"Ada apa, Mas?" Inggit menatap Anjas sambil mengusap lembut pundaknya.
"Aku cerita pas di rumah aja, ya? Nanti jangan didengarkan kalo ada omongan yang nggak enak." Selembut mungkin Anjas memberitahu Inggit tentang kemungkinan yang akan terjadi nanti.
Inggit tersenyum manis hanya untuk suaminya. Menenangkan hati Anjas, sekaligus menunjukkan kalau dia tidak akan terpengaruh sama sekali apa pun yang akan didengar nanti. Dengan menggamit mesra lengan Anjas, mereka masuk dan bertemu dengan keluarga.
Ruang tamu lumayan luas, di sana tertata interior khas Jawa, satu set kursi berukir asli Jepara, dipadu satu set sofa modern berwarna senada. Kursi yang berbeda diletakkan berhadapan.
Di sana sudah ada mertua, adik laki-laki Anjas-Nino, Tante Dian, Om Darso, dan dua sepupunya Anjas-Retno dan Gino yang kebetulan tinggal di dekat rumah mertua. Hampir semua menatap tidak suka pada Inggit, kecuali adik Anjas. Nino langsung menghampiri Inggit dan menyalaminya ramah. Saudara yang lain, Inggit yang menghampiri dan menyalami mereka satu persatu. Inggit rasa tidak perlu canggung, karena memang dia tidak melakukan kesalahan.
Orang tua Anjas memasang senyum terpaksa di wajah kesal mereka. Anjas sendiri lega melihat Inggit tetap bersikap hormat meskipun tidak dibalas hal yang sama.
Selesai menyalami semua orang, Inggit duduk di sebelah Anjas.
"Ke mana saja kamu, Nggit? Setiap ada kumpul keluarga selalu telat. Ditanyain sama Bu Ageng, tadi." Retno mulai berkicau.
Anjas akan menjawab, tapi ditahan Inggit.
"Aku kan kerja, Ret. Bukan baru sekarang, kan. Lagipula apa pentingnya aku sampe dicariin?" Inggit menjawab sekenanya sambil memainkan ponselnya. Umurnya lebih tua dari Retno, Inggit merasa tidak perlu menghiraukannya.
Terdengar helaan napas dari Barjo-ayah Anjas.
"Sudah. Kita bahas hal lain saja, nggak baik debat sesama saudara." Barjo menengahi dengan bijak. Namun di telinga Inggit terdengar berbeda.Di sinilah awalnya Inggit mengetahui semua hal yang tersembunyi. Dalang yang menjadi sumber Inggit menentang kebiasaan keluarga Anjas adalah Bu Ageng.
Pertemuan itu tidak ada hal yang penting. Hanya bertemu dan makan malam bersama. Nino, adalah orang yang pandai mencairkan suasana. Gurauannya renyah dan mengundang tawa. Aura panas jadi menghangat dengan cerita darinya.
***
Sampai rumah Inggit lebih banyak diam. Satu fakta yang baru saja diketahui membuatnya bertanya-tanya. Apakah Anjas juga melakukan hal yang sama? Sejak awal perkenalan, Inggit memang tidak menemukan kebiasaan Anjas seperti itu. Mereka bahkan hanya berteman biasa, hingga Anjas melamarnya dua tahun kemudian.
"Git, mau brownis, nggak? Kebetulan aku tadi beli sepulang ngajar." Anjas membawa kue yang sudah diirisnya dan diletakkan diatas piring kecil.
"Wah, kayaknya enak. Aku bikin teh manis hangat ya, Mas? Tunggu sebentar!" Inggit mengenyampingkan pikiran buruknya. Anjas baik, dia berpikiran moderen dan agamanya lumayan bagus.
Anjas menunggu sambil menyalakan televisi. Tak lama Inggit datang membawa nampan dengan dua cangkir teh hangat. Acara televisi malam itu sebuah komedi yang disukai keduanya. Mereka tertawa sambil mengomentari kekocakan Wendy Cagur yang tak pernah ada habisnya.
"Git, boleh aku bicara?" tanya Anjas saat iklan memotong komedinya Wendy.
