Kemesraan semalam tidak berlanjut di keesokan harinya. Inggit menghentikan aktivitas masaknya saat mendengar Anjas berbicara dengan Tanti di telepon. Inggit tidak tahu Anjas sengaja berbicara kencang, atau dia tidak menyadari kalau suaranya sampai ke dapur.
"Bu, saya sudah lakukan semua yang dibilang Bu Ageng ... Iya, semuanya. Ibu jangan khawatir, aku tahu nanti langsung ke rumah."
Pembicaraan mereka ditutup dengan salam. Saat Anjas keluar kamar dan menuju dapur, Inggit diam. Tepatnya berpura-pura semua baik-baik saja. Namun, tidak bisa dipungkiri, dia curiga kalau suaminya masih ada apa-apa dengan Bu Ageng. Mereka belum terlepas dari pengaruh Ageng Prawira. Halangan Inggit untuk mengembalikan rumah tangganya bersih dari ritual aneh ternyata di luar dugaannya.
"Hmm, yummy. Sarapan hari ini sepertinya lezat, nih." Anjas benar-benar tidak menyadari kalau Inggit sempat mencuri dengar pembicaraannya tadi. Dan ditambah lagi dia tidak merasa bersalah sudah membohongi Inggit.
"Tunggu di meja makan saja, Mas. Aku siapin dulu terus bawa ke sana." Berat rasanya berpura-pura tidak tahu kalau pasangan kita sedang berbohong. Berbohong tentang hal yang jelas-jelas sudah pernah dirundingkan dan dia tidak merasa bersalah sedikitpun.
"Mas sarapan dulu, aku langsung berangkat." Inggit tidak ingin ada keributan, dia sudah menahan sekuat tenaga, bara amarah yang bergolak di hatinya.
"Kamu nggak sarapan dulu? Nanti sakit perut, loh. Lagian ini makanannya banyak tapi kamu malah nggak makan." Anjas menahan istrinya pergi. Ditatapnya Inggit yang menunduk demi menyembunyikan wajah kesalnya.
Anjas mendekat, menangkup wajah cantik dengan make up minimalis di depannya. "Ada apa? Nggak mau cerita sama aku?"
Tatapan seperti ini yang Inggit rindukan. Saat menyelami makin dalam, ada yang aneh di sana. Tetapi tak ditemukan apa. Mata Inggit memejam, tangan Anjas digenggam lantas diturunkan dari wajahnya.
"Aku berangkat kerja dulu, Mas. Sarapan aku bawa saja ke kantor." Inggit mengalihkan pandangannya, beranjak dari hadapan Anjas yang bertanya-tanya tentang perubahan sikapnya.
Hidup macam apa ini? Rumah tangga yang tampak akur tapi banyak ruang kosong dan hampa di dalamnya. Inggit merasa ada yang hilang, rumah tangganya tidak terasa lengkap seperti awal mereka menikah. Dia tidak ingin menyalahkan siapa pun, yang pasti kepercayaan itu mulai berkurang.
Jauh dari lubuk hati, Inggit ingin menumbuhkan rasa percaya itu lagi. Berusaha tidak berpikir negatif dan curiga pada Anjas. Sulit melakukannya saat realita malah menunjukkan sebaliknya. Ingin sekali bercerita pada sahabat sesama perempuan, saat ini dia butuh seseorang untuk berbagi. Perasaan perempuan biasanya lebih peka.
Agan memang begitu sabar dan telaten jadi pendengar. Namun, perannya itu bisa menimbulkan curiga pada Anjas dan keluarganya. Jangan sampai orang lain mengira Inggit ada sesuatu yang spesial antara dia dan Agan. Bahkan dia tidak sanggup hanya dengan membayangkan akibatnya, kalau sampai tuduhan itu benar terjadi.
***
Ponsel Inggit bergetar, ada pesan masuk dari nomor tak dikenal. Kening Inggit berkerut, tangannya gemetar memegang ponsel saat inderanya melihat sebuah foto dirinya dan Agan. Baru saja sempat terpikir tentang kemungkinan hal ini terjadi. Sungguh, tak pernah ada sedikitpun niatnya mengkhianati Anjas, serumit apa pun masalah mereka.
"Kamu pasti mau foto ini tidak tersebar, kan? Jadi, tetaplah diam!"
Pesan pendek itu tidak jelas motifnya apa. Inggit tidak bisa menebak siapa orang yang melemparkan bola panas. Setengah jam lagi meeting akan dimulai. Ponselnya terus menerus berdering, mengganggu fokusnya menyetir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of The Rain (21+ TAMAT)
RomanceTak pernah terpikirkan, saat pernikahan yang diharapkan bahagia, dan berlandaskan cinta pada Yang Maha Cinta, menjadi awal cobaan buat Inggit. Teror secara halus harus dituruti kalau tidak ingin dikucilkan dan tak dianggap sebagai keluarga dari Anja...