PROLOG

201 39 1
                                    

Aku baru saja bangkit dari ranjang. Alarm sialan ini memaksa aku untuk enyah dari bantal-bantal kesayanganku yang seolah memiliki daya magnet kuat.

Pagi ini seharusnya aku mengambil cuti. Tetapi alangkah menyebalkan temanku yang bernama Lisda itu. Gara-gara dia punya pacar baru, aku harus mengorbankan waktu tidur pagiku hanya untuk bertukar sift dengannya.

Aku cukup memahami bagaimana orang-orang berbahagia menjalin asmara. Tetapi bagiku yang seumur hidup selalu sulit berbaur dengan orang lain, tidak begitu mengerti entah bagaimana rasanya berkasih.

Seusai mandi dan berganti pakaian, aku duduk menghadap cermin menyaksikan wajahku yang jauh dari kata good looking. Sudah mandi kok masih tak nampak ayunya? Jika cermin rias ini bisa bicara, mungkin dia akan sering protes karena pemandangan setiap paginya hanyalah wajahku yang abstrak ini.

Terkadang aku agak protes kepada Tuhan, kenapa orang-orang bisa sangat cantik sementara aku begini? Andai saja aku memiliki wajah yang ayu, mungkin akan lebih mudah bagiku dalam memuluskan banyak rencana kehidupan.

Tetapi, beberapa peristiwa tentang kasus bunuh diri artis cantik menyadarkanku, bahwa kecantikan bukanlah kunci kebahagiaan bagi wanita. Iya..., Itu benar..., apalagi kalau tidak cantik...?

Pada akhirnya aku tak ingin berlama-lama di depan cermin. Cukup ku gunakan lipcream agar bibir tidak pucat seperri zombie. Serta sedikit bedak di wajah agar tak kusam dan gelap bagaikan topeng leak bali. Tak perlu kosmetik yang harganya selangit. Bedaknya pun bedak bayi. Untuk apa mahal-mahal kalau wajahku sulit diperbaiki.

Aku melirik ke arah jam dinding melalui cermin rias. menunjukkan pukul 6 pagi. Sial! Seharusnya aku tidur saja sampai beberapa jam lagi. Waktu berangkat kerja masih sekitar dua jam dari sekarang. Aku harus apa?

Ngomong-ngomong, namaku Resti Mulyasari. Aku sudah dua tahun ini bekerja di toko kue. Apalah daya, aku hanya seorang gadis tamatan SMA. Ijazahku tak mampu mengantarkan diri kepada pekerjaan yang lebih bergengsi. Aku tidak bisa melanjutkan kuliah karena tidak ada biaya. Orangtuaku di kampung hanya seorang nelayan perahu kecil. Aku tak ingin membebani mereka. Pernah terbesit niat ingin mengejar beasiswa, tetapi otak ku pas-pasan.

Satu-satunya harapan kemajuan hidupku ke depan adalah aku dinikahi oleh pria kaya yang baik hati. Terserah mau tampan atau tidak, aku cukup sadar diri. Setidaknya nasibku beserta keturunanku nanti bisa diperbaiki.

Sudahlah..., daripada aku terus mengeluhkan takdir, lebih baik aku menonton TV. Pagi-pagi biasanya ada berita hangat. Lumayan untuk asupan pengetahuanku. Demi menutupi kekurangan otak yang tumpul ini. Karena dari mana lagi aku bisa mempelajari berbagai informasi jika tidak melalui berita di TV?

Apa-apaan ini?  lagi-lagi beritanya tentang kasus suap, penggelapan pajak, atau berita buruk lainnya yang memuakkan. Jangankan aku sebagai pemirsa, bibir pembawa acara beritanya saja cemberut. Satu-satunya berita yang membuat pembawa acaranya tersenyum hanyalah berita tentang Pemilihan Walikota yang akan dilangsungkan seminggu lagi. Katanya Pesta Rakyat Lima Tahunan. Huh! Janji kampanyenya bukan main. Lollipop saja masih kalah manis.