Inggit mengecilkan volume suara televisi. "Boleh, dong! Kenapa, Mas?" Inggit menduga Anjas akan melanjutkan obrolan mereka di rumah mertuanya tadi.
"Soal Bu Ageng, jujur aku baru tahu setelah dapat pekerjaan mengajar. Kamu tahu sebelumnya aku kos di Ambarawa bekerja serabutan di sana. Saking banyaknya hal yang kulakukan, kesempatanku pulang hanya sebulan sekali. Itu pun hanya dua hari, Sabtu sampai Minggu sore."
"Lalu, gimana tanggapan Mas soal itu? Terus terang aku tidak setuju hal itu kita lakukan juga. Aku khawatir jatuhnya musyrik nanti. Yah, memang agamaku belum mumpuni, bahkan penampilanku juga belum berhijab. Tetapi yng aku tahu semua itu nggak masuk akal. Maaf, Mas, kalau aku terlalu frontal."
Anjas tersenyum. Dia tahu betul pandangan istrinya soal hal-hal semacam ini. Diambilnya telapak tangan Inggit, menggenggam dan sesekali meremasnya lembut.
"Nggak apa-apa, Istriku. Kita sama-sama tahu hal itu tidak seharusnya kita lakukan. Hanya pada Dia kita bergantung dan percaya. Jangan cemas, ya!"
Inggit lega. Tidak salah keputusannya sejak awal untuk selalu percaya Anjas. Berbeda pendapat itu wajar, dan hal itu sering terjadi. Tetapi kalau sudah menyangkut prinsip dan keyakinan, Inggit berharap mereka satu suara.
Mendadak Anjas iseng melepas ikat rambut Inggit. Setelah itu kabur dengan membawa serta ikat rambut itu. Inggit kesal kalau suaminya mulai iseng. Tetapi dia suka karena begitulah ungkapan sayangnya Anjas.
"Maaas, mulai deh, isengnya. Mana ikat rambutku? Jadi berantakan, nih," rengek Inggit sambil menaruh cangkir dan piring bekas kue ke bak cuci piring.
"Kejar ke sini, dong!" jawab Anjas dari dalam kamar.
Inggit melihat jam dinding, sudah jam 9 malam. Dia menghela napas, sepertinya malam ini akan jadi panjang. Dan berujung rambut basah sebelum ibadah Subuh.
Inggit membuka pintu kamar, tapi tidak menemukan Anjas di tempat tidur. Mungkin dia masih di kamar mandi. Tetapi saat tangannya hendak menutup pintu, Anjas langsung memeluknya dari belakang. Rupanya dia sengaja sembunyi di belakang pintu.
"Kenapa lama sekali?" tanya Anjas tepat di telinga Inggit.
"Tadi cuci piring sama cangkir dulu." Inggit sudah tidak fokus karena ulah Anjas yang sedang berulah.
"Kan bisa dicuci besok pagi, Sayangku."
"Iya, tapi ...."
Kalimat Inggit terhenti berganti pekikan lumayan kencang, karena Anjas tiba-tiba menggendongnya ke tempat tidur. Dengan salah satu kaki Anjas menutup pintu kamar. Tidak harus dikunci karena mereka hanya berdua menempati rumah tipe 45 itu.
***
AlhamdulillahApa kabar kalian? Semoga sehat selalu, ya. Kita harus hati-hati, cuaca sedang tidak bersahabat.
Konfliknya belum kelihatan, ya. Nanti pasti kelihatan dan kita cari tahu solusi apa untuk masalah seperti ini.
Jika ada kesamaan masalah dan kejadian atau tradisi, semua hanya kebetulan, ya. Tidak ada maksud menyindir siapa pun.
Oke, selamat membaca.😊✌
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of The Rain (21+ TAMAT)
RomanceTak pernah terpikirkan, saat pernikahan yang diharapkan bahagia, dan berlandaskan cinta pada Yang Maha Cinta, menjadi awal cobaan buat Inggit. Teror secara halus harus dituruti kalau tidak ingin dikucilkan dan tak dianggap sebagai keluarga dari Anja...