RUNTUH

1.9K 84 0
                                    


Prolog


Laki-laki berkemeja abu-abu itu sedang memburu waktu ketika ponsel dalam kantung celananya meraung meminta perhatian. Dengan sangat terpaksa, ia pelankan langkah kaki, tangan kanannya merogoh lalu mengeluarkan ponsel dari tempatnya bersembunyi.

"Ada apa, Sila?" Telepon dari salah satu pegawainya, Cakra tanggapi sembari tetap berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Diiringi dengan suara air yang jatuh dari langit.

Ia baru saja melakukan medical check up, setelah beberapa bulan belakangan merasakan gejala yang aneh pada tubuhnya. Sering kali tiba-tiba saja ia merasa pusing dan mual lalu berakhir dengan memuntahkan segala isi perutnya. Sudah berkali-kali ia mengunjungi dokter spesialis penyakit dalam, tapi hasilnya nihil, menurut dokter, ia tidak menderita penyakit apapun. Akhirnya dokter menyarankan untuk melakukan medical check up secara keseluruhan. Dan meskipun selama satu minggu ini penderitaan itu seolah tiba-tiba saja lenyap, Cakra tetap menuruti anjuran dokter agar mengetahui penyakit apa yang sebenarnya menggerogoti tubuhnya.

"Suara kamu nggak jelas." Cakra menghentikan gerakan kakinya, sengaja memfokuskan pendengaran agar suara di sambungan teleponnya terdengar lebih jelas.

"Kirim pesan saja!" Titah itu Cakra keluarkan karena meski sudah menekan tombol volume sampai di angka maksimal, suara Sila tetap tak tertangkap indera pendengarannya. Mungkin karena suara hujan yang sangat deras sudah memekakkan telinga.

Hendak kembali melangkah seusai mematikan sambungan teleponnya dengan Sila, netra Cakra secara tidak sengaja tertuju pada sebuah pintu ruang rawat pasien yang tertutup rapat.

Bukan karena pintu bercat putih itu terlihat menarik makanya mata Cakra tak bisa lepas darinya, tetapi karena sebuah deretan huruf yang tertulis di bawah kata "nama pasien" yang menempel pada daun pintu itu.

Ny, Rachelie Belle Sinaga.

Rachel ... Cakra menggumam lirih. Ada berapa banyak nama itu di dunia ini? Mungkinkah yang di dalam sana adalah perempuan itu?

Sesaat tubuh Cakra mendekati benda yang terbuat dari kayu itu, namun dirinya tiba-tiba berbalik saat tangan kanannya sudah meraih handle pintu. Cakra berjalan menjauh, tak ingin lagi tahu pada apapun yang berhubungan dengan pasien di dalam sana, yang kemungkinan besar adalah dia, perempuan yang paling Cakra benci di dunia.

Baru sepuluh langkah tubuhnya mengambil jarak, suara petir yang menggelegar terdengar, tanpa pikir panjang Cakra memutar kaki untuk kembali ke ruangan yang baru saja akan ia masuki.

"Where are you, Bie? Cepet pulang ... hujan deres di sini. Aku takut sama suara petir."

Bayangan akan kalimat tersebut yang membawa tubuh tinggi Cakra mendorong pintu yang sedari tadi menjadi penghalang antara ia dan perempuan itu. Tak lagi ia ingat, bahwa ia harus segera pergi ke suatu tempat.

Kaki-kaki jenjang milik Cakra melintasi ruangan dengan gerakan yang sangat pelan. Cukup lama Cakra sudah berdiri tak jauh dari brangkar, tetapi pasien berjenis kelamin perempuan itu tak juga melihat ke arahnya. Si pasien masih sibuk menatap televisi yang layarnya mati, dengan setengah badan yang bertumpu pada kepala ranjang.

Deheman Cakra agaknya cukup ampuh untuk membuat perempuan itu sedikit menolehkan kepalanya. Sesaat Cakra bisa menangkap raut terkejut dari wajah yang kehilangan seluruh rona merahnya. Tidak hanya pucat pasi, wajah itu juga terlihat lebih tirus dibandingkan empat bulan yang lalu, saat keduanya terakhir bertemu di ruang sidang Pengadilan Agama ketika Cakra mengucapkan ikrar talak.

"Kenapa Anda bisa berada di sini, Bapak Cakra yang terhormat?"

Cakra terkekeh pelan mendengar suara perempuan yang sudah menorehkan luka paling dalam di hatinya, terkesan dingin dan tak bersahabat, sangat berbeda dengan tutur manja nan merayu kala mereka masih bersama. "Jangan salah paham, aku sama sekali tidak berniat untuk menjengukmu, aku tidak sengaja melihat namamu di depan pintu."

"Tidak seharusnya kau masuk," setelah mengatakannya, pasien yang merupakan mantan istri Cakra itu kembali mengarahkan tatapannya ke depan.

Senyum mengejek Cakra sunggingkan di kedua sudut bibirnya. "Aku hanya penasaran, kenapa kamu sendirian di sini, mana selingkuhanmu itu? Kenapa dia tidak menemani kekasih gelapnya yang sedang sakit?"

Bukan itu sebenarnya alasannya, Cakra sudah tidak ingin peduli lagi pada kehidupan sang mantan istri. Sejak memergoki istri tercinta dan pria yang tak dikenal sedang berpelukan di rumahnya sendiri malam itu, ia sudah menanggap Rachel mati. Tapi entah rasa apa yang membuat kedua kakinya membawa tubuh tinggi miliknya memasuki ruang rawat inap sang mantan istri hanya karena ingat kalau Rachel takut pada suara petir.

"it's not your business," lirih Rachel.

Cakra menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Itu memang sudah bukan urusannya lagi. Hubungan mereka sudah berakhir, dan sekarang Cakra sedang menyesali keputusan bodoh yang membuatnya berdiri menjulang di samping brangkar Rachel.

"Ya, itu memang bukan urusanku, tapi bolehkah sekarang aku tertawa? Kamu terlihat menyedihkan, Rachel ... bisa kah kusebut ini karma, hah?"

Kedua sudut bibir Rachel sempat melengkung ke atas, tapi hanya satu detik, sebelum perempuan itu kembali membuatnya menjadi satu garis lurus. Rachel kemudian melirik ke sisi kiri, tepat pada sepasang mata yang menatapnya dengan amarah yang belum mereda. "Apapun itu ... katakanlah, asal kau bahagia," jawabnya pelan tak bertenaga.

Senyum mengejek yang dipasang Cakra luntur, kala melihat sorot mata sendu yang sedang membidiknya lemah. Cakra masih menebak-nebak, penyakit apa yang membuat sang mantan istri tergolek tak berdaya di ranjang rumah sakit. Satu sisi dalam dirinya merasa iba, tetapi luka akibat pengkhinatan yang dilakukan Rachel menjadikannya sosok tak berperasaan. Perempuan itu bahkan tanpa rasa malu tidak pernah menyangkal tuduhan yang Cakra layangkan saat sidang perceraian mereka berlangsung.

Cakra lalu tertawa sumbang, sebelum kembali berkata, "aku bahagia melihat penderitaanmu, Rachel ... dan aku harap, aku bisa menyaksikannya lebih lama."


.........



Runtuh sudah tersedia dalam bentuk buku cetak dan ebook.

Buku cetak bisa kalian beli di shoope atau melalui admin karos publisher.

Ebook bisa kalian dapatkan di google play book.

Pembelian per-part bisa di aplikasi Karyakarsa.

Katalog Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang