12. Regret, Again

418 67 0
                                    

                        

"...Jen, itu aku 3 tahun lalu. Aku yang belum bisa mikirin perasaanku dulu sebelum mikirin perasaan orang lain. Beda. Hari ini sama yang tiga tahun lalu beda Jen, beda."

"...Bang Tian bener, aku enggak boleh terlalu cinta sama orang lain kalau aku belum cinta sama diriku sendiri. Pada suatu hari yang entah kapan, orang lain pasti pernah membuat kecewa, sedang membuat kecewa, atau akan membuat kita kecewa. Akhirnya kita tetep cuma punya diri kita sendiri, kan? Aku harus prioritasin aku dulu. Aku enggak menyesal pernah sesuka dan sesayang itu sama kamu. Enggak pernah nyesal. Aku cuma... mau lebih memperhatikan diriku sendiri sekarang."

"...Makasih ya udah kasih aku pelajaran hidup yang banyak selama 3 tahun ini. Semoga kamu bisa bertemu yang lebih baik dari aku. Yang mau ngertiin kamu, yang enggak cengeng kayak aku, dan yang bisa kamu ajak brainstorming kalau kamu lagi pengen mikir banget."

                 

"... Aku –eum, g-gue duluan ya, Jeno."

                 

                     

                 

.


"Jenooo!! Gunting siniin, budeg!"

Jeno tersentak dari lamunannya. Ia memfokuskan pandangannya ke depan dan meraih apa yang tadi diteriaki Echan.

Malam itu adalah malam terakhir untuk persiapan opening acara akbar fakultasnya, 'Olimpiade Saintek' yang akan dimulai keesokan harinya jam 8 pagi. Olimpiade Saintek adalah acara tahunan fakultasnya yang didominasi lomba olahraga. Acara ini juga yang jadi salah satu alasan Jeno sering susah diajak main beberapa bulan terakhir karena Jeno punya peran divisi logistik yang merangkap tim sponsorship bagian promosi ke seluruh penjuru kampus.

12 Jam jelang acara dimulai pun Jeno masih disibukkan dengan perintilan panggung opening.

"Maklum aja kak, lagi galon abis diputusin doi." Cuap Echan, membicarakan Jeno.

"Oh, anak sini juga Chan?"

"Ho'oh, adeknya Bang Ti—"

"Chan, gue denger."

Jeno kembali fokus dan langsung menghentikan lambe temannya yang hampir saja bisa buat geger lobby fakultas malam itu.

"Yailah Jen, Cuma Kak Bianca doang ini. Parah banget ya kak?"

Jeno, Echan, dan yang tadi Echan sebut 'Kak Bianca' sedang hanya bertiga saja di dalam ruang sekre BEM fakultas. Mereka sedang membuat hiasan panggung dari origami yang dibentuk menyerupai rantai yang panjang. Salah satu perintilan panggung yang enggak penting-penting amat sebenarnya tapi kalau enggak ada divisi dekorasi dan dokumentasi (dekdok) bisa ngamuk ke anak logistik.

"Bang Ti siapa? Bang Tian ya? Oh jangan-jangan cewenya itu Kinanti ya?"

Kali ini tidak hanya Echan, namun Jeno juga dibuat menoleh ke arah perempuan satu-satunya diantara mereka itu.

"Lah, kok lo tau dia adeknya Bang Tian, kak?" Echan bersuara, persis seperti isi kepala Jeno.

Bianca juga anggota kepanitiaan Olimpiade Saintek. Dia dari divisi konsumsi.

"Tau. Gue pernah beberapa kali naik TJ bareng sama Kinan dari halte depan, dulu pas dia masih maba banget. Anaknya baik. Mungkin karena sering ketemu muka kali ya, dia pernah nyapa gue waktu macet lama. Nanyain buku kalkulus yang gue pegang, terus kenalan. Gue baru tau dia adeknya Bang Tian belum lama ini. Dia pernah sambil nangis pas naik TJ dari halte rumahnya. Ngeliat gue dia malah tambah nangis anjir terus nyender aja gitu di pundak gue sampe di halte depan. Pas turun TJ ternyata dia ditungguin sama Bang Tian. Dan begitu lah gue tau kalau mereka ternyata kakak-adek."

[✔️] PRIORITY || Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang