Agan sampai di kantor tepat satu jam sebelum waktunya pulang karyawan. Tujuannya langsung menemui Inggit, dia juga tahu pasti ada beberapa berkas yang harus ditanda tangani. Dia bernapas lega saat melihat Inggit baru saja akan pulang.
"Git, ke ruangan saya sebentar, ya?" Agan langsung ke ruangannya tanpa menoleh pada Inggit. Dia tahu kebiasaan Inggit harus cepat sampai rumah begitu pulang kantor.
"Ada apa, Pak? Semua berkas sudah saya siapkan di bagian ini." Inggit menunjuk salah satu tumpukkan yang paling dekat dengan posisi Agan duduk.
"Iya, saya tahu. Saya cuma khawatir dengar cerita kamu soal Bu Ageng itu." Agan membuka berkas yang ditunjuk Inggit barusan. Dengan cekatan dia baca sebentar lalu tanda tangan. Dia yakin dengan pekerjaan asistennya, sudah bertahun-tahun mereka kerja sama.
"Khawatir? Soal keluarganya Anjas maksudnya?"
"Iya. Sejauh apa mereka berhubungan dengan Bu Ageng?" Agan merapikan kembali berkas yang telah ditanda tangani.
Inggit terdiam sejenak. Dia menimbang lebih jauh pantas atau tidak dia menceritakan soal itu. Apalagi dia belum tahu detailnya seperti apa.
"Maaf sebelumnya, Pak. Saya rasa nggak seharusnya saya cerita soal itu. Yaaa, mungkin untuk saat ini belum, karena saya juga baru tahu kalau keluarga Anjas sering berhubungan dengan Bu Ageng ini."
Agan mengangguk beberapa kali. Dia sangat paham posisi Inggit yang tidak bisa seenaknya bercerita soal suaminya atau keluarganya.
"Oke, Git. Saya cuma mau bilang satu hal. Lebih baik menjauh dari Bu Ageng sekarang. Kalau kamu perlu bantuan, bilang. Saya nggak mau ada korban lagi."
"Baik, Pak. Makasih sebelumnya. Saya permisi pulang, Pak."
"Ya, silakan. Take care, ya!"
Inggit mengangguk hormat lalu melangkah keluar. Di kepalanya muncul berbagai kemungkinan dan apa yang harus dia lakukan. Sebelumnya saja dia sudah dikucilkan gara-gara selalu telat saat Bu Ageng datang ke rumah mertuanya. Apa jadinya kalau dengan terang-terangan dia menentang kebiasaan yang sudah dilakukan sejak lama?
Bagaimanapun juga Inggit tidak mungkin melawan secara frontal. Dia masih memikirkan posisi Anjas sebagai anak kandung. Paling tidak dia konfirmasi dulu ke Anjas, baru bertindak.
Anjas pamit ke masjid untuk jamaah sholat Maghrib. Inggit sedang berhalangan jadi dia tetap di rumah. Saat pulang kantor tadi sore, Anjas tampak hilang fokus dan lelah. Jadi Inggit membuat sesuatu yang segar untuk makan malam mereka.
"Assalamualaikum. Waaah, wanginya enak, nih. Masak apa sih, Git?"
"Waalaikumussalam. Masak biasa aja, kok. Mas pasti suka."
Anjas tampak antusias, dibukanya tudung saji, dan menguar aroma dari tumis kangkung campur ebi dan tempe goreng. Makanan sederhana, masakan rumahan yang selalu mengundang selera makan.
"Alhamdulillah, tampaknya enak, nih. Kita ngobrolnya nanti saja, ya. Mas laper, pengen makan dulu."
Inggit tersenyum, lantas mengambil dua piring berikut sendoknya.
"Maaf ya, Mas. Masakanku sering seperti ini. Nanti aku belajar menu yang lebih berselera lagi." Inggit tidak pandai memasak, hasilnya cuma makanan simpel.
Namun, Anjas tidak pernah bermasalah dengan menu masakan istrinya. Rasanya pas dan enak dimakan, itu lebih dari cukup.
