Kupikir karena sejak kecil kita selalu bersama, maka saat sudah dewasapun kita akan tetap bersama. Namun kenyataannya, kini itu hanyalah sebuah angan...
.
Berbicara mengenai cinta tidak akan pernah ada habisnya.
.
Jika melepaskannya memang jalan yang terbaik, maka lepaskanlah. Karena cinta bukan untuk saling menyakiti tapi untuk membuat suatu kebahagiaan.
.
.
.
Ali Syarief
Pemandangan seperti ini adalah hal yang paling pertama kuingat dan akan selalu kuingat bahkan sampai mati pun.
Dimana pada saat itu adalah di kediaman Latuconsina dipadati oleh orang-orang yang memakai pakaian serba hitam. Tak lupa kain hitam putih itu terbentang di depan rumahnya. Bebauan khas dupa pun tercium dari luar pekarangan rumah ini.
Tak ayal suara tangisan orang yang mengenal keluarga Latuconsina terdengar, bisik-bisik baik mengenakan maupun tidak tetap saja terdengar dari beberapa orang yang tidak mempercayai kematian pasangan suami-isteri Latuconsina itu.
Tak lupa mereka juga bisik-bisik mengenai sahabat kecilku yaitu, Prilly Latuconsina.
*
Tubuhku tiba-tiba saja menciut.
Menjadi anak kecil kembali kira-kira saat berumur lima tahun. Karena aku ingat betul, untuk pertama kali pula aku memakai baju hitam seperti ini pada saat kematian orangtua Prilly. Kutolehkan ke samping kananku. Dimana seorang bocah itu menangis sesegukan dari tadi dan tangan kirinya bertautan dengan tangan kananku?dialah Kevin Julio saat berumur lima tahun.
Aku sendiri tanpa sadar juga menggosokan lengan kiriku pada ke dua mataku yang ternyata ikut menangis dalam diam. Kemudian kedua langkah kecil terbata dari kami berdua mengikuti sosok anak laki-laki yang kelihatannya lebih tua dari kami kira-kira usianya sembilan tahunan.
Aku tentu saja mengenali anak laki-laki itu?walau yang kami lihat adalah punggungnya, tapi itu adalah kakak laki-lakiku, Dicky Syarief. Langkah pelan kami tiba di dekat seorang anak perempuan yang diam tanpa ekspresi di depan foto kedua orangtuanya. Bersama dengan seorang anak perempuan lebih remaja dibanding Dicky.
"Prilly...," panggil Dicky pelan namun sarat akan kelembutan. Prilly yang merasa terpanggil segera menoleh pada Dicky. "Kemarilah." Dicky menjulurkan kedua lengannya bermaksud untuk meminta Prilly datang kepelukannya.
Dan ternyata memang benar tepat. Prilly langsung memeluk Dicky dengan cepat dan Dicky dengan sigap pula menggendong Prilly yang kecil. Kami semua dibawanya menuju taman belakang kediaman Latuconsina yang pada saat itu sepi.
Tiba-tiba saja Prilly yang tadinya diam kini menangis menjerit dalam gendongan pelukan Dicky. Tangan mungilnya meremas bahu Dicky dengan keras dan aku lihat Dicky tidak kesakitan sama sekali. Justru wajahnya cukup lega karena Prilly sejak semalam tidak mau berbicara bahkan menangis saja tidak.
Tapi, dengan Dicky dia menangis sejadi-jadinya hingga berteriak. Wajahnya dia benamkan di leher Dicky. Tangan kanannya terkepal seperti ingin memukul. Sedang Dicky hanya mengelus rambut Prilly dan punggungnya dengan hangat.
Pada saat itulah aku tersadar. Bahwa aku iri kepada Dicky yang dengan mudahnya bertindak sungguh sangat lembut kepada Prilly. Aku pikir itu wajar saja karena Dicky adalah sosok kakak laki-laki yang sangat ideal bagi siapapun.
Perlahan frekuensi tangisan suara Prilly, berubah menjadi terisak-isak kemudian Dicky membisikkan sesuatu dan Prilly hanya mengangguk dengan lemah. Prilly melongok disela benaman kepala di leher Dicky untuk melihat kami?aku dan Kevin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melepasmu (COMPLETE)
Fanfiction"Sudah waktunya kau menyerah, Prilly…," "Tak ada lagi yang harus kau pertahankan…," "Dia tidak menerimamu lagi…," "Tatapan matanya tidak sama seperti kalian kecil dahulu…," "Tidak ada gunanya lagi kau mengekangnya, Prilly…," "Lepaskanlah dia untuk k...