"Git, ke ruangan saya sebentar," perintah dari Agan mengawali paginya Inggit di kantor.
"Ya, Pak." Inggit mengambil berkas dan jadwal atasannya hari ini. Agan adalah kepala bagian marketing yang disiplin dan tepat waktu. Jangan harap akan diampuni di kali ketiga kesalahan. Selama ini sih, tidak ada yang berani coba-coba.
Agan mengangguk puas melihat hasil kerja Inggit. Tetapi saat membaca jadwalnya hari ini, Agan berubah mendung. Inggit mengerutkan kening, berusaha mengingat bagian yang mungkin salah.
"Git ...."
"Ya, Pak. Ehhm, ada yang salah?" tanya Inggit lirih.
"Jadwal hari ini setelah jam makan siang, tolong cancel semua."
Inggit mengingat lagi, jadwal pada jam itu, barangkali ada yang urgent dan tidak mungkin dibatalkan. Dibukanya ponsel, dia sengaja punya salinan jadwal Agan di sana. Setelah dilihat secara acak, tidak ada yang penting, jadi permintaan Agan langsung bisa dijalankan.
"Baik, Pak. Akan saya batalkan jadwalnya. Setelah ini ada rapat dengan klien baru, Pak."
Agan mengangguk, mukanya tampak tidak bersemangat setelah membaca jadwal tadi. Inggit jadi penasaran jadwal apa yang harus dibatalkan.
"Siapin aja materinya, e-mail ke saya." Agan mengusap wajahnya frustrasi.
Ada apa dengan Agan? Mood-nya langsung berubah buruk.
Setelah tiba di meja, Inggit segera melakukan perintah Agan. Membatalkan jadwal bersama ... Ageng Prawiro? Mata Inggit membulat, ini benar namanya atau mereka memang satu orang yang sama?
"Git, Inggit!" Agan melambaikan tangan di depan muka sekretarisnya.
"Eh, i ... iya, Pak." Inggit gelagapan, gara-gara nama itu jadi melamun ke mana-mana.
"Kamu kenapa?" tanya Agan curiga. Tidak biasanya Inggit melamun berlebihan sampai tidak tahu ada yang memanggil.
Inggit menggeleng sambil meletakkan ponselnya. "Ada apa, Pak?"
"Cuma mau bilang, nanti kalau ada yang datang cari saya, bilang saya nggak ada. Terutama yang bernama Bu Ageng Prawiro. Ingat nama itu!"
Inggit mengangguk paham. Nama itu lagi. Inggit mencoba tetap tenang. Dia tidak kenal dan tidak ada urusan dengan Bu Ageng. Kalaupun mereka orang yang sama seperti yang dibicarakan di keluarga Anjas, biarkan saja, abaikan dan anggap hanya kebetulan.
***
Anjas menyelesaikan jadwal mengajar dengan baik hari ini. Metode yang dia gunakan sangat disukai. Hampir tidak ada siswa yang kesulitan memahami materi darinya. Hal itu sempat mengundang iri guru yang lain.
"Pak Anjas, dipanggil Bu Kepsek. Katanya mau bahas soal lomba Matematika bulan depan," ujar salah satu guru yang baru saja masuk kantor.
"Oke, terima kasih infonya, Pak." Anjas mengambil beberapa lembar berkas untuk diberikan kepala sekolah.
Kepala Sekolah sangat setuju dengan hasil seleksi yang dilakukan. Sebagai guru honorer, loyalitas Anjas bisa dibandingkan dengan mereka yang sudah diangkat menjadi PNS atau ASN.
"Saya nggak nyangka sekolah kita punya aset siswa sebanyak ini. Hasilnya juga hampir sama rata. Tetapi karena tiap sekolah hanya boleh mengajukan lima anak, ambil saja dari yang paling tinggi, Pak. Nanti sisanya kita ikut sertakan di mapel lain."
Kepala Sekolah cukup kagum dengan hasil kerja Anjas. Seleksinya adil dan tidak pilih kasih siapa pun siswa itu.
"Iya, saya setuju, Bu. Mereka bisa diandalkan, saya yakin itu." Anjas sangat yakin dengan penilaiannya, karena selama bimbingan siswa terpilih ini selalu menunjukkan prestasi yang tidak main-main.
Setelah pembahasan disetujui Anjas mohon diri. Ada telepon masuk saat Anjas sampai di tempat parkir.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Njas, Ibu minta tolong bisa?" Suara Tanti tampak cemas, membuat Anjas ikut khawatir.
"Ada apa, Bu? Kalau bisa Anjas usahakan bantu."
"Tolong antar Ibu ke Bu Ageng. Ada hal yang ingin Ibu tanyakan."
Anjas menghela napas, dia tidak suka kebiasaan itu. Bu Ageng cuma manusia biasa, poinnya dia itu bukan siapa-siapa.
"Mau tanya soal apa, Bu? Siapa tahu Anjas atau Inggit bisa bantu. Teman-teman kami juga banyak, Bu. Memang ada masalah apa, sih?" Anjas berusaha mengalihkan pemikiran Tanti supaya tidak berpatokan ke Bu Ageng terus.
"Mau tanya usaha apa yang cocok buat kamu. Biar sukses dan lancar," jawab Tanti.
"Maaf, Bu. Kalau Ibu minta tolong diantar ke sana, Anjas nggak bisa. Lagian Anjas sudah kerja, soal usaha apa biar nanti Anjas pikirkan. Ibu jangan cemas, ya." Dengan lembut Anjas membujuk Tanti untuk tidak mencemaskannya.
"Kamu ini mau diarahin yang bener kok, nggak mau. Ibu kan mau yang terbaik buat kamu, Njas." Tanti masih pada pendiriannya.
"Cukup doakan saya, Bu. Itu lebih bekerja." Anjas juga tetap pada pendapatnya.
"Ya, sudah!"
Telepon ditutup sepihak. Tanpa mengucap salam seperti biasanya. Anjas ber-istighfar, dia sama sekali tidak ingin menyakiti hati orang yang sudah melahirkannya.
"Pak Anjas." Anjas kaget kepala sekolah sudah ada di dekatnya.
"Eh, Bu. Silakan duluan." Anjas mempersilakan beliau lebih dulu mengambil motor.
"Maaf, Pak. Saya tidak sengaja mendengar percakapan Bapak tadi. Saran saya tetap pada keyakinan Bapak, aja. Yang pasti saat orang tua salah, kewajiban kita untuk mengingatkan. Terlepas apakah mereka mau terima atau tidak. Jangan sampai menyesal seperti saya."
Beliau lalu bercerita kalau dulu orang tuanya juga melakukan hal yang sama. Percaya pada hal yang tidak masuk akal. Meskipun ritualnya ada berdoa dengan bahasa Arab, mereka langsung yakin kalau itu boleh. Sayangnya, mereka tidak pandai mengaji jadi tidak paham dengan artinya.
Beberapa bulan setelahnya mereka baru tahu ternyata mereka penipu dan mereka kehilangan tabungan pensiun yang susah payah dikumpulkan.
"Yah, begitulah, Pak. Karena itu saya sarankan tetap berpegang pada Tuhan. Jangan mudah percaya hal yang sepertinya religius ternyata malah musyrik jatuhnya. Saya duluan, Pak!"
Setelah panjang lebar menjelaskan Bu Kepsek langsung pergi. Anjas hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih. Apa yang harus dilakukan sekarang?
Menurutnya Tanti salah kalau setiap akan melakukan sesuatu harus bertanya ke Bu Ageng. Bukannya yang akan menjalani Anjas, dan bidang yang dia suka adalah dunia tanaman. Setahu Anjas Bu Ageng tidak memiliki usaha di bidang agro. Semuanya terlalu aneh dan tidak masuk akal.
***
Alhamdulillah
Bisa up juga.Jangan diambil hati kalau ada kejadian yang sama, ya. Sekali lagi hanya kebetulan.
Selamat membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of The Rain (21+ TAMAT)
RomansaTak pernah terpikirkan, saat pernikahan yang diharapkan bahagia, dan berlandaskan cinta pada Yang Maha Cinta, menjadi awal cobaan buat Inggit. Teror secara halus harus dituruti kalau tidak ingin dikucilkan dan tak dianggap sebagai keluarga dari Anja...