MEMORIES 28

81 8 0
                                    

Olimpiade Sains dan beberapa lomba di bidang non akademis, sudah selesai diselenggarakan. Beberapa saat pikiran Anjas teralihkan untuk siswanya. Di tengah deraan masalah dalam hidup, Anjas mendapat sedikit hiburan. Anak didiknya berhasil meraih tiga besar tingkat propinsi. Sebuah peningkatan hebat setelah sekian lama ikut serta tanpa membawa kemenangan.

Barjo dan Tanti mendapatkan hukuman yang sesuai. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua berubah. Termasuk usaha toko bahan bangunan milik Barjo. Sebagian karyawan memilih bertahan karena tidak mendapatkan pekerjaan lagi di tempat lain, dan sebagian yang lain memilih berhenti. Pada akhirnya toko dijalankan Anjas, karena jadwalnya lebih teratur jika dibandingkan dengan Nino. Apalagi dia lumayan sering tugas luar kota.

Lalu, soal Ageng Prawira, mereka tidak mau tahu lagi. Termasuk Inggit, dia tidak ingin mendengar apa pun soal paranormal itu. Bagaimana tidak membencinya, Bu Ageng adalah salah satu penyebab Anjas meninggalkannya.

Waktu terus berjalan, Inggit sendiri memilih sibuk dengan pekerjaannya. Tak ada lagi hal yang membuat harinya bisa berleha-leha. Dia gila kerja, bahkan tidak ada waktu untuk beristirahat, karena begitu ada waktu senggang, Inggit akan berpikir tentang banyak hal. Dan itu akan membuatnya frustasi. Apartemen Agan sudah lama dia tinggalkan. Tak enak hati rasanya memakai tempat dan perabot orang terus-menerus tanpa membayar sepeserpun.

Tidak memiliki saudara dan keluarga membuat Inggit semakin merasa kesepian. Temannya hanya pekerjaan dan pekerjaan. Bahkan Agan dan keluarganya sulit sekali menjangkau Inggit yang terus menghindar dan menolak jika diajak bertemu atau makan bersama.

Setelah proses yang lumayan panjang, permohonan Anjas bercerai disetujui pengadilan agama. Inggit tidak protes sedikitpun. Itu salah satu caranya mencintai Anjas, yaitu dengan melepasnya. Air mata menderas begitu Inggit masuk ke taksi online dan meninggalkan gedung pengadilan. Panggilan Agan tidak digubrisnya sama sekali. Mulai hari ini Inggit akan membuka hari baru, dan di tempat baru juga.

"Git, kamu nggak harus lakuin ini." Agan menyodorkan kembali surat pengunduran diri pada Inggit.

"Harus, Gan. Aku butuh waktu sendiri dan menjalani hari baru. Kalau aku tetap di sini, aku takut hidupku tidak tenang. Terlalu banyak kenangan buruk di sini." Inggit menghapus kasar air mata yang lolos turun ke pipinya.

"Aku bisa kasih kamu cuti, selama yang kamu mau."

"Itu yang aku nggak mau. Kamu terlalu baik dan sudah banyak hal yang kamu lakuin buat aku. Sudah cukup, Gan. Jangan lagi, kumohon!"

Agan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Apakah cintanya akan berakhir seperti ini? Apa masih ada kesempatan untuknya bisa bahagia bersama Inggit? Pada akhirnya Agan melakukan hal yang sama, melepaskan sebagai bentuk dari pembuktian cintanya. Dia relakan takdir yang akan mempertemukan mereka kembali.

***

Kota Karawang, Jawa Barat, menjadi tujuan hidup Inggit. Di sana tidak adabyang mengenali dirinya. Sebelum dia mengundurkan diri dari perusahaan Agan, Inggit sudah melayangkan CV ke beberapa perusahaan yang membuka lowongan di sana. Tidak mudah tetapi juga tidak sesulit yang dibayangkan. Inggit diterima bekerja setelah wawancara secara virtual dilakukan.

Di sinilah dia berada, sebagai perempuan mandiri, single, dengan karir dan lembar hidup baru. Inggit kini dengan penampilan barunya semakin cantik dan anggun. Setelan seragam berwarna biru menutupi tubuhnya yang selalu terjaga, lengkap jilbab yang kini menutupi rambut dan dadanya. Rasanya seperti dilahirkan kembali, di tempat baru, suasana baru, penampilan dan teman baru.

"Assalamualaikum, Teh Inggit." Udin tergopoh membawa dua gelas minuman menuju meja Inggit. Dia adalah salah satu office boy yang dikenal baik juga ramah.

"Waalaikumussalam, Udin. Makasih banyak. Oiya, ini saya ada rejeki lebih, bisa kamu beliin sesuatu buat ambu."

Udin usianya lima tahun di bawah Inggut. Dia tinggal bersama ibunya yang juga janda seperti Inggit. Seandainya Inggit punya anak, mungkin hidupnya akan lebih berwarna. Apa pun itu segera Inggit mensyukuri apa yang dia miliki sekarang. Karir bagus, tempat tinggal sederhana yang nyaman, serta lingkungan yang sangat bersahabat dengannya.

"Wah, Teh Inggit ini pagi-pagi sudah kasih rejeki Udin. Makasih, Teh. Semoga tambah lancar rejekinya. Udin mah nggak bisa bales, biar Gusti Allah saja yang ganti lebih banyak nanti. Amiiin."

Inggit mengaminkan sepenuh hati. Udin langsung kembali bekerja mengantarkan minuman ke divisi lain. Kantor Inggit berjendela kaca yang cukup lebar, sehingga sinar matahari dengan leluasa masuk, baik pagi dan sore hari. Di ruangan itu ada sekitar sepuluh orang yang menangani divisi marketing.

"Git, siang nanti ada acara makan siang khusus divisi kita sama bos baru. Kamu ikut, atuh." Darma senior di divisi itu mencoba membuat Inggit mau keluar. Selama ini dia tidak pernah mau ikut mewakili.

"Bos baru yang baru datang dari Korea?" Selama ini Inggit selalu nyaman dengan posisinya. Padahal semua karyawan bergiliran seperti ini, meskipun tidak diwajibkan, tetapi Darma ingin semua gantian berinteraksi dengan atasan. Supaya lebih semangat juga bekerjanya.

"Oke, Bang." Akhir Inggit menerima gilirannya hari itu. Memang seharusnya sejak lama dia lakukan ini, tapi tak bisa dipungkiri beberapa waktu Inggit lebih nyaman bekerja di dalam divisi.

Menurut kabar bos baru ini orang Indonesia yang kebetulan bekerja di pusat, Korea. Dia sengaja balik karena kontrak kerjanya diperbaharui dengan tugas baru. Inggit berdoa semoga dia tidak membuat malu Bang Darma, seniornya.

***

Semangat ya, Inggit. Akankah ada cowok baru juga? Kita lihat nanti, ya.

Alhamdulillah, bisa update pagi-pagi. Terus stay tune, ya. Ceritanya akan seru dengan circle barunya Inggit di ranah Sunda.

Stay safe and healthy. Happy reading.😊😘

Memories of The Rain (21+ TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang