21. Priority [END]

573 47 0
                                    

"Enggak. Itu enggak bener. Kamu selalu penting buat aku, Nan."



Mendengar suara berat yang tiba-tiba mengalun lantas membuat gerak Kinan seketika terhenti. Cepat-cepat perempuan itu berdiri tegak dan berbalik salah tingkah.

Di belakangnya Jevian yang sudah membuka mata berusaha mendudukkan diri, mengabaikan isi kepala yang mulai berdenyut nyeri.

"A-ada tongseng sapi, kamu makan dulu." Kinan mulai mengendalikan diri dan ingin meraih apa yang baru saja ia beli dari luar.

Sebelum Kinan benar-benar beranjak, Jeno lebih dulu meraih satu tangannya untuk tetap diam.

Dengan penuh keraguan Kinan menoleh dan mendapati tatapan sendu Jeno tepat mengarah padanya.

"Aku minta maaf, Nan." Sesal Jeno sekali lagi.

Kinan masih memandanginya, dengan pandangan yang mulai memburam. Isi kepala Kinan kembali berkecamuk hebat, perempuan itu terguncang.

"Aku enggak pernah merasa terpaksa, dan kamu enggak sendirian selama ini, Nan."

Tangis Kinan pun pecah.

Dengan paksa Kinan melepas tangan Jeno dari miliknya dan dengan gusar Kinan menutupi wajah tangisnya dengan kedua telapak tangan. Kinan sesegukan.

Jeno dengan sisa tenaga yang ia punya cepat-cepat berdiri dan meraih Kinan untuk di rengkuhnya. Tak ada penolakan, hanya ada pilu putus asa yang makin mencekam keduanya.

Dalam dekapannya, Jeno bisa merasakan bagaimana Kinan terguncang hebat atas segala tangis yang ia keluarkan. Dan dalam rengkuhan, Jeno tau bahwa segala rasa sakit yang dirasakan Kinan sudah sampai padanya, menyayat perasaannya, dan menitikkan air matanya.

Dengan pilu yang menguasai seisi ruang, sambil merengkuh Kinanti sosok Jevian Noandra turut menangis bersamanya.

Bermenit-menit hanya seperti itu. Jeno memahami Kinan, Jeno masih memahami dengan baik apa yang Kinan butuhkan ketika perempuan itu menangis keras. Jevian Noandra masih memahami bahwa hening adalah yang paling Hayyin Kinanti butuhkan ketika sedang menyuarakan sedihnya lewat tangis.

Kinan hanya memperbolehkan usapan pada punggungnya ketika terguncang, tanpa suara.



"Maaf. Kamu—kamu makan ya? Badan kamu makin panas." Kemudian Kinan mulai menjauh dan rengkuhan itu terlepas.

Kinan mengusap wajahnya dengan cepat, meraih tisu di sudut ruang dan mulai menyiapkan makanan untuk Jeno.

Jeno masih pada posisinya, dia masih memandang Kinan sendu tanpa suara.

"Duduk, Je." Ujar Kinan ketika ia mendapati Jeno masih berdiri ketika dia berbalik dengan tangan sudah penuh dengan makanan.

"Nan a—ak.."

"Makan dulu, terus minum obat. Aku mau cuci muka sebentar." Kalimat itu diakhiri dengan bunyi jerebam pintu kamar mandi yang ditutup cepat.

Di depan cermin Kinan menatap wajahnya sendiri yang memerah. Apa-apaan semua ini?

Susah payah dirinya berusaha untuk bisa terlihat baik-baik saja, nyatanya?

Lagi dan lagi, ke titik awal.

Kembali memutari semesta yang sama.

Semesta yang salah.

"Ngapain pake nangis segala, sih?!" Maki Kinan pada pantulan wajahnya di cermin.

Tanpa pikir dua kali Kinan langsung membasuh wajahnya dengan air keran wastafel, lalu setelahnya kembali menghadap cermin.

Dejavu.

[✔️] PRIORITY || Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang