#DRC2021
#DomesticRomanceCompetition2021***
Perempuan yang masih mengenakan baju pengantin itu duduk gelisah di pinggir ranjang, menunggu sang kekasih halal yang belum kunjung datang. Tangannya saling bertaut untuk meredakan gejolak dalam dada. Detak jantungnya makin bertalu ketika mendengar derit pintu.
"Assalamu'alaikum, istriku," ucap lelaki itu, menambah laju debaran dada pada sosok yang masih menunduk malu.
"Wa'alaikumsalam," jawab Danisa lirih.
Arya perlahan mendekat dan mengatur napas. Tak hanya Danisa yang gugup, lelaki itu pun merasakan hal yang sama, apalagi ini adalah pengalaman pertama baginya. Berdua dalam satu ruangan dengan lawan jenis, sungguh membuat jantungnya bekerja lebih keras.
Tangan lelaki itu terulur dan menyentuh ubun-ubun sang istri. "Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih."**
Danisa menghayati setiap lantunan ayat yang terucap dari bibir sang suami. Matanya terpejam dan menitikkan bulir bening. Pertama kalinya ia mendengar itu, begitu syahdu dan mengetuk relung terdalam.
Jauh berbeda dengan pernikahannya yang pertama. Dahulu, tak secuil pun ayat dilantunkan. Perempuan itu makin merasa berdosa dan jauh dari Sang Pencipta.
Arya mencium kening sang istri setelah selesai mengucap doa. Ia menghapus bulir bening yang terus menitik.
"Mulai sekarang, jangan menangis lagi, ya. Aku akan berusaha membahagiakanmu. Kita akan sama-sama berjuang menggapai rida Ilahi." Lelaki itu menggenggam kedua tangan berhias hena dan mengecupnya perlahan.
Perempuan yang sudah menjadi seorang istri itu pun mengangguk. Ia bersyukur atas segala nikmat yang diterima.
"Kita gantian wudu, ya. Habis itu salat sunah."
Malam itu semesta ikut bertasbih, menjadi saksi bersatunya dua insan. Sang Pemilik Cinta mempertemukan dua jiwa dengan jalan yang indah dan hanya maut yang berhak memisahkan mereka. Berdua saling menggenggam dan berjuang bersama.
***
Kehangatan sinar mentari pagi yang menyelusup ke dalam rumah sederhana dengan desain tradisional itu tak mampu meredakan tangis seseorang. Danisa terisak-isak di pelukan sang pemilik surga. Perempuan cantik itu enggan berpisah dengan ibunya. Hari itu, ia akan diboyong oleh lelaki yang telah mengikatnya di hadapan penghulu.
"Ibu ikut kami saja, ya? Ibu, kan, sendirian di sini," pinta Danisa dengan tatapan memohon. Ia tak tega meninggalkan sang ibu yang makin menua seorang diri.
"Walah, Nduk. Rumah kalian, kan, dekat aja dari sini. Sejam udah nyampe. Kalau kamu kangen Ibu, bisa pulang kapan aja," jawab wanita berwajah teduh itu seraya terkekeh.
"Tapi, Bu ...."
"Pergilah, Nduk. Ikutlah ke mana imammu pergi!" titah Marni sembari mengelus kepala Danisa dengan sayang.
Danisa telah dewasa, bukan putri kecilnya lagi, ia harus merelakan sang putri untuk hidup bersama kekasih halalnya dan membangun istana mereka sendiri. Marni mengusap mata tuanya yang mulai menggenang.
Suasana pelepasan itu dipenuhi derai air mata. Arya menatap hal itu maklum, ibu mana yang tak sedih ketika melepas buah hatinya dan menyerahkannya kepada lelaki asing.
"InsyaAllah kami akan sering ke sini jenguk Ibu. Bahkan, Ibu boleh kapan pun datang ke rumah atau pindah ke rumah kami," ucap lelaki itu sembari tersenyum.
"Kalau buat main, nanti Ibu akan ke sana kapan-kapan. Tapi, kalau untuk pindah ... sepertinya belum kepikiran, Nak. Banyak kenangan di rumah ini. Pergilah, insyaAllah Ibu baik-baik saja." Marni mengajak Danisa bangkit, lalu menuntunnya untuk keluar rumah dan menyuruhnya masuk ke mobil hitam yang terparkir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Be Human
RomantizmTentang perjuangan seorang perempuan yang menjadi inang virus mematikan dan melawan stigma di masyarakat.