Waktu makan siang sudah lewat. Inggit baru saja kembali dari mushola yang tersedia tidak jauh dari ruangannya.
"Selamat siang!" sapa seorang perempuan paruh baya dengan penampilan tertutup, gamis dan kerudung panjang warna hitam.
"Selamat siang. Maaf, Ibu ada perlu dengan siapa?" tanya Inggit sambil menjabat tangannya.
"Saya sudah sempat buat janji dengan orang tua Agan. Kata mereka saya disuruh langsung ke sini."
Inggit memastikan dengan siapa dia berbicara. Menurut jadwal ada tiga janji yang Agan minta dibatalkan. Hanya ada satu nama perempuan di sana, dua yang lain nama klien laki-laki yang sedang bermasalah dengan perusahaan. Artinya orang ini adalah Bu Ageng Prawira.
"Maaf, Bu. Apa Anda yang bernama Bu Ageng Prawira?" tanya Inggit santun.
"Iya." Bu Ageng menjawab dengan sedikit angkuh. "Rupanya ada yang belum mengenalku," gumamnya.
Inggit sontak menatap Bu Ageng. Kalimat barusan terkesan sombong dan merasa Inggit harus mengenalnya. Kalau dia artis Inggit akan memaklumi. Tetapi orang di depannya ini merasa sudah terkenal dan ingin sekali dihormati.
"Saya merasa tidak ada masalah dengan tidak mengenal Anda, Bu. Oiya, Pak Agan tadi berpesan kalau beliau tidak bisa bertemu Ibu."
"Ok, saya akan kembali besok."
"Maaf, Bu. Pak Agan tidak ingin menemui Ibu hari ini, besok, lusa, atau hari lain. Itu yang Pak Agan minta saya sampaikan ke Ibu Ageng Prawira." Inggit mengucapkan itu tanpa gemetar, tenang, dan santun. Tetapi berakibat fatal dengan perubahan ekspresi Ageng.
Tampak sekali dia kesal dan menahan marahnya. Lebih baik begitu daripada dia malu karena sudah marah-marah di depan banyak orang. Bisa ditebak, Bu Ageng pergi tanpa pamit dengan muka ditekuk merasa diremehkan.
Bagaimana kalau nanti ada pertemuan keluarga dan di sana ada Bu Ageng ini? Tetapi belum ada kepastian apakah mereka satu orang yang sama. Inggit belum pernah bertemu dengan guru spiritual mertuanya. Mungkin Inggit bisa tanyakan profesi Ageng ini ke atasannya. Itu juga kalau Agan mau jawab.
***
Inggit tak pernah bisa ikut acara keluarga yang mendatangkan Bu Ageng itu. Karenanya dia tidak tahu pasti orangnya seperti apa. Mertuanya dulu tidak pernah sekeras ini menyindir atau memperlihatkan muka tidak senang padanya. Semua tertutup dengan kata manis dan pujian untuknya.
Namun sekarang berubah, Inggit jadi bingung mau mulai dari mana?
***
Inggit mengirim pesan ke bosnya. Dia yakin sekarang bosnya sedang tidak sibuk apapun.
Pak, maaf. Saya mau tanya soal Bu Ageng.
Kirim.Kenapa?
Balasannya cepat sekali.Profesinya apa ya, Pak? Saya hanya curiga.
Inggit memang lumayan terbuka sama Agan. Mereka sudah seperti kakak adik.Curiga? Kenapa? Kamu ada masalah sama dia?
Agan mulai penasaran dan khawatir.Enggak, Pak. Tetapi keluarga suami saya sering sebut nama yang sama. Dan katanya Bu Ageng itu guru spiritual mereka. Apa benar sama, Pak?
Terdengar helaan napas dari sana.Saya menduga orang yang sama, Git. Karena orang yang tadi ketemu sama kamu profesinya seperti itu. Makanya saya menghindar. Orang tua saya yang lumayan dekat dengannya. Tetapi akhir-akhir ini orang tua saya menjauh dan dia meneror terus supaya kami datang ke dia lagi. Sudah pemaksaan hak asasi, kan.