"Aku nggak pernah pilih-pilih makanan. Masakan kamu itu enak, menu sederhana itu malah sehat. Sudah, ayo makan, keburu dingin nanti." Anjas sudah mengambil seporsi nasi, sayur, dan tempe di atas piringnya. Lantas dengan lahap dia menandaskan makanannya.
Inggit senang melihat suaminya menyukai masakannya. Benar juga yang Anjas bilang, menu sederhana itu malah sehat untuk tubuh. Seperti sayur bening, makanan yang dikukus, bahkan salad yang tanpa ada proses dimasak. Namun, sebagai istri tidak ada salahnya belajar memasak menu sehat tapi nikmat.
***
Selesai makan malam, Anjas mengoreksi ulangan siswanya untuk dilaporkan esok pagi. Inggit menghampiri dengan membawa potongan buah mangga yang sempat dibelinya sepulang kerja.
"Gimana hasilnya, Mas? Murid Mas tuh, pinter-pinter, loh," ujar Inggit sambil menyuapi suaminya.
"Semua anak itu pinter, Git. Kalau nilai mereka gak maksimal, belajarnya saja yang perlu dirutinkan lagi. Omong-omong mangganya manis seger. Beli di mana?"
"Tadi ada yang jual di pinggir jalan. Kasihan juga udah mau Maghrib belum pulang. Aku beli, aja. Eh, beneran enak."
Anjas mengusap rambut Inggit penuh kasih. Dia bangga istrinya memiliki kepedulian dengan orang lain. Dia teringat tentang Tanti yang meneleponnya tadi siang. Apa perlu dia cerita ke Inggit?
"Git, tadi Ibu telepon. Memintaku untuk mengantarnya ke Bu Ageng." Anjas merapikan lembar ulangan ke dalam tas kerjanya. Sedang Inggit meletakkan piring yang mangganya sudah habis mereka makan.
"Memangnya ada perlu apa, Mas?" Inggit menghadap sempurna ke suaminya. Kali ini dia perlu serius membahas soal ini.
"Katanya mau nanyain soal usaha apa yang cocok buat aku. Aku nggak nyaman kalo harus nuruti beliau. Tetapi bingung mau bilang tidak setuju dengan kebiasaan mendatangi Bu Ageng itu."
"Mas, tenang dulu. Kita harus cari cara halus jadi Ibu nggak tersinggung. Apalagi hal ini bukan cuma soal Ibu, tapi Ayah, dan saudara kamu yang lain."
Inggit benar, persoalan ini akan menyangkut orang banyak. Tetapi dia tidak ingin dipaksa mengikuti kebiasaan mereka. Anjas sangat menyayangi orang tuanya. Dia tidak ingin orang tuanya terperosok makin dalam. Sepertinya Nino juga sepaham dengannya, karena yang Anjas tahu, adiknya itu pernah mengeluh kalau Tanti mengajaknya ke Bu Ageng. Dia harus cari waktu bicara dengan adiknya itu.
Setelah mencapai kata sepakat dengan Inggit, Anjas akan menemui Nino secepatnya. Semua harus mulai diluruskan.
***
Alhamdulillah
Bisa up naskah ini lagi. Ayo, kejar waktu. Satu persatu naskah selesai dan revisi tepat waktu. Saya harap naskah ini juga selesai tepat waktu.Memang agak susah kalau sudah menyangkut kebiasaan, ya. Apalagi kebiasaan buruk dan harus segera dihilangkan.
Tapi kebiasaanku menulis untuk kalian masih tetap ada, kok.
Aiish. Selamat membaca. Sehat-sehat semua, ya.
Semoga lancar semua planning dan lancar rejekinya. Terus dukung saya, ya.
Makasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of The Rain (21+ TAMAT)
RomanceTak pernah terpikirkan, saat pernikahan yang diharapkan bahagia, dan berlandaskan cinta pada Yang Maha Cinta, menjadi awal cobaan buat Inggit. Teror secara halus harus dituruti kalau tidak ingin dikucilkan dan tak dianggap sebagai keluarga dari Anja...