Ku matikan saja TV ini. Berita kok isinya buruk semua. Kesejahteraan dijanjikan setiap lima tahun sekali, sementara aku masih tinggal di rumah susun dengan dinding retak yang jika hujan turun airnya rembas ke dalam. Belum lagi jika aku melongok ke jendela, di bawah sana halaman rumah susun ini sangatlah tidak nyaman dipandang, karena sampah berserakan dimana-mana. Terkadang kucing-kucing liar berlarian saling berebut makanan yang dicurinya dari tempat sampah. Barangkali kucing-kucing inilah penyebab sampah-sampah itu berserakan.

Ku lirik ke arah jam dinding lagi, waktu masih menunjukkan pukul 06.15 WIB. Apa? Aku hanya menghabiskan lima belas menit di depan TV? Apa lebih baik aku tidur lagi saja ya? Tapi tanggung, nanti malah kelewatan.

Ah... Iya... Baru ku ingat kalau aku mempunyai setumpuk pakaian kotor. Segera ku kemas dan ku masukkan dalam plastik kresek hitam ukuran jumbo. Aku akan membawanya ke tempat laundry yang berada di lantai bawah. Mungkin lebih baik sekalian berangkat kerja saja. Biarlah jika waktunya masih lama. Aku bisa mampir di tukang bubur ayam dulu nanti sambil menunggu.

Tak lupa ku kunci pintu rumahku. Tanganku agak repot karena harus memegangi kantong kresek berisi pakaian kotor ini. Ku letakkan saja dulu di lantai selagi aku mengunci pintu di saku celana. Setelah itu akan aku jinjing kembali.

Selagi aku mengambil kantong kresek, bekas telapak kaki yang sepertinya milik seekor kucing terlihat menjejaki lantai. Anehnya, bentuk jejak telapak itu berwarna merah layaknya darah. Pasti kucing ini habis makan tikus. Atau habis bertarung dengan kawannya.

Ku abaikan saja masalah sepele itu, siapa peduli dengan lantai lorong yang kotor? Selama ini aku yang selalu membersihkan. Tetangga-tetanggaku yang lain mana pernah mau melakukannya? Biar saja mereka gantian yang membersihkan lantai lorong ini.

Meskipun aku sudah menebak dan berani taruhan dengan siapapun, sesampainya aku pulang kerja nanti sore pun keadaan lantai akan tetap begini. Tidak akan hilang cap kaki kucing itu sampai kiamat.

Aku menuruni tangga sambil menjinjing kantong pakaian kotorku. Tetangga malas yang ku maksud tadi, kini berpapasan. Ia menaiki tangga hendak ke lantai atas. Kesempatan untuk dia menyaksikan lukisan sang kucing di lorong atas. Biar dia rasakan.

"Berangkat kerja, Res?" Sapanya tersenyum. Ada-ada saja, sudah tahu kok nanya. Apakah tidak ada sapaan lain selain pertanyaan yang jawabannya sudah dia ketahui? Misalnya 'Res, sarapan dulu yuk, biar aku yang traktir.' Mana mungkin... Bisa kiamat bumi ini. Dan yang lebih tololnya lagi, malah aku iyakan pertanyaan itu. Jadi siapa yang sebenarnya tolol?

Namun, kepuasanku terbayarkan ketika aku sudah sampai lantai dasar. Ketika aku sedang menimbang pakaian kotorku di twmpat laundry, Dari atas sana, terdengar suara tetanggaku berteriak kencang.

"Mampus...," kataku lirih. Ia pasti sangat terkejut dengan kondisi lantai dipenuhi jejak kaki kucing liar. Artinya dia terpaksa harus membersihkannya kali ini karena dia sudah kepalang tanggung melihatnya. Namanya manusia, pasti ada perasaan tidak enak melihat yang kotor, orang waras pasti ada rasa ingin membersihkan. Masa iya mau tidak tahu diri terus? Mau sampai kapan?

***

Misteri Si Gadis KucingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang