Anjas pulang terlambat, jarang sekali Inggit pulang dengan kondisi rumah kosong.
"Ibu gimana, Mas? Sehat, kan?" tanya Inggit, lebih sekadar basa-basi. Belum lama mereka bertemu di sekolah Anjas dengan situasi yang tidak baik.
"Sehat. Git, besok aku ke Jogja, ya? Nggak enak kemarin udah batalin mendadak."
Kening Inggit berkerut. Ke Jogja? Begitu mendadak dan tidak dibicarakan dulu.
"Jogja? Ada keperluan apa, mendadak sekali?" Tangannya yang sedang mencuci peralatan masak seketika terhenti.
Aneh! Semua ini aneh, otak Inggit berpikir keras mencari clue apa yang terjadi. Anjas tidak seperti biasanya, dari cara bicara sampai matanya yang selalu menghindari tatapan Inggit.
Inggit ingat pesan yang dikirim suaminya suang tadi. Anjas mampir ke rumah Tanti. Lalu, tadi ada orang mengirim air tiga botol, katanya dari Tanti juga. Apa mungkin karena air doa itu Anjas jadi aneh?
Inggit mundur, menjauh dari Anjas. Suaminya mulai membicarakan soal Bu Ageng yang begitu baik pada keluarganya. Bisnis toko bangunan Barjo yang sukses, hingga dua anak yang bisa bersekolah tinggi. Semua berkat campur tangan Ageng Prawira.
Anjas seperti jadi orang lain, waktunya ibadah juga ditunda-tunda. Inggit gusar menghadapi situasi yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Antara percaya dan tidak, Anjas berbalik 180°. Awalnya mati-matian menentang Bu Ageng, sekarang jadi mengagung-agungkan seolah dia sangat berjasa.
"Git, nanti transfer ke aku tiga juta, ya. Gajiku belum keluar."
Belum kelar kaget dan bingungnya perubahan Anjas, sekarang dengan seenaknya suaminya itu minta transfer. Serius, dia bukan Anjas, Inggit yakin pria di depannya ini dalam pengaruh sesuatu. Guna-guna? Hipnotis? Gendam?
Tanpa menjawab permintaan Anjas, Inggit masuk ke kamar dan menghubungi Agan. Suara bergetar dan terdengar panik, membuat Agan cemas bukan main.
"Git, dengerin aku, pahami dan lakukan segera! Kasih Anjas minum air yang sudah kamu doain tadi. Untuk sementara itu dulu, aku sudah pesan air ruqyah dari Ustaz Soleh, sebentar lagi datang. Jelas?" Suara Agan yang tenang dan tegas, membuat Inggit patuh dan lebih tenang untuk menghadapi kondisi apa pun.
Dia keluar dari kamar, melihat Anjas sedang melihat ponselnya. Soal uang yang diminta Anjas bukan persoalan, tetapi dia merasa tidak rela kalau uang itu akan dinikmati Ageng Prawira.
"Mas, minum dulu. Soal uang nanti aku ke ATM dulu, ya." Dengan begini diharapkan Anjas bisa menunggu lebih lama. Inggit tak henti menyebut nama besar Tuhan, saat Anjas menghabiskan air minum dari tangannya.
Azan Subuh berkumandang dari surau dekat rumah. Biasanya Anjas bangun tidak lama setelah Inggit selesai mandi. Pagi ini Anjas masih terlelap. Inggit menghampiri dan sempat cemas, mungkin suaminya sakit. Diambilnya termometer gun lalu diarahkan pada kening Anjas. Suhunya normal.
"Mas, bangun. Sholat dulu, yuuk! Keburu mataharinya tinggi." Dengan suara lembut Inggit mengguncang pelan punggung suaminya.
Anjas membuka mata, dia terperanjat langsung terduduk. Ekspresinya panik, menengok jam dinding dan langsung masuk ke kamar mandi. Inggit memutuskan menunggu Anjas selesai, dan sholat berjamaah. Tapi kenyataannya lain.
Anjas langsung bersiap-siap, dia beralasan akan sholat di rumah Tanti. Dia khawatir terlambat, karena Bu Ageng akan datang sebelum jam 6 pagi. Tangan Inggit mengepal, kesal dan marah, semua cara dia lakukan untuk mencegah Anjas. Tetapi percuma, suaminya tetap ingin pergi.
***
Kantor masih sepi saat Inggit sampai. Pikirannya kalut, rumah tangga yang baru saja dibangun terancam hancur. Apa jadinya kalau sebuah keluarga sudah tak sejalan visi dan misinya? Perbedaan pendapat antara dia dan Anjas sudah dipengaruhi hal-hal yang tidak bisa diterima akal sehat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of The Rain (21+ TAMAT)
RomanceTak pernah terpikirkan, saat pernikahan yang diharapkan bahagia, dan berlandaskan cinta pada Yang Maha Cinta, menjadi awal cobaan buat Inggit. Teror secara halus harus dituruti kalau tidak ingin dikucilkan dan tak dianggap sebagai keluarga dari Anja...