"Udah dengar berita soal pembunuhan serupa di distrik sebelah?" tanyaku kepada Merapi. Dia lalu menghampiriku dan duduk di sofa berjarak sekitar dua meter di sisi kananku. Aku pun sebenarnya duduk di sofa, namun sofa yang berbeda.
"Bukan cuma dengar. Tadinya saya hampir saja diminta untuk menangani kasus itu. Tapi, ternyata korbannya anak pejabat." Merapi geleng-geleng kepala setelah itu.
"Memangnya kenapa kalau anak pejabat?" tanyaku mengorek alasannya.
"Serius masih nanya?" Merapi balik bertanya.
Sebenarnya aku mungkin tahu alasan kenapa dia tidak dilibatkan dalam kasus anak pejabat itu. Tak lain adalah karena jika korbannya kalangan elit, jelas polisi langsung yang akan turun tangan. Sedangkan para detektif swasta macam Bromo atau Merapi hanya akan berguna jika korbannya adalah kalangan bawah. Entah alasannya karena apa, aku tidak tahu.
Padahal jika aku yang jadi polisi, akan lebih baik jika ditangani sendiri. Karena menyewa detektif swasta hanya akan menambah biaya saja. Atau mungkin aku yang terlalu polos dan bodoh. Justru karena pembiayaan itulah anggaran bisa keluar sehingga jika ada uang lebih bisa mereka pangkas untuk kepentingan sendiri. Tentu saja mereka punya pertimbangan-pertimbangan politis yang aku tidak mengerti. Begitulah karakter polisi di kota Megakarta yang aku tahu selama ini.
Pertanyaannya adalah apa maksud dari dua pembunuhan kembar tapi beda ini? Jika kasus pembunuhan si anak pejabat meninggalkan petunjuk di TKP yang sama persis dengan yang ada di sini, itu tandanya ada kemungkinan besar keterkaitannya. Jadi apa motifnya? Korbannya adalah anak dari anggota parlemen dan seorang karyawan toko elektronik. Tidak bisa dikaitkan sama sekali meski pikiranku sudah berusaha sangat keras untuk menemukan ide dan jawaban. Atau setidaknya sedikit petunjuk supaya kasus ini bisa sedikit melangkah maju.
Sebaiknya aku harus segera mencari tahu lebih banyak lagi tentang apa saja yang disembunyikan oleh Mas Bondan selama hidupnya. Seharusnya ini bisa dimulai dengan mencari tahu langsung dari mulut Mbak Rina. Tetapi wanita brengsek itu malah meninggalkan masalah ini seenaknya dan membuatku semakin repot sendirian. Harus ke mana aku mencari petunjuk? Apakah aku harus berdiskusi dengan Merapi? Apakah dia akan mendengar saranku?
Merapi tidak seperti Bromo. Dia lebih sering diam daripada terus bergerak. Sial. Bakalan lebih lama kalau begini. Alih-alih berusaha menyelidiki beberapa hasil temuan, kini dia malah asik duduk di sofa sembari memainkan ponsel miliknya. Ku lirik remote TV di meja. Tanpa pikir panjang langsung ku nyalakan TV. Ini aku lakukan supaya Merapi merasa terusik lalu kemudian berbicara.
Namun sudah sekitar lima menit TV menyala, tidak ada satu pun kata protes keluar dari mulutnya. Dia masih asik memainkan ponselnya itu. Bagaimana mungkin dia diam saja? Kemudian dengan rasa penuh geregetan, jariku menekan keras-keras tombol volume supaya suaranya lebih nyaring lagi berharap bisa memancing responnya. Dia tetap tidak merasa terusik.
"Kamu nggak keganggu?" tanyaku kepada Merapi sembari memperhatikan tatapan matanya yang masih fokus kepada layar ponsel. Tidak ada jawaban darinya.
"Hey...," aku memanggil. Apakah dia benar-benar tuli sehingga tidak lagi bisa merespon perkataanku. Kini aku coba mendekatkan diri dan menepuk pundaknya. Barulah dia sadar dan terkejut.
"Kenapa?" tanyanya yang heran.
"Kok diem aja? Jadi, apa yang udah kamu temuin?"
"Kita harus selidiki gadis kucing itu. Sudah dua kali pagi semenjak kemunculan gadis itu ada dua kasus pembunuhan terjadi dengan jejak TKP yang sama. Kita harus mencegahnya. Jangan sampai di kota ini ada penemuan mayat lagi besok pagi."
Gila..., idenya benar-benar cemerlang. Kenapa tidak kepikiran sebelumnya? Betul juga. Kemungkinan bahwa besok akan terjadi pembunuhan lagi sangatlah besar. Tapi...
"Jam berapa sekarang?" tanyaku kepada Merapi karena ku lihat dia memakai arloji.
Dia menyodorkan arlojinya kepadaku. Menunjukan angka 17.30. "Kenapa? Ada urusan? " tanya Merapi. Wajahnya menunjukan ekspresi takut jika aku pergi meninggalkannya. Padahal aku hendak mengatakan hal lain.
"Waktu kita tidak banyak. Jika setiap mayat ditemukan di pagi hari, artinya pembunuhan terjadi di malam hari. Kalau begitu kita harus segera mencari gadis itu sekarang juga."
"Pinter juga analisis kamu, Resti."
"Kayanya kamu yang lebih pinter. Dari tadi padahal cuma duduk sambil main handphone. Kok bisa nemu ide begitu?" tanyaku keheranan. Merapi menunjukkan layar ponselnya yang menunjukan sebuah susunan angka dan kotak-kotak. Sungguh itu kode yang rumit.
"Aku pikir gampang jadi detektif. Ternyata harus hapal kode buat nyari petunjuk." Keluhku ini dibalas tawa oleh Merapi. Aku hanya bisa menatapnya kesal. Tawanya semakin terbahak-bahak cukup lama.
"Kenapa ketawa?" aku bertanya heran. Dia masih terus tertawa dan semakin keras. Padahal jika aku lihat dengan benar ekspresi wajahnya, dia seolah sedang berusaha menghentikan tertawanya. Apakah ada hal yang terlalu lucu dariku?
"Saya pikir kamu tahu apa yang saya tunjukin barusan," kata Merapi. Maksudnya adalah sesuatu yang ada di layar ponselnya.
"Emang itu kode apa?" tanyaku lagi.
"Ini cuma game Sudoku. Game ini emang dimainkan dengan cara berpikir angka mana yang tepat untuk dimasukan ke dalam kotak. Aku biasa main ini buat ngasah otak." Merapi menjelaskan singkat tentang game yang dimainkannya. "Ngomong-ngomong kamu sadar nggak kalau nada bicara kita seolah meninggi?
Aku tahu maksudnya. Ada sesuatu yang tanpa kami sadari telah mengganggu pembicaraan kami. Sehingga suara kami masih kalah oleh suara itu. Dia adalah volume TV yang terlalu nyaring sejak tadi. Segera saja ku matikan TV.
Tepat setelah layar TV mati. Ada suara gemuruh dari luar sana. Aku segera lari ke arah jendela untuk melihatnya. Ternyata beberapa tong sampah bejatuhan. Akibat siapa lagi kalau bukan kucing liar? Ah sudahlah. Aku sedang malas mengurusi kucing-kucing jalanan itu.
"Ada apa?" tanya Merapi yang memilih untuk tetap duduk dibanding penasaran.
"Beberapa tempat sampah berjatuhan." Setelah aku mengatakan itu, Merapi segera mengenakan jaketnya cepat-cepat, kemudian berlari keluar. Dia sedang merencanakan apa? Kenapa tiba-tiba lari tanpa mengajakku. Apakah suara gemuruh jatuhnya beberapa tempat sampah itu disebabkan oleh si Gadis Kucing? Sepertinya itu yang dilakukan Merapi, mengejar gadis itu.
Aku tidak mau tinggal diam. Aku juga turut berlari keluar dari rumah Mbak Rina. Lalu menuruni tangga hingga pada akhirnya kami sudah keluar dari bangunan rumah susun. Jejak Merapi sudah tidak nampak. Larinya begitu cepat. Aku khawatir kalau dia akan bernasib sama seperti Bromo. Apalagi hari sudah mulai gelap. Orang-orang pelit di lingkungan sini sangat enggan menyalakan lampu yang seharusnya menerangi gang. Untung saja pukul 18.00 masih ada sisa-sisa cahaya senja.
Biasanya di gang ini selalu nampak gerombolan kucing liar yang mengais-ngais sampah. Sekarang tidak ada. Kemana mereka?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Si Gadis Kucing
Mystery / ThrillerDi sinilah semua kisah itu dimulai. Seorang Wanita yang menyebut dirinya Si Gadis Kucing. Setiap malam dia berkeliling ke setiap sudut gang pemukiman kota. Membagi-bagikan makanan kepada setiap kucing liar yang dia temui. Pada suatu pagi, ditemukan...