Gema langkah cepat tercipta di sepanjang lorong sekolah. Deritan sepatu dalam ruangan bergesekan dengan lantai keramik begitu tak terdengar?mengingat begitu banyak suara-suara lain di dalam koridor sekolah yang ramai. Sambil berlari dan merunduk gadis itu tak peduli dengan tatapaan kebingungan dari orang-orang yang dilewatinya. Hingga?
"Aduh!" ringis seorang pemuda ketika dadanya merasakan sakit karena tersundul oleh sebuah kepala.
Dengan segera gadis yang menabrak tersebut mengadahkan wajahnya pada si sumber suara. Karena tidak melihat jalan sehingga dia tidak sadar telah menabrak seorang pemuda yang tengah memegang dadanya.
"Ma-maaf, Kevin!" belum sempat gadis itu melangkahkan kakinya untuk kembali berlari pergelangan tangannya langsung saja dicekram oleh pemuda itu.
"Prilly!" pemuda yang dipanggil dengan Kevin itu langsung saja memeluk gadis yang menabraknya?Prilly dengan segera. "Wajahmu jelek sekali," bisik Kevin tepat di telinga Prilly. Gadis itu mengernyitkan alisnya sebal. "Menangislah...," dielusnya lembut rambut Prilly.
"Kenapa... Kau... Tahu?" Tanya Prilly dengan suara bergetar. "Padahal... Aku sudah... Menahannya...," dan kemudian buliran asin itu menjatuh melewati kedua pipinya.
Kevin menepuk-tepuk pelan puncak kepala Prilly. Seperti menenangkan seorang anak kecil dan karena malu menjadi bahan tontonan di tengah jalan, Kevin menyingkir dan bersandar pada bingkai jendela dengan Prilly yang masih terisak kecil.
Tak disangka sesosok anak perempuan yang tak jauh menatap keduanya dengan pandangan yang sulit diartikan, "Kau terlalu baik, Kevin..." lirihnya pelan.
*
"Aku tidak menyangka kalau kau bisa menangis seperti ini," gadis berambut panjang hingga mencapai pinggangnya itu berdiri tepat dihadapan seorang pemuda. "Ali?"
Ali Syarief sedikit tersentak kaget namun dapat segera dikendalikannya kembali emosinya dan berwajah datar seperti biasanya walau jejak-jejak air mata masih ada di pipi pucatnya. "Kau meledekku, Ghina?" tanyanya dengan nada dingin padahal sebelumnya mereka berdua tidak pernah bernada seperti ini jika sedang berbincang.
Ghina Umari langsung mengambil inisiatif untuk duduk di dekat mantan kekasihnya itu dengan posisi membelakanginya. "Baru kali ini aku melihatmu seperti ini," ucap Ghina dengan nada yang dibuat-buat terkejut.
"Kau sudah tidak berbicara denga nada gagap lagi rupanya," Ali bangkit berdiri menuju jendela di dalam ruang kelas music. Angin yang berhembus siang itu rasanya membawa kesejukan tersendiri.
"Aku hanya akan gagap kembali jika di depan orang yang kusukai," Ghina tersenyum kecut menyadari kekurangannya sendiri. "Bukan berarti kau bukan orang yang kusukai, Ali. Hanya saja tepatnya kau adalah orang yang salah untuk kusukai..."
Ali memajamkan matanya yang sekelam malam. "Aku pun berpikiran yang serupa denganmu," Ali kembali menuju Ghina duduk memunggunginya. "Apa kau belum bilang pada Kevin?"
Ghina menunduk dalam dan digelengkannya pelan kepala dengan mahkota berwarna biru gelap indah itu. "Aku... Aku sangsi akan perasaan Kevin...," dia memainkan jemarinya dengan tangan yang berkeringat. "Mungkin... Dia sudah tidak menyukaiku lagi..." sedihnya.
"Mungkin benar." Kata Ali cuek.
Ghina menatap mantan kekasihnya itu sebal. "Paling tidak kau tidak ikut membenarkan perkataanku, Ali!" ketusnya sebal. Kedua pipinya bersemu merah menahan kesal. "Kevin itu... Terlalu baik kepada Prilly, kupikir Kevin menyukai Prilly."
"Dulu," Ghina menatap ke dalam mata Ali yang tajam dengan penasaran. "Kevin dulu memang menyukai Prilly, mengejarnya hingga jatuh dan menyerah saat kau dan kami bertemu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Melepasmu (COMPLETE)
Fanfiction"Sudah waktunya kau menyerah, Prilly…," "Tak ada lagi yang harus kau pertahankan…," "Dia tidak menerimamu lagi…," "Tatapan matanya tidak sama seperti kalian kecil dahulu…," "Tidak ada gunanya lagi kau mengekangnya, Prilly…," "Lepaskanlah dia untuk k...