Chapter 3

172 31 0
                                    

Petir menyambar tanpa ampun di sekitar Taufan. Satu tangannya menarik ikat pinggang. Tatapan Taufan masih terfokus pada deretan pohon.

CTAAASS!

Cambuk itu menari dengan indah di tengah guyuran hujan. 

Tak. Tak. Tak. 

Berbagai selongsong senapan jatuh begitu saja tanpa sempat memuntahkan isinya. Tatapan yang biasanya ceria, kini begitu serius.

"Jangan berani kalian menghalangiku," ucap Taufan rendah.

Aura membunuh yang Ia keluarkan sudah cukup membuat para antek-antek musuh bergidik ngeri. Selama ini mereka hanya mengejar, dan mengejar, tanpa pernah berhadapan langsung. Namun kini, nyali mereka ciut hanya dengan aura intimidasi yang kuat dan juga sabetan cambuk itu.

Merasa tak akan lagi ada gangguan, Taufan mempercepat langkahnya. Yang menjadi prioritas saat ini adalah sang adik.

'Kau harus baik-baik saja, Air. Harus.'

Deretan pohon masih menjadi pemandangan bagi Taufan hingga Ia melihat sebuah bangunan tak jauh di depan sana. Hujan yang semakin deras, tak menghalangi laju Taufan. 

Tap.

"Air!"

Hening. Tak ada balasan dari panggilan itu. Nafasnya tersengal akibat berlari, berpadu bersamaan dengan detak jantung yang menggila. Sepasang netra safir itu mengedar, mencari keberadaan sang adik. Suara langkah kakinya menggema memenuhi tiap sudut ruangan. 

"Air! Jawab aku!"

Berulang kali Taufan memanggil, tetapi masih saja keheningan yang menjawab. Sampai langkah itu terhenti tak jauh dari sebuah ruangan. Di sana terlihat sosok sang adik terbaring tak sadarkan diri.

"AIR!"

Taufan bergegas menghampiri. Diperiksanya setiap jengkal tubuh sang adik. Denyut nadi pun tak luput dari pemeriksaannya.

"Normal. Semua normal. Tak ada luka."

Hela nafas mengalun pelan. Hal yang patut disyukuri saat ini adalah Air baik-baik saja meski tengah pingsan. Satu tangannya merogoh saku dan mengeluarkan ponsel guna menghubungi satu nomor yang biasa Ia hubungi disaat seperti ini.

["Halo—"]

"Tolong jemput kami di hutan selatan kota. Mobilku tak bisa dipakai."

["Apa? Memangnya apa yang terjadi?"]

"Akan kuceritakan nanti."

["Hah… baiklah. Lima belas menit lagi aku sampai."]

"Thanks."

Panggilan itu berakhir. Dengan hati-hati, Taufan menggendong Air keluar dari sana. Cambuk masih setia dalam genggaman. Hanya benda itu saja yang kini bisa dijadikan senjata.

Angin berhembus kencang mewarnai hujan. Sambaran petir tak lagi seliar sebelumnya. Seolah alam pun terlarut dengan keheningan seorang Taufan. 

Bunyi kecipak mengiringi setiap langkah menyusuri hutan. Entah berapa lama Taufan berjalan, Ia tak peduli. Mobil kesayangannya masih ditempat yang sama seperti sebelumnya. Hela nafas lagi-lagi mengalun. 

"Hah… ada-ada saja pengeluaran ku...."

Meski ada harta warisan dan juga tabungan, tetapi Taufan ingin menyimpannya untuk saat-saat tertentu. 

"Yah… terpaksa ku pakai--- hm? Sudah sampai ya?"

Tatapannya beralih pada sebuah mobil sport hitam dengan corak merah membentuk kilat.

Switch ParallelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang