Fachri
Sudah seminggu aku kembali ke rutinitas sehari-hariku. Bangun pagi, Subuh, sarapan, memanaskan motor, kemudian membawanya menuju Tanjung Priok. Perjalanan dari rumahku menuju tempatku bekerja memakan waktu yang cukup lama bila terkena macet. Dan bukan Jakarta namanya kalau tidak kena macet. Itu sebabnya aku memilih motor sebagai kendaraan sehari-hariku.
Aku masih ingat betul pesan mama saat aku akan berangkat kembali ke Jakarta.
Sering-sering temui Indri ya, Nak. Mama sangat berharap dengan perjodohan ini.
Mengerikan, bukan?
Sebenarnya, sejak aku menemukan si gadis cerewet itu menangis sesenggukan di dalam mobil setelah mencurahkan seluruh uneg-unegnya, sedikit banyak terjadi perubahan cara pandangku terhadapnya. Aku tidak lagi merasa dia cuma anak manja ibu kota yang tahunya menghabiskan uang papanya yang segunung tanpa memikirkan masa depan.
Bukan bermaksud merendahkannya atau apa, tapi begitulah awalnya penilaianku terhadap Indira. Tetapi ternyata, dia lebih dari itu. Beberapa fakta baru yang kutemui setelah menghabiskan waktu tiga hari bersamanya adalah dia seorang anak yang sayang pada kedua orang tuanya, terutama papanya. Itu sebabnya sulit baginya juga untuk menolak perjodohan ini. Kedua, dia suka anak kecil dan anak kecil entah kenapa juga suka padanya. Dalam hati, aku merasa terhibur melihat interaksinya dengan keponakanku, Adam. Ketiga, di balik senyuman dan tawa yang selalu kita lihat di wajahnya, dia punya hati lemah yang mudah ditipu oleh laki-laki 'main-main' seperti yang dibeberkannya seminggu yang lalu.
Tetapi tetap saja, dia bukan tipeku. Aku tidak yakin kami cocok satu sama lain. Terlalu banyak yang bertentangan. Pasti sulit bagi kami untuk mengerti satu sama lain.
"Fachri, dipanggil Pak Bos," Galih, teman sekantorku, berkata.
Pak Bos yang dimaksud Galih adalah Kepala Bidang di kantorku. Seorang pria awal 40-an, beristrikan seorang wanita cantik yang diam-diam sering jadi bahan pembicaraan para pria kurang kerjaan di kantor ini, dan memiliki seorang putra yang cukup sering membuatku mengelus dada saking bandelnya. Kok bisa ya anak sama orang-tuanya beda banget sifatnya.
Kulangkahkan kaki menuju ruangan si Pak Bos. Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima kurang lima. Harusnya aku sudah bisa beres-beres untuk pulang.
Pintu kayu itu kuketuk dua kali.
"Silakan masuk," terdengar suara dari dalam ruangan.
"Bapak memanggil saya?" ucapku sopan.
Pak Bos yang bernama Anggoro mengangguk. "Silakan duduk dulu, Fachri."
Aku menuruti sarannya.
"Kamu ada kerjaan setelah ini?"
"Tidak, Pak."
Pak Anggoro mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. "Saya bisa minta tolong?"
"Apa yang bisa saya bantu, Pak?"
"Sepuluh menit lagi saya ada rapat penting yang benar-benar tidak bisa saya tinggalkan. Ibu sedang di luar kota. Kamu bisa tolong jemput Adrian?"
Adrian adalah nama putra semata wayang Pak Anggoro, masih duduk di kelas IV SD. Badung banget. Galih pernah dikerjain pakai permen karet. Pusing juga kalau berhadapan dengan anak itu.
"Dijemput di mana, Pak?" Sudahlah, memang sulit menolak perintah atasan.
"Di rumah temannya. Saya sudah kirim alamatnya ke WA kamu. Saya sudah bilang sedang ada rapat. Dia nggak mau nunggu lebih lama katanya. Nanti antarkan langsung ke rumah saja. Ada bibi yang menjaganya kok di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Denial
Fiction généraleAwalnya Indira dan Fachri menolak dan menyangkal perasaan masing-masing saat dijodohkan oleh orang tua mereka, sampai akhirnya mereka setuju juga dengan rencana perjodohan tersebut. Semua berjalan mulus sampai akhirnya mantan pacar Fachri bernama Al...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi