Bab 2

16 5 2
                                    

#DRC2021
#DomesticRomanceCompetition2021

***

"Lho, Bu Marni mau ke mana? Mau belanja di tukang sayur juga?" tanya Surti ketika melihat ibunya Danisa berjalan menuju gerobak tukang sayur. Wanita berdaster merah itu sedang menuju ke arah yang sama.

Tukang sayur sudah dikerumuni oleh ibu-ibu. Mereka sibuk memilih dan memilah belanjaan, sambil diselingi obrolan ringan. Keasyikan mereka teralihkan dengan suara Surti yang memekakkan telinga. Pandangan mereka ikut tertuju kepada sosok yang berbincang dengan Surti.

"Iya, Bu. Kebetulan stok di kulkas udah habis," jawab Marni sembari tersenyum.

"Eh, Bu Marni tunggu aja di sini, jangan ke sana! Emange mau belanja apa? Biar diambilkan Pak Bejo." Pak Bejo adalah nama tukang sayur langganan mereka.

"Enggak apa-apa, Bu. Saya bisa ambil sendiri." Marni masih melanjutkan langkah.

Sebenarnya wanita berjilbab biru tua itu tahu maksud ucapan Surti, tetapi pura-pura tak mengerti. Marni berusaha menebalkan telinga dan tak peduli.

"Duh, Bu Marni ini enggak ngerti-ngerti, ya. Kami itu enggak mau dekat-dekat dengan Bu Marni. Kan, Bu Marni serumah sama Danisa, enggak jaminan aman, 'kan? Bisa-bisa nularin entar," ucap Surti ketus.

Marni tersentak, tak menyangka sang tetangga akan tega melontarkan rangkaian kata yang menyakitkan hati. Biasanya hanya berupa sindiran, kali ini sudah dilakukan terang-terangan. Ia saja diperlakukan seperti itu, entah apa yang telah diterima sang putri.

Wanita itu hanya bisa terpaku tanpa kata. Rasanya ia ingin memaki, tetapi masih berusaha menahan diri. Sisi lain hatinya memahami kekhawatiran para tetangga. Mereka ingin mencegah sesuatu yang tak diinginkan meskipun tanpa dilandasi wawasan. Memang tak salah untuk berhati-hati, tetapi tak seharusnya ada diskriminasi.

"Baiklah, saya permisi, Bu." Wanita pensiunan pegawai negeri sipil itu berbalik badan dan kembali menuju rumahnya, membatalkan niat untuk berbelanja.

"Eh, Bu Marni! Ibu mau beli apa? Nanti biar saya antarkan." Seorang wanita berjilbab putih mengejar Marni dan menawarkan bantuan.

"Makasih, Bu. Enggak usah, nanti menyusahkan Bu Retno. Saya permisi dulu," jawab Marni, lalu berlalu membawa kepingan hati yang tertusuk duri.

Retno memandang kepergian Marni dengan iba. Tetangganya itu sebenarnya dikenal baik dan ramah, tetapi karena 'nila setitik rusak susu sebelanga'. Karena Danisa pulang dengan virus yang bersarang dalam tubuhnya, semua kebaikan Marni dan Danisa dianggap tak berarti.

"Eh, Bu Retno kok mau deketan dengan Bu Marni, sih?" tanya wanita berdaster kuning heran.

"Kan, enggak apa-apa to, Bu. Sudah selayaknya kita saling bantu, memanusiakan manusia," jawab Retno sembari tersenyum.

"Apa enggak takut ketularan, Bu?" tanya yang lain.

"Penularan virus HIV enggak seperti itu, Bu. Hanya dengan berdekatan, enggak akan ketularan."

"Ah, Bu Retno sok tahu. Kalau sampai ketularan, baru rasain!" jawab Surti sewot, lalu berlalu.

***

"Begini, Bu. Niat saya kemari ingin meminang putri Ibu, Danisa," ucap lelaki berkemeja cokelat itu sembari tersenyum.

Sontak, membuat Marni dan Danisa terkejut. Mereka sama sekali tak menduga hal itu. Lelaki berkulit sawo matang itu mengutarakan niatnya secara mendadak.

"Lho, Arya, bukannya tadi kamu bilang cuma ingin mengenalku? Jadi, aku pikir kamu ke sini hanya sekadar main."

"Iya, justru aku ingin mengenalmu dengan jalan yang benar, yaitu jalan pernikahan." Manik elang itu menyiratkan keseriusan.

"Apakah Nak Arya tahu bahwa Danisa pernah menikah sebelumnya?"

Lelaki itu menarik napas perlahan. "Saya sudah mencari tahu tentang Danisa sebelum datang kemari, Bu. Bismillah, insyaAllah saya sudah mantap dengan putri Ibu."

"Tapi ... Danisa tak sempurna, Nak. Putri Ibu sakit," ucap Marni sambil menatap sendu.

Marni belum tahu bahwa Arya adalah teman satu komunitasnya Danisa karena sang putri tak pernah bercerita. Danisa jarang membicarakan aktivitasnya di komunitas. Putrinya masih merasa rendah diri untuk terbuka.

"Tentang virus yang bersarang di tubuh Danisa ... saya sudah tahu, Bu. Kami kebetulan satu komunitas. Saya pun positif, bahkan sejak dilahirkan," jawab lelaki berambut cepak itu sembari tersenyum tenang.

"Kalau begitu, Ibu serahkan keputusannya kepada Danisa karena dia yang akan menjalani nanti."

Marni menatap sang putri sambil menggenggam tangannya. Danisa membalas tatapan ibunya sembari mengangguk.

"Beri aku waktu seminggu untuk memikirkannya."

***

Pernikahan itu digelar sederhana, hanya ada penghulu dan saksi dari anggota komunitas. Tetangga yang bersedia datang hanya Bu Retno, sedangkan yang lain enggan untuk menjadi saksi dipersatukannya dua insan dalam ikatan suci.

"Waduh maaf, Bu. Saya enggak bisa datang," jawab salah satu tetangga ketika Marni mengantarkan kertas tersemat pita emas bertuliskan inisial sang putri dan calon suaminya.

Mereka menerima undangannya saja tak mau, apalagi datang. Bahkan, pintu-pintu seketika tertutup ketika melihat wanita berwajah teduh itu akan melangkah ke halaman.

Penolakan demi penolakan sudah terbiasa dihadapi oleh Marni, bahkan Winda--kakak kandung Danisa--tak mau menginjakkan kaki lagi ke rumah sejak tahu adiknya pulang. Winda malu mengakui Danisa sebagai adiknya karena dianggap telah mencoreng nama keluarga dengan menjadi inang virus mematikan. Sementara ayahnya Danisa, sudah meninggal sejak perempuan itu masih kecil.

Arya menjabat tangan wali hakim dengan erat. Lelaki itu telah mantap dalam memilih pasangan hidup dan tak akan mundur selagi nyawa masih tertanam dalam raga.

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan,"* ucap Arya tegas.

Rangkaian kata itu tak sekadar ucapan pemanis bibir, tetapi suatu perjanjian besar di hadapan Allah. Membuat langit berguncang dan disaksikan para malaikat yang turut mendoakan.

"Saaah!" Terdengar teriakan para saksi dan tamu yang hadir, mengiringi langkah baru dua insan yang telah dipersatukan oleh Sang Pencipta.

Danisa telah sah menjadi tanggung jawab Arya sepenuhnya, secara lahir dan batin. Sehidup sesurga, mendayung bahtera bersama.

Prosesi sungkeman juga menguras air mata kedua mempelai dan para tamu. Suasana haru menyeruak di segala sudut bangunan sederhana milik wanita yang begitu ikhlas menerima garis tangan. Marni mengelus kepala Danisa dengan derai air mata, berharap buah hatinya akan mengecap bahagia dan dapat membasuh luka yang ada.

"Maafkan Danis, Bu. Telah banyak nyusahin Ibu," ucap Danisa, larut dalam suasana haru.

"Semoga selalu bahagia ya, Nduk. Ibu bisa tenang jika kamu bahagia, jangan sedih lagi. Patuhi suamimu, selama itu tak melanggar perintah Allah. Jadilah pengingatnya jika dia khilaf."

"Jaga Danisa ya, Nak Arya. Ibu percayakan anak Ibu, jangan pernah sakiti dia. Jangan lelah untuk membimbingnya."

"InsyaAllah. Saya akan berusaha menjaga kepercayaan Ibu," jawab Arya tanpa keraguan.

Hari baru bagi pasangan itu telah dimulai. Berdua merajut asa dengan diiringi rangkaian doa. Saling menggenggam agar tetap kuat tegak bersama.

***

*Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan.

Be HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang