Prolog
Kaki-kaki jenjang berbalut flat shoes milik Gita menapaki lantai kayu dengan anggun, kepalanya lalu sedikit mendongak, matanya mengedarkan pandang ke depan. "View-nya bagus banget," ucap Gita sambil melemparkan senyum manis pada pemuda yang berada di sampingnya.
Keindahan kota Jakarta pada malam hari, dapat Gita saksikan dari tempatnya berdiri. Puncak gedung-gedung tinggi serasa ada dalam genggaman tangannya, kerlap-kerlip lampu di bawah sana, indahnya serupa dengan jutaan bintang di langit yang bermandikan cahaya.
"Ayo." Pemuda bernama Aksa itu menggandeng tangan Gita menuju meja yang berada di tengah rooftop.
Keduanya kemudian larut dalam obrolan yang mengasyikkan. Gita tertawa riang sepanjang tiga puluh menit mereka duduk di sana, bahkan ketika menyantap makan malam pun, gadis yang memiliki tinggi badan 169 cm itu tak henti-hentinya menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Aksa ternyata memiliki selera humor yang cukup tinggi.
"Kapan wisuda?" Aksa mengelap sudut bibirnya dengan tisu sebelum mengajukan sebuah pertanyaan. Makanan dalam piringnya sudah tandas tak bersisa.
Gelas yang berisi mango smoothie, Gita taruh kembali di atas meja usai cairan berwarna kuning dalam wadah tersebut membasahi kerongkongannya. "Jadwalnya, sih, bulan depan."
Aksa mengangguk-angguk. "Mau langsung kerja?"
Mengedikkan bahu sekilas, Gita menjawab, "Kayaknya mau nikmatin masa-masa bebas dulu." Gita lalu mengalihkan pandangan, mencari-cari asal dari suara merdu yang kini menyapa gendang telinganya. Tampak di kedua retina Gita, seorang perempuan tengah bernyanyi di samping band pengiring, tidak jauh dari akses masuk.
Have I ever told you
I want you to the bone?
Have I ever called you
When you are all alone?And if I ever forget
To tell you how I feel
Listen to me now, babe
I want you to the boneTak sadar, Gita ikut bersenandung, benar-benar menikmati suara sang biduwanita sepaket dengan irama musiknya. Hingga sebuah usapan lembut di punggung tangan, ia rasakan. Gita lekas menoleh, dilihatnya Aksa tengah menatapnya hangat. Satu tangan yang bebas milik pria itu lantas mengambil sesuatu dari paper bag yang Aksa letakkan di bawah meja.
"Buat kamu," kata Aksa. Ia taruh sebuah kotak di depan gadis yang ia sukai.
Gita menarik tangan kanannya dari kungkungan tangan Aksa, dengan mata berbinar, ia buka kotak berwarna hitam tersebut. Senyumnya langsung merekah sempurna, sebuah clutch bag milik brand ternama seakan tengah menyapanya. Gegas, ia keluarkan benda cantik itu dari dalam kotak.
"Ini beneran buat aku?" tanya Gita pura-pura memastikan, tangannya sibuk membelai permukaan tas yang baru saja menjadi miliknya.
"Iyalah, buat siapa lagi. Aku tau kamu suka koleksi tas, makanya kemaren pas anterin Mama beli tas, aku ambil satu juga buat kamu."
Gita bersorak dalam hati, usahanya berhasil lagi kali ini. Tidak sia-sia ia menghabiskan waktu untuk meladeni Aksa jika akhirnya bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Thank you, Aksa ...." Gita pamerkan senyum terbaiknya, sampai beberapa menit senyum itu masih terpasang di kedua sudut bibirnya manakala ia dan Aksa saling bersitatap. Hingga sebuah suara berat milik seorang pria menginterupsi keduanya.
"Maaf, apa aku mengganggu?"
Kelopak mata Gita melebar sempurna, mulutnya menganga, dan tiba-tiba saja jantungnya berdetak begitu kencang. Ia menelan ludahnya susah payah sambil menengadah, memindai wajah pemuda yang berdiri di samping kursinya. "Bri?" Gita melirih.
Pria yang dipanggil 'Bri' oleh Gita tak menjawab, ia justru memalingkan wajah untuk menatap Aksa. "Gue Brizma, cowoknya Gita, sorry kalo gue ganggu acara makan malam romantis kalian." Ekor mata Brizma melirik ke arah gadis cantik yang sudah ia pacari selama tiga tahun, sebelum kembali menyorot Aksa yang tampak terkejut. "Tapi ini udah malem, jadi biar gue yang anter Gita pulang," sambungnya.
Brizma lantas menarik sang kekasih tanpa menghiraukan jawaban dari Aksa. Gita bahkan meninggalkan tas impiannya di atas meja begitu saja. Sampai di parkiran, pemuda berusia dua puluh satu tahun tersebut, langsung memakaikan helm ke kepala Gita, menunggu gadis itu naik, kemudian menarik gas sekencang yang ia bisa.
Ini bukan yang pertama, terhitung sejak ia dan Gita memutuskan merajut cinta, sudah tiga kali ia mendapati sang kekasih bermain api. Hatinya hancur, tapi Brizma selalu memaafkan saat Gita berjanji tak akan mengulanginya lagi. Janji yang faktanya hanyalah omong kosong belaka.
Brizma menghentikan laju motornya, persis di depan gerbang rumah Gita. Beberapa menit ia hanya diam dengan Gita yang masih berada dalam boncengan.
"Maaf ...."
Kata itu Brizma dengar lagi, sama seperti sebelum-sebelumnya. "Berapa kali lagi aku bakal denger kata 'maaf' dari kamu?" tanya Brizma sinis.
Tidak seperti biasanya, kalimat Brizma saat ini terdengar sarat akan emosi, membuat Gita ketakutan sendiri. "Aku janji, ini yang terakhir."
Brizma diam, padahal sekarang Gita bersungguh-sungguh dengan janjinya, gadis itu mencintai kekasihnya sepenuh hati. Lalu, sebuah pelukan ia hadirkan di tengah kebisuan.
"Tapi kayaknya aku udah nggak bisa ...."
Belitan tangan Gita di perut Brizma seketika terlepas. Sejurus kemudian, hawa panas terasa menyerang kedua netranya. "Jangan becanda, Bri ...."
Brizma membuka helm-nya, menaruhnya di atas tangki bahan bakar, lalu menunduk. "Aku pengen banget percaya, tapi ...." Ia menggeleng, sebelum meneruskan ucapannya, "Udah cukup rasanya aku jadi cowok bego yang kamu bodohi terus-terusan."
Kembali, dekapan Gita lakukan pada tubuh kekasihnya, bahkan lebih erat dari sebelumnya. Gadis berambut hitam legam itu lantas ikut menggeleng. "Enggak! Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu!"
Rachmy Brigita Anwar adalah pacar pertama Brizma. Berat sebenarnya bagi Brizma untuk memutuskan hubungan, tapi semua rasa sakit yang gadis itu beri sepertinya tak sanggup ia tampung lagi. "Maaf, ini mungkin yang terbaik buat kita, aku nggak lagi kamu bohongi, dan kamu juga bebas deketin cowok-cowok kaya di luar sana. Aku sadar, aku nggak bisa kasih apa yang kamu mau."
Air mata tak bisa lagi Gita tahan untuk tak keluar, ia terisak. Bukan maksudnya membohongi dan menyakiti hati Brizma. Gita akui memang sering menerima ajakan pemuda lain untuk sekedar jalan-jalan, tapi tak pernah ia menjalin hubungan dengan mereka. Ia hanya menginginkan hadiah-hadiah yang para pria itu berikan. "Maaf, Bri ... sumpah aku nggak bakal ngulangin lagi. Aku nggak mau putus."
Dengan susah payah, Brizma berhasil mengurai pelukan Gita. "Tapi aku tetep nggak bisa nglanjutin hubungan kita."
"Enggak! Nggak mau!" ulang Gita, ia tetap pada pendiriannya, tidak mau hubungannya dengan sang kekasih berakhir. "Aku cuma cinta sama kamu, percaya sama aku!"
Ungkapan cinta Gita tak Brizma tanggapi. "Turun, Git, udah malem." Brizma tak ingin lagi berlama-lama, ia takut tekadnya akan goyah jika melihat air mata Gita. Biar bagaimana pun cinta untuk gadis cantik itu masih bersemayam di hatinya.
"Nggak mau, Bri ...." Pelan sekali Gita menjawabnya, air mata juga masih setia mengaliri pipi putihnya.
Setelah satu kali tarikan nafas panjang, Brizma menimpali, "Apa pun yang kamu lakuin, apa pun yang kamu katakan, nggak akan ngrubah keputusan aku, kita putus."
............
Kehidupan Brigita selengkapnya hanya ada di Karyakarsa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalog Prolog
ChickLitKumpulan semua prolog dari cerita yang sudah selesai saya tulis atau yang akan saya rangkai. Selamat memilih. Ada juga cerpen yang bisa menemani kalian menghabiskan waktu senggang.