Bab 8

3 0 0
                                    

"Silakan, Non. Ini kamar Den Arya, udah lama kosong. Tapi, tiap hari Bibi bersihin, kok." Bi Ijah menggandeng tangan Danisa sembari menunjukkan kamar yang akan mereka tempati malam ini.

Kamar itu luas, dengan ranjang king size di tengah ruangan. Ada pintu menuju balkon, yang terletak di sisi kanan ruangan. TV layar datar berukuran besar tersemat di dinding. Desain interior kamar itu mengingatkan Danisa pada kamar hotel bintang lima dengan tarif yang sanggup menguras kantongnya.

"Kamu baik-baik aja, Sayang?" tanya Arya ketika Bi Ijah telah menutup pintu dan berlalu. Lelaki itu menatap sang istri dengan raut khawatir.

Danisa tersenyum dan meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. "Aku akan berusaha, Mas."

"Kalau kamu enggak nyaman, kita pulang aja, gimana?"

Perempuan yang sedang duduk di tepi ranjang itu menggeleng. "Enggak, Mas. Cuma semalam, kok. Nanti Tante Ranti tambah enggak suka sama aku kalau kita batal menginap. Nanti dipikir aku melarang."

Arya tersenyum sambil mengusap-usap lengan sang istri. Ia tahu bahwa Danisa tak betah berada di rumah itu, tetapi berusaha bertahan untuk dirinya.

"Ya udah, kamu istirahat dulu aja. Nanti kita turun untuk makan malam."

Kamar yang ditempati mereka terletak di lantai dua. Bersebelahan dengan kamar kedua sepupu Arya, putra Ranti.

***

"Oh kamu, Ya." Tedy--suami Ranti--menyapa sebentar ketika melihat pasangan pengantin baru itu menapaki anak tangga.

Pria yang masih mengenakan jas hitam itu berhenti sejenak untuk sekadar beramah-tamah, lalu berlalu ke kamarnya untuk membersihkan badan. Ia terlihat kelelahan setelah seharian bekerja.

"Mas, aku ke dapur, ya. Mau bantu Bi Ijah nyiapin makan malam. Keluargamu enggak takut, kan, kalau aku bantuin?"

"Biasanya yang takut sama penyakitku, cuma Bram. Tapi, sepertinya dia belum pulang dari USA. Enggak apa-apa sepertinya," jawab Arya sembari memegang dagu, memikirkan segala kemungkinan.

Danisa bergegas menghampiri Bi Ijah yang terlihat kesulitan membawa nampan makanan. Usianya yang makin menua, membuat ia sudah tak terlalu kuat membawa beban berat.

"Danis bantuin, ya, Bi." Perempuan itu bergegas mengambil alih nampan dari tangan Bi Ijah.

"Eh, nanti ngerepotin, Non. Udah, duduk aja di sana." Wanita itu merasa tak enak.

"Biarin aja, Bi. Memang dia udah biasa sama kerjaan kasar kayak gitu," celetuk Ranti yang baru saja turun, membuat Bu Ijah makin merasa tak enak.

'Kasihan Non Danisa. Dia perempuan yang baik,' batin wanita yang mengabdikan dirinya kepada keluarga Arya itu.

Arya menghela napas jenuh. Tantenya seperti tak lelah untuk mengucapkan kata-kata tajam untuk istrinya, meskipun Danisa sudah berusaha untuk berbuat baik dan menghormatinya.

"Tan ...."

Danisa langsung menghampiri sang suami, setelah meletakkan menu makan malam di meja. Ia menggenggam tangan Arya, memberi kode bahwa ia baik-baik saja. Mencegah adanya perdebatan yang disebabkan oleh dirinya.

Perempuan yang masih mengenakan kerudung abu-abu itu mengajak suaminya untuk duduk dan mengambilkannya minum, agar Arya kembali tenang.

'Perempuan itu pintar bersandiwara rupanya. Pantas aja Arya begitu membelanya. Aku harus membuktikan bahwa dia hanya mengincar harta Arya,' batin Ranti mencemooh.

Perbedaan tingkat ekonomi yang terlalu jauh, membuat Ranti meragukan ketulusan perempuan yang baru dinikahi Arya. Baginya, Danisa hanya perempuan yang ingin mengambil jalan pintas, dengan menggaet lelaki kaya untuk memenuhi ambisinya.

"Wah, ada tamu kehormatan. Apa kabar, Bro?" Tiba-tiba ada sosok berjas abu-abu menyapa Arya dengan hangat. Ia memeluk Arya tanpa canggung.

"Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar, Ngga? Kenalin, nih, istri gue!" Arya mengenalkan Danisa kepada Angga--saudara sepupunya.

Angga merupakan putra sulung Ranti-Tedy. Ia lebih muda satu tahun dibanding Arya. Perbedaan usia yang tak jauh membuat mereka menjadi akrab. Selama ini, ia selalu baik kepada Arya, meskipun tahu bahwa Arya mengidap penyakit yang membuatnya dijauhi banyak orang, termasuk adiknya.

Lelaki itu seakan-akan tak terpengaruh dengan pandangan orang terhadap sepupunya. Bukannya takut, ia malah iba ketika melihat Arya di-bully dan disudutkan.

Ketika pernikahan Arya, ia tak dapat datang karena dilarang oleh Ranti. Ranti mengancam tak akan menganggapnya sebagai anak jika nekat datang. Dilema, tentu saja. Untungnya Arya mengerti posisinya saat itu dan tak mempermasalahkan.

"Kapan nikah, Bro?" tanya Arya ketika mereka sedang duduk bersama sambil menikmati menu makan malam.

"Belum nemu yang sreg," jawab Angga santai sambil mengunyah ayam goreng.

"Entar karatan, lho!" Arya terkekeh sambil menatap sepupunya. Mereka sudah biasa saling mengejek dan tertawa bersama, tanpa adanya jarak.

Obrolan ringan itu tiba-tiba membeku ketika Ranti menimpali. "Enggak apa-apa karatan, daripada salah pilih istri. Entar bukannya nemu yang baik, malah ngincer harta aja." Ranti menyorot tajam Danisa yang duduk di seberangnya.

"Ma ...." Angga menyentuh tangan mamanya, agar tak melanjutkan ucapannya yang tajam dan membuat suasana makan malam menjadi tegang.

Danisa menggenggam tangan suaminya yang mulai mengepal. Perempuan itu menggeleng, tak mau Arya menumpahkan emosi dan melawan orang yang telah merawatnya sejak kecil. Bagaimanapun juga, Tante Ranti mempunyai jasa besar dalam hidup Arya, Danisa tak menampik akan hal itu. Oleh karena itu, ia berusaha memaklumi dan menguatkan hati.

Mereka melanjutkan makan malam dalam diam. Berkelana dengan pikiran masing-masing. Hanya terdengar suara piring yang terkadang beradu dengan sendok.

Bi Ijah melihat hal itu sembari mengelus dada. Ia menjadi teringat Arimbi--ibunya Arya. Wanita itu selalu rendah hati dan tak membeda-bedakan manusia hanya dari strata ekonominya.

Be HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang