KELIRU

514 30 2
                                    




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Prolog


"Pokoknya aku mau cerai ...!"

Suasana kamar sudah lebih buruk dari kapal pecah. Barang-barang berhamburan di lantai termasuk selimut dan bantal. Begitu pula yang terjadi pada pelaku yang menyebabkan kekacauan itu, kondisinya pun tak kalah berantakan, tengah menangis tersedu-sedu di samping meja rias. "Aku mau cerai ...," ulangnya di sela-sela tarikan napasnya yang tersengal. "Kamu jahat, Ken ... kamu lebih bela ibu kamu daripada istri kamu sendiri."

Kendra, yang sedari satu jam yang lalu cuma berdiri di ambang pintu sambil melipat tangan di dada dan menyaksikan pertunjukan banting-membanting yang dilakukan sang istri, kini memutuskan mendekat. Dia sempatkan mendesah sebelum menekuk lututnya. "Berhenti bicara sembarangan, Ruth ...," ucapnya datar. Diangkatnya kepala Ruth yang menunduk kemudian jemarinya menghapus basah di permukaan kulit wajah perempuan itu.

Melengos, Ruth tak mau menatap pria yang sangat dicintainya. "Aku mau cerai! Aku mau cerai! Aku mau cerai!" gertaknya lagi. Sejujurnya dia tak pernah bersungguh-sungguh ingin berpisah. Ini hanyalah salah satu upaya agar Kendra berada di pihaknya. Tak melulu membela ibu mertuanya.

Bukannya membujuk, Kendra justru berdiri. Lelah sekali ada di posisi ini. "Terserah kamu," pungkasnya, dia kemudian memutar tumit terus keluar dari kamar. Tak terhitung lagi berapa kali Ruth meminta cerai setiap kali bertengkar dengan Amy-ibu kandungnya. Kendra sudah tak tahan, mungkin benar ... perpisahan adalah solusi yang terbaik bagi mereka semua.

Satu detik setelah pintu tertutup dari luar, Ruth yang emosinya jadi naik berlipat-lipat akibat sikap suaminya yang tak acuh, lekas beranjak dari lantai terus memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Dia akan pulang ke rumah orang tuanya. Dia akan menunggu sampai Kendra menjemputnya sekaligus berjanji untuk berubah.

Ruth menyeret koper kecilnya. Di ruang tamu, dia berpapasan dengan ibu dan adik Kendra yang memasang ejekan di masing-masing bibir mereka.

Menyebalkan.

Tanpa sepatah pun kata, Ruth meneruskan langkah menuju garasi. Dimasukkannya koper ke bagasi. Selanjutnya dengan amarah yang masih membara, dia berkendara. Ruth menekan pedal gasnya cukup dalam sehingga sedannya melaju bagaikan kilat.

Di pertengahan jalan, ponselnya berbunyi. Ruth yang berniat mengambilnya dari saku celana, menjadi kehilangan konsentrasi pada area di sekitarnya.

Tatapnya sedang tertuju pada layar handphone ketika cahaya yang amat terang di depan sana menyilaukan matanya sampai-sampai dia harus memejam.

Brak!

Suara benturan terdengar keras. Dan Ruth tak mampu lagi membuka mata setelahnya.


*****


"Ruth ...!"

"Ruth ...!"

Sayup-sayup ... panggilan-panggilan itu tertangkap olehnya. Ruth tidak tahu apa yang mesti dirinya perbuat. Dia tetap mematung sewaktu para warga berkerumun di dekat mobil dan sebuah truk yang menabraknya dari depan.

"Ruth ...!"

"Sadar, Sayang ...."

Suara-suara yang menyerukan namanya terdengar makin jelas. Ruth lalu merasa heran ketika dalam satu kedipan mata tiba-tiba dia sudah tidak lagi berada di jalan raya, melainkan di sebuah ruangan luas yang gelap gulita, tidak ada satu titik pun sinar yang masuk ke retinanya.

"Ruth ... sadar, Nak ...."

Ruth berusaha membuka kelopak matanya. Perlahan ... cahaya mulai menyusup, hingga begitu dia berhasil melebarkannya separuh, dapat dilihatnya ada beberapa orang di samping kirinya meski masih samar-samar.

"Ruth ... syukur kamu udah sadar, Sayang ...."

"Alhamdulillah, Bund ... anak kita sadar."

"Yah, cepet panggil dokter!"

Oh ... itu orang tuanya. Ruth lantas berkedip, mencoba memperjelas penglihatannya. Lalu saat tak ditemukannya sosok yang diharapkannya ada, dia melirih. "Ken ...."

"Ken? Dia di luar, Sayang ... sebentar bunda panggilkan dulu."

Merasakan lemas di sekujur tubuhnya, Ruth kembali menutup kelopak mata. Dia baru membukanya lagi di kala kalimat dari sang suami membelai lembut daun telinganya.

"Ruth, kamu sudah sadar?"

Susah payah Ruth menarik bibirnya supaya membentuk lengkungan indah setelah mendapati Kendra berada persis di depan wajahnya. "Ken ...," katanya pelan sembari mengangkat tangan kirinya, meminta untuk digenggam.

Kendra letakkan ponselnya ke atas nakas sebelum tangannya terulur untuk meraih jemari si pasien. Dia lalu membalas senyuman Ruth ragu-ragu.

Belum lama tangan keduanya saling bertaut, seorang laki-laki berjas putih datang bersama perawat dan ayah kandung Ruth. Kendra lantas menyingkir, memberikan ruang bagi dokter agar dapat memeriksa lebih leluasa.

Saat semua orang tengah fokus pada pasien yang terbaring tak berdaya di atas brankar, smartphone yang tergeletak di atas nakas, mengeluarkan bunyi singkat kemudian muncul pop up di layarnya.

[Liza : Baru sampe di kampus, A. Iya, Liza janji bakal sering pulang ke Bandung buat nemuin Aa. Miss you too ....]

Posisi Kendra yang berdiri di depan nakas membuatnya dapat membaca pesan balasan tersebut hanya dengan sekali lirikan. Ketegangan dalam wajahnya kemudian memudar, berganti dengan senyum yang ... lebih cerah dari langit pagi ini.


*****



Masih on-going di Karyakarsa.







Katalog Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang