Bab 7

7 1 2
                                    

Kendaraan roda empat berwarna hitam memasuki kawasan perumahan mewah. Memasuki setiap belokan dengan gagah, lalu berhenti di depan rumah bergaya klasik. Manik cokelat menatap takjub pemandangan yang menyambutnya. Ia menggenggam tangan sang suami untuk memastikan.

"Mas, ini beneran rumah Tante Ranti? Duh, kok aku jadi ragu, ya," ucap Danisa sambil menunduk.

Arya tersenyum dan mengusap pucuk kepala istrinya yang tertutup kerudung abu-abu. "Kan, udah nyampe sini. Mas temenin, kok. Tenang aja, ya," jawab lelaki itu sambil tersenyum menenangkan.

Mereka turun dari mobil dan melangkah mendekati pagar. Arya memencet bel di sisi kiri. Seorang security menyambut mereka dengan senyuman.

"Eh, Mas Arya. Udah lama enggak ke sini, saya jadi pangling."

"Iya, Pak Dirman. Saya tinggal di rumah sendiri. Oh iya, Pak, saya udah menikah. Kenalin, ini istri saya."

"Salam kenal, Pak. Saya Danisa," ucap istri Arya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Pria yang rambutnya telah memutih itu membuka gerbang besi dan mempersilakan Danisa dan Arya untuk masuk. Pasangan pengantin baru itu kembali ke mobil dan memasuki pelataran yang luas.

Terdapat beberapa mobil mewah berjajar rapi di garasi yang terletak di sisi kanan. Garasi itu mengusung konsep terbuka, tanpa adanya dinding penyekat pandangan. Hanya terdapat atap untuk melindungi para kuda besi dari terpaan panas dan hujan. Seakan-akan sang tuan rumah ingin menunjukkan koleksinya kepada setiap tamu yang datang.

Deretan mobil itu tak luput dari pandangan Danisa, ia makin merasa rendah diri. Ia menggenggam tangan Arya erat, ragu untuk turun dan menapak ke pelataran. Kepercayaan dirinya tiba-tiba merosot tajam.

"Mas, pantas aja Tante Ranti tak menyukaiku, kita berbeda jauh," ucap perempuan itu sembari menunduk.

Arya menatap istrinya sembari tersenyum. "Apakah itu penting?"

"Aku ...." Ucapan Danisa terhenti ketika telunjuk Arya bertengger di bibirnya.

"Bagiku, kamu adalah harta paling berharga yang aku punya," ucap Arya sembari mencium kening istrinya dengan lembut.

Lelaki itu bergegas turun, lalu jalan memutar dan membukakan pintu untuk sang istri yang masih terpaku. "Ayo turun, Sayang." Arya langsung menggamit tangan Danisa. Rupanya, istrinya memang sangat gugup, tergambar dari tangannya yang dingin seperti es.

Perempuan itu akhirnya menuruti titah sang suami. Ia melangkah perlahan, hingga sampai di depan pintu kayu bercat putih. Pintu itu berdiri gagah di depan mereka, seperti dua pengawal yang menjaga kediaman seorang raja.

Arya memencet bel yang terdapat di sisi kanan pintu. Terdengar derap langkah menghampiri, lalu pintu besar itu terkuak dari dalam. Memperlihatkan ruangan luas seperti gedung pertemuan.

"Den Arya! Bibi kangen, Den." Seorang wanita tua yang baru membuka pintu terkejut dengan tamu yang baru datang. Ia memegang lengan Arya penuh haru. Mata tuanya menggenang, terpancar kerinduan yang begitu dalam.

"Maafkan Arya, Bi. Bi Ijah sehat?" Arya mencium tangan wanita itu penuh hormat.

"Alhamdulillah sehat, Den. Eh, iya, kok malah berdiri di sini. Ayo masuk, nanti Bibi panggilkan Nyonya Ranti."

Sebelum Bi Ijah berbalik, Arya menyentuh pundaknya, mencegah wanita itu bergegas pergi. "Bi, ini istri Arya. Namanya Danisa."

Bi Ijah berbalik dan menatap sosok di samping Arya. "Oalah, enggak lihat ada perempuan cantik di sini. Maafin Bibi, Non." Wanita yang mengasuh Arya sejak kecil itu memeluk Danisa penuh kehangatan.

"Enggak apa-apa, Bi," jawab Danisa sambil membalas pelukan Bi Ijah. Hati perempuan itu sedikit lega, setidaknya ada sosok hangat di rumah besar yang sempat membuatnya ragu untuk melanjutkan langkah.

Danisa dan Arya kemudian berjalan masuk dan mengikuti Bi Ijah, melintasi bagian depan dan berhenti di ruangan tengah yang tak kalah luas. Di ruangan itu terdapat sofa putih besar yang saling berhadap-hadapan. Terdapat foto keluarga yang dicetak besar, tersemat di dinding berlapis wallpaper premium. Ada dua keluarga dalam foto tersebut.

"Itu yang duduk di depan, mama dan papaku. Aku sedang dipangku Mama," ucap Arya sambil menunjuk foto keluarga yang sejak tadi diamati oleh istrinya.

Mata Arya sedikit menggenang ketika menatap foto kedua orang tuanya. Meskipun sudah lama berlalu dan tak banyak kenangan yang tercipta karena waktu yang terlalu singkat, setiap lembar cerita indah bersama mereka akan selalu abadi dalam ingatan.

Danisa memeluk suaminya tanpa kata, berusaha menyalurkan kekuatan. Ia tahu bahwa saat ini Arya sedang berada pada titik rapuh. Kehilangan orang yang disayangi, memang tak mudah.

"Ya, udah lama? Kenapa enggak manggil Tante ke atas?" Kedua insan yang sedang dibuai lamunan kembali ke alam nyata dan menoleh ke arah sumber suara.

"Barusan, Tante," jawab Arya sambil menyeka matanya yang sedikit menggenang.

Bagi lelaki, air mata terkadang dijadikan simbol kelemahan. Namun, lelaki juga merupakan manusia biasa yang bisa rapuh dan meluapkan perasaan.

Arya menggenggam tangan istrinya, mengajaknya untuk menghampiri wanita yang sedang berdiri di dekat tangga. Lelaki itu mencium tangan tantenya penuh hormat, diikuti oleh Danisa. Namun, niat baik perempuan itu tak mendapatkan balasan. Ranti malah berlalu, membiarkan tangan Danisa tak mendapat sambutan.

Arya memeluk perempuan yang baru saja mendapatkan penolakan. Kembali menggenggam tangannya dan melangkah, menuju sofa tempat Ranti telah duduk dengan anggun.

"Malam ini menginap di sini, ya? Kamu, kan, udah lama enggak ke sini."

"Hem ...." Arya ragu untuk memberikan jawaban karena tahu bahwa sang istri pasti tak akan merasa nyaman. Namun, ia juga rindu akan kenangan masa kecilnya di rumah itu. Tempat dirinya dilahirkan dan dibesarkan, meskipun penuh cobaan.

"Boleh, kan, suamimu menginap di sini? Tentu aja sama kamu." Seakan-akan tahu bahwa hanya Danisa yang bisa membujuk Arya, akhirnya Ranti bertanya kepada perempuan yang duduk di sebelah keponakannya.

"Ten-tu aja, Tante," jawab Danisa lirih. Meskipun tak nyaman, ia harus berusaha bertahan, demi tergapainya restu dari keluarga Arya.

Be HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang