twenty seven

323 45 6
                                    


INI adalah hari pertamanya masuk kesekolah setelah insiden kemarin. Saat ini dia duduk ditaman belakang, sendirian.

Alexa menatap rumput rumput hijau dengan pandangan yang murung. Dia merasa menyesal dan tidak enak karena menolak pelukan dari sahabat-sahabatnya ketika mereka tahu bahwa dia telah masuk sekolah setelah istirahat lima hari.

Bukannya Alexa sengaja menolak, tetapi dia tidak bisa. Ada getaran dan gejolak aneh saat dirinya bersentuh fisik dengan seseorang yang membuatnya teringat kembali akan hari itu. Dia benar-benar ingin melupakan waktu sial itu.

Robin. Lelaki itu benar-benar brengsek.

Lagi-lagi air matanya terjatuh saat mengingat itu. Alexa tidak kuat, dia tidak setegar Alin dalam menghadapi masalah. Tidak, Alexa rasa ini bukan masalah, melainkan musibah.

Seseorang duduk tepat disebelahnya, dia Gavin.

Entah mengapa, semenjak saat itu, hanya Gavin yang mampu membuatnya tenang. Hanya Gavin yang ketika menyentuhnya, dia tidak merasa ketakutan sedikit pun. Mungkin juga karena Gavin yang menyelamatkan hidupnya.

Jika saja Gavin telat hari itu barang sedetik saja, mungkin dia telah kehilangan sesuatu yang paling dia jaga.

"Lo udah tenang?" Tanya Gavin dengan suara lembut.

Alexa baru tahu sisi lain dari Gavin selain mulut pedasnya. Laki-laki itu ternyata orang yang tulus dan penyayang.

Alexa menoleh Gavin, memberikan senyum simpul yang membuat Gavin merasa lega setiap melihatnya. Kemudian gadis itu menganggukan kepalanya meski dirinya belum tenang sepenuhnya.

Lelaki itu merangkul Alexa, mendekatkan gadis itu kepadanya. Lalu membiarkan Alexa bersandar pada bahunya. Dan Alexa merasa nyaman dengan itu.

Hanya Gavin satu-satunya orang yang membuatnya merasa aman saat ini. Mungkin sudah terlalu nyaman, Alexa tanpa sadar mengatakan sesuatu yang mungkin tidak pernah dia duga akan katakan kepada seseorang yang selama ini dia anggap musuhnya.

"Jangan tinggalin gue,"

Gavin melirik gadis itu, mendapati sebintik air mata disudut mata perempuan itu.

Membelai rambut Alexa dengan lembut. "Nggak akan. Gue gak akan pernah tinggalin lo"

Sedangkan dari kejauhan Alin memantau, dia tersenyum lega. Setidaknya Alexa baik-baik saja dengan Gavin. Dia juga mengerti kondisi sahabatnya sekarang ini. Mungkin dia masih trauma dengan skinship terhadap seseorang, kecuali Gavin, karena lelaki itu yang menyelamatkannya.

Ketika hendak pergi dari tempat itu, dia dikejutkan oleh kehadiran Elvano yang tiba-tiba. Lelaki bermata hijau sehijau batu obsidian itu menatapnya dengan sorot bersalah.

"Maafin gue,"

"Ya."

"Lin, gue minta maaf. Gue bener-bener minta maaf" Ujar Elvano menyesal.

"Gue udah tahu karakter Amara seharusnya gue nggak perlu percaya sama dia. Gue yang salah, maafin gue."

Alin menghela nafas, "Iya, gue udah maafin lo."

Elvano diam. Dari nada bicara Alin menjelaskan bahwa gadis itu terlalu kecewa padanya.

"Lo bisa tampar gue samau lo, gue yang salah disini."

"Nggak apa-apa. Lo nggak perlu minta maaf segitunya, kita juga nggak punya hubungan spesial, jadi nggak usah merasa bersalah."

Hati Elvano mencelos.

"Gue duluan ya" Gadis itu tersenyum padanya, meski bukan senyum yang sering dia tunjukan seperti biasa, melainkan senyum hambar tanpa makna.

"Te amo," Lirihnya pelan membuat langkah Alin terhenti.

Alin menggigit bibirnya lalu memejamkan matanya rapat-rapat. "Gue nggak ngerti"

Setelah mengucapkan itu, Alin buru-buru pergi dari sana meninggalkan Elvano yang menatapnya nanar.

"Gue tahu lo ngerti" Gumamnya.


***


"Kak Bara," Agatha memanggil lelaki itu dengan suara yang lembut.

Bara menunggu lanjutan dari perkataan Agatha.

"Kenapa Kak Bara akhir-akhir ini selalu baik sama aku padahal sebelumnya kita nggak saling kenal. Aku selalu buang jauh-jauh pikiran aku yang bilang kalau Kak Bara lagi deketin aku. Aku hanya nggak mau terbawa perasaan, kalo seandainya itu nggak bener, rasanya akan sakit." Agatha memberanikan diri mengutarakan perasaannya.

"Kalau Kak Bara suka Alin, terus kenapa harus deketin aku juga. Aku nggak mau geer, tapi ini lah kenyataannya. Aku nggak mau terlalu berharap, Kak. " Lirihnya.

Agatha memejamkan matanya rapat-rapat. "Kalau Kak Bara nggak punya perasaan apapun sama aku, tolong menjauh."

Bara menatap Agatha sulit diartikan. "Gue nggak suka Alin,"

Agatha mengangkat pandangannya. "Maksud Kakak?"

"Gue suka lo," Bara menatap manik matanya dalam-dalam. Sementara Agatha membeku ditempat.

Mereka hanya tidak tahu bahwa Alin tidak sengaja mendengar itu. Gadis itu tidak tahu mengapa ada bagian perasaannya yang terluka karena hal itu.

Seharusnya dia senang, bukan terluka. Sedari awal dia sudah tahu bahwa Bara memang menyukai Agatha. Tetapi...

Ada yang salah dengan dirinya. Alin yakin sekali itu. Dirinya...tidak mungkin menyukai Bara bukan? Tidak. Meskipun kecewa, tetapi Alin masih belum dapat melupakan Elvano. Dia masih mencintainya. Jadi, tidak mungkin ada Bara dalam hatinya.

Ini hanya tentang pertemanan. Dia dan Bara hanya berteman. Pada saat Bara mengatakan itu, perasaan Alin terluka karena Alin adalah temannya. Iya, sepertinya memang itu.

***

TBC

maaf lama update gais:(

published July 6th, 2021.

Harmony ; family relationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang