenggam erat jemari lentik perempuan yang mampu membuat hari-harinya penuh warna. "Enggak usah, minta tolong Bi Ijah aja, ya. Temenin Mas di sini."

Danisa mengangguk dan berlalu sebentar untuk minta tolong kepada Bi Ijah, lalu kembali duduk di samping sang suami. Arya kemudian menyandarkan kepalanya di pundak Danisa, menunjukkan dirinya yang rapuh.

Melihat Ranti terbaring lemah, membangkitkan trauma masa lalu. Ia takut kehilangan yang berulang. Meskipun sering membantah nasihat sang tante, Arya tetap menyayangi Ranti. Tak ubahnya kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya sendiri. Arya sadar bahwa Ranti telah banyak berkorban untuknya.

Ketika Arya kecil sakit, Ranti selalu telaten merawatnya. Ketika mimpi buruk mengganggu malam, Ranti selalu bergegas datang dan menenangkannya. Wanita itu selalu membacakan cerita pengantar tidur agar tidurnya lelap dibuai mimpi indah.

Danisa tahu apa yang dirasakan oleh suaminya. Meskipun terkadang ucapan Arya tajam kepada sosok yang belum sadarkan diri, lelaki itu begitu menyayanginya. Terlihat dari tatapan yang menyiratkan kekhawatiran.

"Gimana dengan keadaan Mama, Ya?" Angga tiba-tiba menerobos masuk dengan napas terengah-engah.

Angga baru saja pulang dari kantor. Hari itu ada banyak berkas yang harus ia pelajari, sehingga membuatnya terlambat pulang. Ia belum tahu tentang kepulangan Bram. Ketika sampai pintu gerbang, Pak Dirman mengabarkan bahwa mamanya pingsan dan belum sadarkan diri.

"Kenapa Mama bisa pingsan, Ya?" tanya Angga sembari menciumi tangan wanita yang melahirkannya ke dunia.

"Aku juga enggak tahu. Aku tadi sedang beresin meja makan sama Danisa, terus tahu-tahu Bi Ijah teriak."

"Permisi, Den, Non. Ini teh hangatnya." Bi Ijah datang sambil membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat.

Ketiga pasang mata langsung menatap wanita tua itu penuh tanya. Hanya wanita itu yang tahu penyebab Ranti pingsan tiba-tiba.

"Bi, tadi Mama kenapa bisa pingsan? Habis dengar berita apa?" Angga langsung melakukan interogasi.

"Eh, tadi itu ...." Bi Ijah bingung harus mengatakan apa, khawatir akan memancing keributan jika ia salah bicara.

"Ada apa sebenarnya, Bi? Jangan berbelit-belit." Angga hilang kesabaran.

"Tadi Den Bram datang ...."

Belum sempat Bi Ijah menyelesaikan kalimatnya, Angga langsung memotong tak sabar. "Bram? Di mana dia sekarang?"

"Di ruang kerja Tuan Tedy, Den."

Angga langsung melesat menuju ruang kerja papanya. Ia membuka pintu dengan kasar. Emosinya telah naik ke ubun-ubun.

Ketika pintu terbuka, ia melihat sang adik sedang duduk sambil tertawa santai bersama papanya. Seakan-akan kondisi sedang baik-baik saja.

"Braaam!" teriak Angga, membuat kedua kepala langsung menoleh dan menatapnya bingung.

"Ada apa, Ngga, kok teriak-teriak?" tanya Tedy tenang.

Lelaki yang lebih muda setahun daripada Arya itu bukannya menjawab, malah langsung meraih kerah baju sang adik. Meluapkan emosinya yang sejak tadi tertahan.

"Tunggu, tunggu! Ada apa ini, Brother? Adik datang jauh-jauh bukannya disambut ramah, malah kayak mau diajak perang," tanya Bram santai, dengan raut wajah tanpa dosa.

"Kamu, kan, yang bikin Mama pingsan?" tuduh Angga sambil menyorot tajam. Ia belum melepaskan kerah Bram dari cengkeramannya.

"Oh, ini yang bikin kamu marah? Santai aja kenapa, palingan bentar lagi sadar. Enggak usah lebay gitu!" Bram melepaskan cengkeraman sang kakak dari kerahnya dengan paksa. Ia mengibas-ngibaskan tangan pada bajunya, seperti membersihkan kotoran yang menempel.

Tangan Angga mengepal mendengarnya. Ia sudah bersiap memberikan bogem kepada wajah tampan di depannya, tetapi ...

"Udah, Ngga! Tante Ranti tambah sedih kalau kalian berantem." Arya tiba-tiba datang dan menarik badan Angga agar membatalkan niatnya.

Arya menarik Angga keluar ruangan. Ia mengajak sepupunya itu duduk, lalu menyodorkan air putih. "Minum dulu, tenangin diri. Kita tunggu Ari datang dan meriksa kondisi Tante Ranti."

Tak berselang lama, terdengar mobil memasuki halaman. Lelaki berkacamata itu turun dan bergegas masuk melalui pintu yang terbuka lebar. Ia melangkah menuju ruang tengah, tempat Arya dan Angga duduk menunggu.

"Tante Ranti di mana?" tanya Dokter Ari tanpa basa-basi.

"Di kamar tamu. Ayo, kita ke sana!" jawab Arya sambil bergegas menuju ruangan yang dimaksud.

Terlihat Danisa sedang memijat kaki wanita yang masih belum sadarkan diri. Pemandangan itu membuat Arya makin bersyukur memiliki Danisa sebagai istri. Perempuan itu masih saja mau berbakti meskipun hatinya telah disakiti berkali-kali oleh Ranti.

Danisa tahu, bahwa tanpa Ranti, Arya tak akan bisa bertahan hingga sejauh ini. Oleh karena itu, ia berusaha berterima kasih dengan caranya sendiri.

Be HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang