Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

Adrian (2)

12K 1K 14
                                    

Fachri

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kulihat dari kaca spion, Indira terus mengelus rambut ikal Adrian. Aku tersenyum kecil.

"Rumah bos lo di mana?" tanya Indira pelan.

"Di Sunter," jawabku singkat.

Entah kenapa, perjalanan kami menuju rumah Pak Anggoro lancar. Tidak terkena macet yang bikin sakit kepala.

Aku memberhentikan mobil di depan rumah dua lantai berpagar hitam. Kutekan bel pintu rumah. Pak Anggoro membuka pagar.

Adrian masih tertidur. Aku menggendong anak itu. Indira mengambil kunci mobilnya, lalu mengulurkan tangan pada Pak Anggoro. Pak Anggoro menyambut uluran tangan Indira.

Khas anak PR, ramah dan pandai bersosialisasi.

"Selamat malam, Pak. Saya Indira. Sepupu Fachri."

"Malam. Sepupu, nih? Kok tidak mirip? Yakin beneran sepupu?" Pak Anggoro mengerling jail ke arahku. Aku Cuma tersenyum tipis.

"Sepupu super duper jauh lebih tepatnya, Pak," jawab Indira santai dan menimbulkan tawa dari Pak Anggoro.

"Oh, silakan masuk dulu. Fachri, bisa tolong antar Adrian ke kamarnya?"

Aku mengangguk. Pak Anggoro menunjuk kamar berstiker Transformers sebagai kamar Adrian. Kuletakkan bocah ini di tempat tidur. Seperti kerbau, tidur nggak bangun-bangun.

"Terima kasih sekali ya Fachri. Sepertinya Adrian merepotkan kamu banget hari ini," ucap Pak Anggoro.

Aku menggeleng sopan. "Sama-sama, Pak. Sesekali tidak apa lah. Kalau begitu kami pulang dulu, ya, Pak? Sudah malam banget. Harus mengantar Indira pulang."

Pak Anggoro mengangguk. "Oh, padahal saya mau ajak makan malam dulu."

"Sudah tadi, Pak. Makan pizza sama Adrian," sambung Indira.

"Wah, kesenangan anak saya itu."

Kami berpamitan. Sebelum masuk ke pintu sopir, Pak Anggoro berkata, "Pelan-pelan saja nyetirnya. Besok saya buat pengumuman di kantor, biar cewek-cewek di sana nggak pada cari perhatian lagi sama kamu."

Aku tak tahu harus menjawab apa. Maka aku memilih pamit pulang saja.

"Bos lo asik," komentar Indira begitu aku melajukan mobil.

Kujawab dengan anggukan.

"Anaknya juga lucu. Ntar kalau dia main lagi ke rumah Kevin, gue samperin ah," lanjut Indira. Dia kemudian terlihat memijit kakinya, entah bagian apa, mungkin betisnya. "Betis gue gedenya udah kayak betis Ronaldo."

Kekehan kecil tanpa kusadari lolos dari bibirku. Sebelum aku sempat menghentikannya, Indira lebih dulu menyadarinya. Dia menusuk-nusuk lengan kiriku dengan jari telunjuknya, sebelum berkata, "Are you mocking me, Mr. Stonecold?"

Keningku berkerut. Stonecold? Ada-ada saja.

"Kalau soal ngejekin gue aja lo baru bisa ketawa, heran deh gue," Indira memulai omelannya, khas seorang wanita bermarga Siregar. Mirip Mama banget. "Gue mau tanya, deh. Itu muka kenapa betah banget sih masang tampang lempeng begitu? Sebelum-sebelumnya nggak ada yang pernah protes kayak gue sekarang? Lo bakal kelihatan lebih manusiawi kalau itu wajah ada ekspresinya dikit. Percaya deh sama gue. Kalau sedikit aja lebih rajin senyum, gue yakin lo nggak butuh this stupid marriage arrangement untuk dapetin jodoh."

Aku memilih tak menanggapi omelannya. Lagian, tiga hari menghabiskan waktu dengannya membuat telingaku sudah kebal.

"Lihat, gue ngomong panjang lebar aja lo nggak ada tanggapannya. Ck, kalau kita beneran nikah, pasti nggak seru banget. Cewek emang suka didengerin, tapi nggak yang sampai nggak ada tanggapan begini, dong."

DenialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang