Prolog
"Apa yang kamu lakukan, hah? Kenapa kamu selalu bersikap kekanakan?"
Air sudah menggenang di pelupuk mataku, satu kali kedipan kecil saja aku yakin bisa membuatnya terjatuh. Tapi aku masih menahannya sekuat tenaga, jangan lagi keluar dari bibirnya kalau aku hanya bisa bersikap seperti anak kecil.
Laki-laki di hadapanku ini marah hanya karena aku ikut bergabung saat dia dan Ilora -manager keuangan di kantor kami- sedang makan siang bersama di kafe yang tak jauh dari kantor. Berdalih membicarakan masalah pekerjaan, yang sebenarnya aku tahu itu hanya alasan Ilora agar bisa berduaan dengannya.
Dia bilang aku terlalu posesif yang selalu mengikuti kemanapun dia pergi. Padahal aku hanya takut kalau dia tergoda dengan perempuan itu. Semua orang yang ada di gedung kantor kami tahu tentang perasaan Ilora padanya.
Bukankah wajar jika sebagai kekasihnya aku cemburu?
Kenapa dia selalu bilang kalau aku berlebihan?
"Aku ...."
Aku tidak melanjutkan kalimatku, kubiarkan kata itu menggantung di udara. Apapun alasan yang akan kukatakan pasti tidak bisa ia terima.
Matanya masih menyorot tajam ke arahku. Sepertinya kali ini dia benar-benar marah.
"Apa kamu tau gimana perasaan aku selama ini? Dua tahun aku cukup tersiksa ngadepin semua tingkah laku kamu yang sering bikin aku muak. Berkali-kali aku bilang bersikaplah lebih dewasa. Kamu udah bukan anak kecil, Rere! Tapi kejadian kayak gini selalu aja keulang lagi dan lagi. Aku nggak jamin kalo aku bisa bertahan lebih lama seandainya kamu nggak mau berubah."
Dan apa yang baru saja aku dengar? Apakah artinya dia tidak pernah bahagia saat bersamaku? Bagaimana aku bisa begitu bodoh tidak menyadari hal itu.
Air mata yang sedari tadi aku tahan akhirnya luruh. Setiap kalimatnya memberikan sayatan dalam di hatiku.
Perih.
Sakit.
Selama ini ia hampir tak pernah mengungkapkan isi hatinya. Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Tapi juga tak pernah menyangka kalau ia tak bahagia.
Aku menatap punggungnya yang berjalan menjauh.
Dia tidak bahagia.
Dia menderita.
Dia muak.
"Bang ...."
Menyusulnya melangkah, kupeluk tubuhnya dari belakang. Bisa aku rasakan kalau dia menghela nafas jengah.
"Maaf ... buat kebodohanku yang nggak bisa menyadari perasaan Abang."
Air mataku mengalir semakin deras sampai membasahi punggungnya. Kuhirup aroma maskulin ini dalam-dalam. Mungkin suatu saat nanti aku akan merindukan saat-saat aku bisa memeluknya seperti sekarang.
Dia menguraikan tanganku yang membelit perutnya. Membalikkan badannya lalu menghapus air mata yang sudah merusak make-up ku.
Aku tersenyum manis. Dia adalah laki-laki pertama dalam hidupku. Aku sangat mencintainya, tapi jika nyatanya dia tak bahagia dalam ikatan ini, bukankah aku tak boleh egois?
"Bang ... mari berpisah ...."
.........
Sedang on going di Karyakarsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalog Prolog
ChickLitKumpulan semua prolog dari cerita yang sudah selesai saya tulis atau yang akan saya rangkai. Selamat memilih. Ada juga cerpen yang bisa menemani kalian menghabiskan waktu senggang.