Situasi semakin tidak terprediksi, tadi pagi seolah semua baik-baik saja, kenapa sekarang menjadi kalut begini? Aku selalu takut jika berurusan dengan hukum, dahulu ayahku pernah menjadi korban salah tangkap karena dituduh mencuri kapal milik seorang juragan ikan di kampungku. Aku khawatir hal itu bisa saja terulang kepadaku. Apalagi ini adalah kasus kematian seseorang yang diduga menjadi korban pembunuhan. Ya ampun, kenapa harus tetangga dekatku? Jadinya aku turut terkena permasalahannya.
Mata itu, tatapan mata polisi itu membuatku takut. Bibirnya memang tersenyum, tetapi aku tahu sorot matanya yang tajam itu seolah sedang menghakimi. Aku hanya bisa menunduk tak berani menatap. Sementara Mbak Rina terkulai lemas di sofa. Posisinya berjarak sekitar dua meter agak menjauh dariku. Aku kasihan melihatnya. Katakanlah dunia menganggap hari ini sebagai tragedi kriminalitas, tetapi bagi Mbak Rina, ini adalah hari kematian suaminya. Ini adalah hari bela sungkawa. Orang kerja saja ada hari cuti berduka cita. Kenapa Mbak Rina malah disibukkan dengan kepentingan penyidikan?
"Baik, Mbak Resti. Seperti yang sudah diinformasikan oleh Ibu Rina bahwa suaminya yang bernama Bondan Amirudin telah ditemukan tergeletak di lantai Apartemen... "
"Eh... Rumah Susun, Pak, bukan Apartemen" Aku meralatnya.
"Oke, Rumah Susun." Ia mengembuskan napas hingga angin dari hidungnya turut menggerakkan lembar buku di meja. Ia menatapku agak kesal. Entah apa alasannya, mungkin karena dia tidak suka aku meralat ucapannya. Lagipula seorang polisi yang tahu hukum seharusnya tahu perbedaan definisi antara apartemen dan rumah susun. Aku tahu kok ini rumah subsidi, tidak perlu diperhalus dengan istilah apartemen seolah-olah aku membayarnya setiap bulan kepada pengelola.
"Saya ulangi ya, Mbak Resti," katanya melanjutkan. "Suami dari Ibu Rina yang bernama Bondan Amirudin ditemukan tergeletak di lantai Rumah Susunnya pagi ini." ucapannya melantang pada bagian 'Rumah Susun' seolah menegaskan Kali ini dia tidak salah sebut. Padahal dengan menyebut kata 'Rumah' saja sudah cukup.
"Ada darah menggenang di sekitar tubuhnya," katanya lagi. "Di wajahnya terdapat banyak sekali bekas luka sayat. Ada sekotak sereal makanan kucing yang tumpah ruah di samping jazadnya. Juga ditemukan jejak telapak kaki kucing berlumur darah yang arahnya dari genangan darah korban sampai keluar menuju tangga lorong. Ada bekas lubang di leher korban yang sepertinya juga bekas gigitan si makhluk mungil itu."
"Jadi, hubungannya dengan saya apa ya, Pak?" kataku penasaran.
"Anda kan tetangganya. Apakah anda tidak mendengar sesuatu semalam? Semacam gemuruh atau teriakan?"
"Tidak, Pak. Saya sedang tidur."
"Kapan terakhir kali anda bertemu dengan korban?"
"Mungkin... Sekitar dua hari yang lalu ketika dia membantu saya memperbaiki kipas angin yang rusak."
"Kipas angin?"
"Iya. Kenapa, Pak?"
"Anda tahu apa pekerjaan korban?"
"Maaf, Pak. Sepertinya istrinya yang lebih berwenang menjawab."
"Sedari pagi dia tidak mau mengatakan apapun. Kecuali meminta mayat suaminya dikembalikan. Syukur raungannya telah berhenti setelah kami sempat membawakan seorang Psikiater untuk menenangkannya. Kami masih memerlukan jazad suaminya untuk kepentingan Autopsi."
Seketika aku menoleh ke arah Mbak Rina. Sungguh kasihan sekali aku melihatnya. Ini adalah hari duka cita baginya, seharusnya dia sudah berjalan pulang dari pemakaman didampingi beberapa keluarga atau kerabat. Namun, kematian yang tidak wajar membuatnya harus menunda segala prosesi pemakaman almarhum suaminya itu.
"Dia bekerja di toko elektronik. Sementara istrinya...," aku jeda sejenak percakapan ini. Aku takut salah bicara sehingga malah semakin melebarkan permasalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Si Gadis Kucing
Bí ẩn / Giật gânDi sinilah semua kisah itu dimulai. Seorang Wanita yang menyebut dirinya Si Gadis Kucing. Setiap malam dia berkeliling ke setiap sudut gang pemukiman kota. Membagi-bagikan makanan kepada setiap kucing liar yang dia temui. Pada suatu pagi, ditemukan...