"Aku kembali!" teriak seorang lelaki, tanpa peduli tatapan banyak orang.
Ia malah asyik membentangkan tangan dan menghirup udara di luar bandara sambil menutup mata. Meresapi setiap terpaan angin yang meniup rambut ikalnya.
"Bram yang dulu udah mati, Ma. Aku bukan lagi anakmu yang lemah." Senyum licik terbit dari bibir lelaki itu.
Lelaki itu melangkah mantap menuju taksi yang terparkir di pelataran bandara. Ia akan pulang dengan ambisi yang menggebu-gebu. Hidup sendiri di negeri orang telah menempanya menjadi jiwa yang baru dan tak kenal takut.
"Halo, Pa. Bram udah di taksi. Bentar lagi nyampe rumah. Tentu, aku akan jalankan rencana yang pernah kita bahas waktu itu."
Lelaki berkacamata hitam itu menutup telepon sambil tersenyum miring. Hanya papanya yang tahu mengenai kepulangannya.
Selang beberapa saat, mobil warna biru yang ditumpangi Bram berhenti di depan rumah yang telah lama ditinggalkannya. Rumah itu tak pernah berubah, masih sama seperti ingatannya terakhir kali.
Lelaki itu melepaskan kacamata dan menatap bangunan di depannya penuh kerinduan. Ia telah pergi ke Negeri Paman Sam sejak mamanya tega memberi tanda merah di pipinya, hanya demi membela sang sepupu.
Ia menelepon Tedy--sang ayah--untuk mengurus berkas pindah sekolah dan menyiapkan tiket untuknya. Ia tak mau menemui Ranti sejak itu. Setiap kali mamanya berkunjung ke apartemen, ia tak mau membuka pintu dan membiarkan wanita itu pulang dengan perasaan hampa. Rasa sakit di hatinya begitu dalam, sehingga melupakan ikatan darah di antara mereka.
"Den Bram?" Security yang sudah lama bekerja di rumah keluarganya itu ternyata mengenali siapa sosok yang sedang berdiri di luar pagar.
Bram mengangguk sebagai jawaban dan melangkah angkuh memasuki pelataran. Ia membiarkan koper besarnya teronggok di dekat kaki Pak Dirman, pertanda perintah tanpa kata. Bram tetaplah sosok manja dan angkuh, tak pernah berubah.
Tak ada kata sapaan atau senyum untuk pria yang sedang kesulitan mengangkat kopernya. Ia tak peduli. Baginya, siapa pun yang bekerja di keluarganya adalah manusia rendahan yang tak perlu dihormati. Bram hanya akan tersenyum kepada orang-orang yang ia anggap sederajat.
Langkah lelaki jangkung itu tiba di depan pintu utama. Ia membukanya begitu saja, mengabaikan Bi Ijah yang berdiri terpaku.
"Den Bram?" Bi Ijah ingin memegang pipi sang tuan muda. Wanita itu juga merindukan tuan mudanya yang telah lama meninggalkan rumah. Namun, tangan wanita tua itu ditepis oleh Bram.
Lelaki itu justru menatapnya jijik. "Don't touch me!"
Bram hanya tertarik dengan pemandangan ruang depan. Penataan ruang itu masih sama, seperti sengaja menunggu ia pulang. Padahal ia telah pergi sekian tahun lamanya.
Lelaki itu lalu duduk di sofa tunggal, sambil mengamati keadaan sekitar. Seakan-akan menunggu kedatangan seseorang.
Terdengar derap langkah mendekat. "Siapa tamunya, Bi?" Ranti terpaku, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Bram?"
"Hai, Mom," ucap Bram sambil tersenyum miring.
Ranti ingin mendekat dan memeluk putra bungsunya. Ada kerinduan yang meluap di matanya, tetapi ....
"Aku ngantuk. Mau langsung ke kamar." Bram langsung beranjak dan menghindari pelukan mamanya. Rasa kecewa kepada wanita itu masih belum terhapus, masih tertoreh dalam sanubari.
Ketika lelaki itu akan naik ke lantai dua, ia melihat Danisa yang sedang merapikan meja makan. 'Cantik juga. Siapa dia?' batin Bram menyelidik.
Kakinya berganti arah dan akan menghampiri sosok asing di rumahnya, tetapi ia menghentikan langkah ketika melihat Arya datang dan menyapa perempuan yang menarik perhatiannya.
"Mas bantuin, ya, Sayang." Arya tiba-tiba datang dari arah dapur dan membantu Danisa mengangkat piring kotor.
Danisa tersenyum dan mengangguk. Hari itu mereka belum jadi pulang. Ranti membujuk Arya agar mau menginap lebih lama.
Pasangan pengantin baru itu belum menyadari keberadaan Bram. Mereka masih saling menatap dan melempar senyum. Dunia seakan-akan hanya milik berdua.
"Welcome, Bram!" Tedy datang dari arah ruang kerja dan menyambut putra kesayangannya. "Kenapa enggak langsung ke ruang kerjanya Papa? Udah lama Papa nungguin kamu."
Suara Tedy yang menggelegar, membuat pasangan yang sejak tadi asyik dengan dunianya sendiri menjadi tersadar. Mereka menatap ke arah seseorang yang diajak bicara oleh suami Ranti.
Bram langsung memeluk papanya erat. "Bram capek banget, Pa. Rencananya tadi mau langsung tidur." Ia belum mengalihkan pandangan dari perempuan di sebelah Arya. "Siapa dia, Pa?"
"Siapa?" Tedy lalu mengikuti arah pandang anaknya. "Oh, namanya Danisa, istri Arya."
'Istri?' batin Bram tak terima. 'Kenapa si Yatim Piatu itu selalu punya semuanya?'
Arya mengajak Danisa untuk menghampiri Bram. Perempuan itu menangkupkan tangan di depan dada sebagai tanda perkenalan, sembari tersenyum. Senyum itu justru membuat Bram tambah terpikat dan menatapnya tak berkedip.
Tedy yang menyadari hal itu, langsung menarik tangan putra badungnya ke ruang kerja yang terletak di dekat tangga.
"Ayo, ikut Papa, Bram!"
Mau tak mau lelaki itu harus mengikuti langkah papanya dan masuk ke ruangan yang dipenuhi berkas-berkas dan tumpukan buku tentang manajemen bisnis.
"Ingat rencana kita, Bram. Jangan sampai pikiran kamu teralihkan dengan hal lain!"
"Itu pasti, Pa. Bram enggak akan pernah lupa."
"Lupakan perempuan itu! Banyak perempuan lain yang mau sama kamu."
Bram tersentak, tak menyangka papanya bisa tahu perasaannya yang baru terbit. "Maksud Papa?" Ia berpura-pura tak mengerti.
"Danisa. Dia juga sakit seperti Arya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Be Human
RomanceTentang perjuangan seorang perempuan yang menjadi inang virus mematikan dan melawan stigma di masyarakat.