Inggit kaget, dia khawatir kalau keluarga Anjas tidak bisa lepas dari Bu Ageng. Sepertinya hal ini ada unsur pemerasan. Ini baru dugaan Inggit, karena dari penampilan Bu Ageng tas dan arloji yang dipakai brand mahal.Oke, Pak. Makasih banyak informasinya.
Agan membalas dengan emoticon gambar jempol. Inggit mematikan layar ponselnya.Haruskah hal ini diceritakan ke Anjas? Dia ingin membantu supaya keluarganya tidak bergantung pada Bu Ageng. Tetapi jelas tidak mudah mengubah pola pikir seseorang. Apalagi ini satu keluarga, kecuali Nino. Inggit harus mencoba bicara dengannya. Siapa tahu Nino berpikiran sama dan mau membantu niatnya.
***
Agan tampak menyendiri di sebuah kafe. Pemandangan dari lantai tujuh sebuah mall membuat Agan bisa menikmati kesendiriannya. Sudah berapa cangkir kopi diminumnya, tetapi dia sudah pesan ice cofee latte. Padahal perutnya belum terisi sama sekali. Makan siang juga dilewatkan.
Inggit yang menganggapnya sebagai kakak, ternyata sedang menghadapi masalah yang sama dengannya. Ageng Prawira. Dia menyesal, kenapa dulu tidak sejak awal mencegah orang tuanya menuruti semua saran dari Bu Ageng. Dengan banyak cara Bu Ageng ingin kliennya tidak pergi, karena itu artinya pundi-pundi uangnya juga akan berkurang.
Ice cofee latte pesanannya datang, tepat dengan ponselnya berdering.
"Makasih, Mbak." Agan melihat layar ponsel, tertera Mama Calling.
"Assalamualaikum, Ma."
"Waalaikumussalam. Gimana, Gan? Tadi Bu Ageng datang ke sana?" Suara Mama terdengar cemas.
"Ma, tenang. Agan sengaja keluar kantor dan titip pesan ke Inggit supaya dia nggak datang lagi."
"Tapi kok, Mama masih belum tenang ya, Gan. Dia pasti akan datang lagi, Mama nggak ngerti kenapa nggak bisa nolak dengan tegas. Kayak ada hawa nggak bener, gitu, tiap kali berhadapan sama dia."
"Ma, jangan mikir yang aneh-aneh. Istighfar. Agan balik ke kantor dulu. Mama jangan cemas, ya."
Agan kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa berkas yang ditinggalkan tadi siang. Dia juga harus memastikan Inggit baik-baik saja.
Mobil melaju pelan dari jalan Pemuda ke arah kantornya. Tidak butuh waktu lama, mobil sudh masuk ke depan pintu utama. Seperti biasa Agan selalu meminta security kantor memarkirkan mobilnya. Dengan langkah lebar dia menuju lift ke lantai lima.
"Kamu harus tenang, Gan. Jangan tunjukkan wajah cemasmu di depan Inggit," gumamnya.
Agan tidak menganggap Inggit sebagai adiknya. Mereka kenal sejak lama dan sempat satu SMA. Lalu bertemu lagi secara tidak sengaja, saat Inggit melamar pekerjaan. Agan adalah orang yang mewawancarai Inggit sebelum diterima sebagai karyawan. Tetapi tidak karena itu Inggit diterima, semua keputusan dibuat oleh atasan langsung. Dan di sinilah mereka, bekerja sebagai atasan dan sekretaris.
***
Alhamdulillah
Keseruannya baru berasa dikit, nih. Semoga bisa lebih seru nanti.Pasti udah ada yang nebak.soal perasaan Agan, ya. Silakan, deh. Boleh, kok.
Selamat membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of The Rain (21+ TAMAT)
RomanceTak pernah terpikirkan, saat pernikahan yang diharapkan bahagia, dan berlandaskan cinta pada Yang Maha Cinta, menjadi awal cobaan buat Inggit. Teror secara halus harus dituruti kalau tidak ingin dikucilkan dan tak dianggap sebagai keluarga dari Anja...