Kegiatan belajar mengajar hari itu berjalan lancar. Anjas lega, hasil ulangan siswanya naik pesat dari tahun lalu. Tidak sia-sia usahanya memikirkan metode belajar yang mudah mereka pahami.
Ponselnya bergetar saat murid terakhir baru saja pulang.
"Assalamualaikum. Ya, No?"
"Waalaikumussalam, Mas. Maaf, aku baru respon pesanmu. Gimana kalo kita ketemuan aja?" Nino lega akhirnya ada yang mendukungnya untuk mengubah keadaan.
"Oke, No. Mas juga baru selesai ngajar, kita ketemu di kafe Petrichor aja, ya?"
"Oke, Mas. Aku meluncur."
Telepon dimatikan. Anjas lantas menekan kontak Inggit. Untuk memberitahu kalau dia akan makan siang dengan Nino, sekalian membicarakan rencana mereka. Sayang, Inggit tidak bisa ikut, ada meeting dengan klien penting, bahkan Agan sudah menunggunya. Bagian marketing diikutsertakan atas permintaan CEO langsung.
Anjas membalas pesannya segera sebelum kebeerangkatannya ke tempat meeting. Kebetulan mereka akan meeting di luar kantor, sekalian makan siang.
"Gimana siap berangkat?" tanya Agan memastikan.
"Sudah, Pak. Ayo!" Inggit merapikan rambutnya dengan jarinya. Tas dan laptop sudah siap di kedua tangannya.
"Sini aku bawain laptopnya. Semua file sudah rapi di sini, kan?" Agan tidak membawa apa pun, jadi tak ada salahnya membantu asistennya.
"Saya bisa kok, Pak," tolak Inggit. Kurang ajar sekali sampai barangnya dibawakan atasan. Meskipun isinya file untuk meeting.
"Nggak ada penolakan!" Agan langsung mengambil alih tas laptop dari genggaman Inggit.
Inggit menyerah, lebih baik menurut daripada membuat mood bosnya buruk gara-gara hal sepele.
Mereka tidak hanya berdua, ada staf dari bagian produksi juga ikut. Agan paham, Inggit tidak akan nyaman kalau mereka hanya berdua di mobil. Jadi karyawan itu diajaknya juga.
Inggit mengerutkan kening saat mereka sampai di tempat parkir sebuah kafe Petrichor. Ada motor suaminya terparkir. Di telepon memang Anjas tidak bilang ketemu dengan Nino di mana. Lagian tadi dia juga buru-buru karena Agan sudah menunggunya.
"Kenapa, Git?"
"Oh, ini motor suami saya, Pak. Sepertinya dia ada di sini juga."
"Oh, gitu. Kamu mau masuk lebih dulu atau saya duluan? Biar nggak jadi salah paham."
Agan ini terlalu jauh berpikir tentang Inggit. Sudah jelas mereka datang bertiga, dan di dalam sudah menunggu klien dan CEO mereka.
"Barengan aja, Pak. Kita kan rame-rame makannya. Suami saya nggak semudah itu salah paham." Inggit tidak ingin berpikir macam-macam soal bosnya yang over perhatian. Selama masih wajar dan dia menanggapi juga wajar, semua akan aman.
Agan mengangguk, ada rasa tidak nyaman setiap kali Inggit berbicara tentang Anjas. Perasaannya ini sudah berusaha dia tekan habis hingga tak bersisa, karena dia tidak ingin jadi pengganggu dalam kehidupan rumah tangganya Inggit. Agan yakin bisa mengendalikan dirinya, jadi masih bisa membantu Inggit sebatas sebagai teman atau sahabat.
Memasuki area kafe Petrichor, membawa ketenangan di hati Inggit dan Agan. Mereka sama-sama suka hujan.
Seseorang melambaikan tangan pada mereka, ternyata asisten dari CEO yang mengisyaratkan untuk bergegas. Sampai di meja yang dimaksud, klien belum datang.
"Gan, siapkan dulu saja materinya, saya juga mau lihat." Aryo, CEO sekaligus papanya Agan meneliti file yang ada di laptop Inggit.
Sebagai pengingat, tidak banyak yang tahu kalau Agan adalah anak dari CEO perusahaan. Semua disengaja karena Aryo tidak ingin ada ketidakadilan dalam profesinya. Jadi karir putranya juga harus dibangun dari bawah. Agan setuju dan tidak keberatan sama sekali. Dia masih memiliki harga diri sebagai laki-laki saat semua kesuksesan dia dapatkan sendiri. Bukan disuapi oleh ayahnya yang notabene sudah berhasil.
Sebagai salah satu yang mengetahui fakta itu, Inggit merasa harus menjaga amanah itu dengan baik. Dengan cara selalu bekerja maksimal dan memastikan semua jadwal bagian marketing selesai dengan baik.
Aryo mengangguk puas dengan presentasi yang akan diajukan pada klien. Dia yakin hari ini akan lancar.
"Oke, saya suka presentasinya. Saya yakin klien akan suka, kita berdoa saja." Kalimat Aryo diaminkan semua orang yang hadir.
Tak lama klien dan timnya datang. Mereka mohon maaf terlambat lima menit, karena harus berganti mobil karena mobil yang dipakai bannya bocor. Aryo memaklumi alasan yang tidak bisa diprediksi akan terjadi. Sifatnya yang tidak suka terlambat, selalu tepat waktu dan disiplin, menurun pada Agan.
***
Kafe yang sama di meja lain, Anjas berbicara serius dengan Nino. Mereka dua putra yang ingin orang tuanya kembali ke jalan yang benar. Semua hal yang berhubungan dengan Bu Ageng, tidak ada kebaikan sama sekali. Sebagai anak mereka merasa harus bisa menyadarkan orang tuanya.
"No, kamu kan yang serumah sama Bapak dan Ibu, awalnya tuh, gimana sampe mereka kenal sama Bu Ageng?"
Anjas kuliah di luar kota saat semuanya berubah. Sedangkan Nino diterima di universitas negeri di Semarang.
"Aku sendiri tidak ingat dengan pasti, Mas. Dulu yang membawa Bu Ageng ke rumah itu Om Darso dan istrinya. Membahas soal apa aku tidak ingat. Yang pasti setelah itu mulai ada kebiasaan baru."
Obrolan mereka terhenti saat pesanan mereka datang. Anjas memutus percakapan sejenak untuk makan siang.
Setelah itu Nino melanjutkan ceritanya. Pada awalnya kebiasaan baru itu tampak wajar-wajar saja. Makin kesini Barjo dan Tanti mulai ada keanehan. Mereka pamit pergi ke luar kota, tepatnya daerah pinggiran Yogyakarta. Ada beberapa hal yang mereka lakukan di sana. Mandi di laut dan melarungkan beberapa pakaian yang dianggap membawa sial.
"Aku tidak habis pikir, Mas. Tiap kali aku tanya kenapa mereka harus lakukan itu, Ibu marah. Bahkan Ayah menasehatiku supaya tidak ikut campur, kecuali ikut serta di dalamnya."
Anjas mengusap wajahnya kasar. Mengetahui fakta demi fakta yang tidak masuk akal membuatnya frustasi.
"No, jujur aku bingung kita harus lakukan apa sekarang. Masa kecil kita Ayah sangat religius, bahkan mengaji tak pernah putus."
"Kalo ngaji, mereka masih rutin, Mas. Sholat juga masih dilakukan seperti biasa."
Aneh sekaligus tidak masuk logika. Ibadah yang diiringi hal semacam itu, seperti apa hukumnya?
"Aku akan cari informasi, Mas. Maaf, aku harus balik ke kantor sekarang. Ijinku cuma sampai jam dua siang." Nino memakai jaketnya, lalu mengeluarkan dompet untuk membayar makanan.
"Udah, biar aku yang bayar. Kamu berangkat sana." Anjas memanggil pelayan untuk meminta tagihannya.
"Serius nggak apa-apa, Mas? Lain kali aku yang bayar, ya? Pamit dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Hati-hati, jangan ngebut!" Nasehat Anjas dibalas anggukan Nino lantas berlalu keluar dari kafe.
***
Alhamdulillah
Allah melancarkan update bab ini. Mohon maaf, kalau ada kesamaan adegannya, ya. Semua yang ada dalam cerita pure hanya fiksi.Ada beberapa bagian kisah nyata dari saya pribadi. Jadi, tidak ada niat menyinggung pihak mana pun.
Bab ini agak riskan, ya. Saya akan cari jalan tengah untuk solusi konfliknya.
Selamat membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories of The Rain (21+ TAMAT)
Roman d'amourTak pernah terpikirkan, saat pernikahan yang diharapkan bahagia, dan berlandaskan cinta pada Yang Maha Cinta, menjadi awal cobaan buat Inggit. Teror secara halus harus dituruti kalau tidak ingin dikucilkan dan tak dianggap sebagai keluarga dari Anja...