6. Radikal

85 26 6
                                    

Pria kasar, aku sangat membenci pria yang kasar. Terlebih dia yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Nampaknya sifat itu ada pada diri pria ini. Bromo terus menarik-narik tanganku, dia enggan melepaskan sebelum aku sampai pada tempat yang dia tuju. Berontak pun percuma karena tenagaku kalah kuat darinya. Kini kami menuruni tangga, ingin aku teriak tetapi sedikit ragu. Suasana pasti akan tambah runyam jika teriakanku memancing perhatian penghuni rusun lainnya.

Pria itu membawaku ke halaman rusun yang tanahnya becek akibat hujan semalam. Telapak kakiku yang tanpa alas harus kotor dan basah dibuatnya. Sesampainya di tempat yang dia tuju, dia melepaskan tanganku.

"Nggak usah kasar bisa nggak sih?" ucapku kesal. Tanganku refleks menampar pipinya. Dia hanya memejamkan mata menahan sakit. Duh, kenapa aku jadi turut berlaku kasar? Seharusnya aku tidak perlu melakukan itu. Aku yakin dia punya maksud kenapa harus bersikap demikian. Tunggu... Apa-apaan ini? Kenapa aku harus bersimpati? Lagipula apa-apaan ini? Kenapa dia membawaku ke tempat sampah?

"Maaf, saya emang harus buru-buru ngasih lihat ini ke kamu sebelum truk sampah datang," katanya beralasan. "Lihat ini."

Dia menunjuk sebuah piring logam yang tergeletak di bawah tempat sampah. Aku hampir memungutnya sebelum tanganku ditepis oleh Bromo. "Jangan dipegang!" katanya memperingatkan.

Tiba-tiba pandangan pria itu seperti terfokus pada tanganku. Semakin membuatku heran tentang apa yang sebenarnya dia pikirkan.

"Ngelihatin apa kamu?" tanyaku dengan tatapan menghakimi.

"Saya lagi merhatiin kuku di jari-jari tangan kamu yang bening."

Yang benar saja? Bibir ini kenapa jadi otomatis tersenyum. Bisa-bisanya dia memuji pada saat-saat seperti ini. Namun tetap, aku harus terlihat tidak terlalu peduli. Apa kata dunia kalau aku terlena oleh pujian pria macam ini?

"Bisa nggak kamu fokus sama kerjaan kamu aja?"

"Bukan, saya nggak lagi ngerayu. Tapi emang bener. Sejak kapan kuku di jari kamu bening bersih kaya gitu?" ujar Bromo menggebu-gebu. "Semalem kamu pakai kutek, kan?"

Tunggu! Kenapa? Kenapa dia harus memperhatikan aku sejeli itu? Apakah memang sudah sejak kemarin dia menaruh perhatian lebih kepadaku? Atau bentuk perhatian ini semata karena dia mencurigaiku? Tetapi gara-gara dia mengatakan hal demikian, aku jadi tersadar akan sesuatu, sudah tiga hari ini aku mewarnai kuku, tetapi aku belum sempat menghampusnya. Aku perhatikan lagi jemariku ini dengan seksama. Benar juga, seingatku semalam kuku ini masih cantik oleh warna merah delima, kenapa pagi ini sudah bersih? Apakah mungkin Lisda yang iseng membersihkan pewarna kuku pada jariku? Tetapi untuk apa? Dia tidak sekurangkerjaan itu.

Ku lihat Bromo jongkok dan membungkukkan badannya, dia mendekatkan hidungnya pada piring logam yang tergeletak di dekat tempat sampah. Menjijikan sekali jika harus menjadi dia. Tetapi mungkin dia telah menemukan sesuatu yang akan menjadi fakta baru atas kemajuan kasus ini. Dengan kata lain, aku akan semakin direpotkan.

"Ada berbagai aroma yang tercium di piring logam ini. Pertama Aseton, kedua tumbuhan Catnip, ketiga Ikan bandeng," kata Bromo setelah bangkit dari posisi jongkoknya. Aku benar-benar tidak paham dengan apa yang dia katakan itu, kecuali pada bagian ikan bandeng. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah kucing.

"Piring itu bekas makan kucing?" Kataku coba menebak.

"Tepat sekali." Bromo membenarkan. "Ada orang yang naruh ikan bandeng di piring ini buat ngasih makan kucing-kucing liar. Dia sengaja naruh piringnya di sini, Karena dia tahu kalau kucing itu sering mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah."

"Terus hubungannya sama kasus yang kamu tangani apa?" tanyaku mencoba memahami tujuannya.

"Kamu perlu ingat, kalau kasus ini berhubungan dengan petunjuk-petunjuk yang mengarah ke kucing."

Misteri Si Gadis KucingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang