MEMORIES 06

77 6 0
                                    

Meeting selesai dengan keberhasilan seperti yang semua orang harapkan. Pertemuan itu ditutup dengan makan siang penuh keakraban. Sebagai CEO, Aryo ternyata sangat rendah hati dan suka makan. Menu kafe yang tampak sederhana ternyata memiliki rasa yang tidak kalah dengan menu restoran mewah. Berkali-kali Aryo berdecak kagum dan memuji rasa makanan di sana.

Agan sendiri menikmati makanannya dengan wajar. Sepertinya keberhasilan meeting hari itu belum mampu menaikkan mood bahagianya. Inggit yang duduk di depannya bertanya dengan isyarat menaikkan alisnya. Dibalas gelengan kepala dari Agan.

"Oke, saya ucapkan selamat dan terima kasih atas lancarnya meeting hari ini. Saya mohon diri lebih dulu, ya. Kalian nikmati saja waktu kalian di sini. Khusus hari ini kalian bisa langsung pulang, tidak perlu balik ke kantor." Aryo mengajak asistennya pergi dari kafe. Sepertinya sudah ada acara lagi di tempat lain.

Inggit senang hari ini bisa pulang lebih awal. Diambilnya ponsel dan mengirim pesan ke Anjas, untuk mengajaknya nonton film. Sudah lama mereka tidak menikmati jalan berdua. Pesan Inggit tidak dibalas, tetapi Anjas langsung meneleponnya.

"Pak, maaf, saya ijin mengangkat telepon dulu." Tanpa menunggu jawaban dari Agan, Inggit melipir sejenak dari meja.

Mata Agan mengikuti ke mana Inggit pergi. Tak bertahan lama, pandangan itu segera dialihkan ke arah lain. Agan harus bisa mengendalikan dirinya.

"Assalamualaikum, Mas. Gimana, bisa nggak, sore ini kita jalan keluar? Nonton, gitu?"

"Waalaikumussalam. Kenapa nggak sekarang, aja?" jawab Anjas dari seberang telepon. Dia sudah tahu kalau Inggit ada di kafe yang sama dengannya. Tetapi dia tidak menghampiri karena mereka sedang rapat penting. Apalagi sekarang masih ada atasannya.

"Sekarang? Tapi aku kan belum sampai rumah, Mas?"

"Tetapi aku udah ada di sini ... sama kamu." Anjas menggoda Inggit, dia senang melihat Inggit yang kebingungan. Ekspresinya menggemaskan.

"Di sini? Sekarang?" Inggit mengedarkan pandangannya.

"Tengok ke belakang!" Anjas perlahan mendekati Inggit dengan senyum manisnya.

Inggit tertawa semringah melihat Anjas sudah di dekatnya. Penampilannya berbeda hari ini, karena dia hampir terbiasa melihat Anjas memakai baju formal.

Adegan pertemuan Inggit dan suaminya tak lepas dari perhatian Agan. Dia ingin sekali ada di posisi Anjas, dicintai dengan setia oleh Inggit, asisten yang sudah bekerja padanya selama enam tahun. Dia harus segera pergi dari sana sebelum rasa tak nyaman itu makin dalam dan menyusahkan nantinya.

Agan mengirim pesan pada Inggit, kalau dia langsung pulang sekaligus mengantar karyawan bagian produksi ke rumahnya. Inggit membalas pesan itu di depan Anjas, karena tidak ada yang perlu dirahasiakan dari suaminya.

***

Laju motor membelah kota Semarang dengan lancar dan kecepatan normal. Selama ini Anjas menyimpan helm di bagasi motornya. Ada hikmahnya juga saat ada moment tak terduga seperti sekarang.

Inggit teringat masa-masa dirinya masih menjadi pacar Anjas. Semua hal canggung dan malu untuk dilakukan, seperti pegangan saat berboncengan. Sekarang semuanya berbeda, Inggit dengan bebas bisa memeluk Anjas dengan erat. Tubuh mereka sempurna menempel tanpa sekat tas atau barang lain.

Anjas masih merasakan desir dan debar saat di posisi seperti itu. Dulu, dia akan menekan rasa dalam-dalam. Sekarang dia nikmati semua moment terjadi. Toh, mereka suami istri, kan.

Ponsel Anjas berdering tepat saat mereka masuk di lobby gedung bioskop. Raut mukanya langsung keruh begitu melihat layar ponselnya.

"Telepon dari siapa? Kok, nggak diangkat?" Inggit menggamit lengan kanan Anjas. Penasaran karena Anjas tidak kunjung menjawab, Inggit mengambil ponsel suaminya.

"Dari Ibu, angkat aja, Mas. Barangkali ada yang penting."

"Aku cuma ingin menghindar sementara dari Ibu. Beliau sering bahas Bu Ageng akhir-akhir ini. Risih aku."

Inggit mengerti posisi Anjas. Apa yang dirasakannya dia juga ikut merasakan. Tetapi Inggit harus lebih bisa mengendalikan situasi. Dering telepon berhenti.

"Kalau Ibu telepon lagi tolong diangkat, Mas. Beliau ibumu. Nanti kita cari jalan keluar sama-sama. Atau Mas telepon Ibu sekarang." Inggit tidak ingin Anjas jadi putra yang menyakiti hati ibunya. Untuk itu dia akan cari solusi secepat mungkin.

Akhirnya Anjas yang inisiatif menghubungi ibunya lebih dulu. Inggit senang, dia beranjak ke loket untuk membeli tiket film yang sudah dipilih.

"Assalamualaikum, Bu. Maaf, tadi aku sedang di jalan. Ada apa, Bu?"

"Waalaikumussalam. Njas, kamu ke sini sekarang. Ini Bu Ageng sudah datang, dia langsung ke sini begitu Ibu telepon."

Anjas marah, tetapi ditahannya sekuat mungkin. Kepalan tangannya sampai memerah. Inggit yang baru datang, melihat ekspresi Anjas yang menahan emosi, langsung menggenggam dan mengusap lembut jemari tangannya. Efeknya luar biasa, sentuhan ringan itu mampu menenangkan emosi Anjas.

"Maaf, Bu. Aku sedang di luar sama Inggit. Ada acara yang harus kami datangi, dan ini penting." Anjas berkata setenang mungkin. Tidak mungkin dia berkata jujur, karena Tanti akan langsung menyuruhnya membatalkan acara nonton dengan Inggit. Padahal kesempatan seperti ini agak susah ketemu.

"Kamu ini nggak bisa bedain yang mana yang lebih penting. Acaramu itu nggak penting, mending sekarang kamu ke rumah, dan ketemu sama Bu Ageng. Mumpung beliau ada waktu."

"Maaf, Bu, sekali lagi aku minta maaf. Soal Bu Ageng, sampai kapan pun aku tidak akan menemuinya dengan tujuan tertentu. Jujur aku tidak nyaman. Kami harus pergi, Bu. Assalamualaikum."

Terdengar suara Tanti yang mengomel di sana. Anjas langsung mematikan ponselnya.

"Maaf, Bu," gumamnya lirih.

"Sudah, Mas. Untuk saat ini nikmati saja kencan kita. Soal Ibu, nanti kita temui beliau dan menjelaskan apa yang kita mau."

Kalau boleh jujur, sebenarnya Inggit juga belum tahu apa yang harus dia lakukan. Tetapi untuk menenangkan perasaan Anjas, dia harus lakukan apa pun. Usahanya berhasil, Anjas tersenyum dan mereka menikmati film yang mereka tonton.

***

Alhamdulillah
Makin seru nulis cerita ini. Hampir saja ikut emosi sama Tanti.

Kira-kira alasan Anjas apa, ya? Supaya Tanti mengerti dan tidak marah. Sepertinya tidak akan mudah.

Ada yang emosi nggak, nih?

Selamat membaca.

Memories of The Rain (21+ TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang