9. Wajah Pekat

37 20 3
                                    


Aku memutuskan untuk pulang meninggalkan sementara Bromo yang kini masih harus dirawat di Rumah Sakit. Seperti biasa, aku lebih memilih berjalan kaki di trotoar daripada naik kendaraan. Apalagi pada jam orang pulang kerja sore-sore begini. Melangkahkan kaki dengan hati-hati. Berjaga kalau-kalau kakiku terperosok gorong-gorong yang menganga.

Aku benar-benar sudah sangat lelah menjalani hari-hari belakangan ini. Kapan masalah ini akan segera selesai? Jangankan bisa mengira-ngira endingnya. Menemukan kemajuan kasusnya pun tak ada secuil pun petunjuk.

Di pertigaan, aku langsung berbelok dan masuk ke gang. Seperti biasa kucing-kucing liar berkumpul menyambutku. Namun, itu sudah tidak semenyenangkan kemarin-kemarin rasanya. Semenjak kejadian yang menimpa Bromo serta beberapa hal janggal yang terjadi pada kucing-kucing liar itu, sungguh sudah membuatku sangat paranoid.

Aku memilih untuk berjalan pelan melewati gerombolan kucing yang terus saja mengeong seolah meminta sesuatu dariku. Mereka berlarian mengikuti ke mana aku berjalan. Memang biasanya aku memberi mereka ikan segar yang sengaja ku beli dari pasar. Tetapi untuk saat ini rasanya aku tidak bisa. Aku tidak sempat memikirkan hal itu. Lagipula rasa paranoid ini sebetulnya bisa saja membuatku jadi lebih menjaga jarak dengan kucing liar.

Langkah kaki ini cukup terganggu dengan beberapa ekor kucing yang menghalangi jalan. Rasanya semakin lama semakin banyak saja yang mengerumuniku. Sehingga tak sengaja kaki ini menginjak salah satu dari mereka. Ya Tuhan! Mati aku. Tatapan mereka berubah menjadi sangat galak seolah menghakimiku ketika mereka mengetahui kawannya sampai pingsan setelah ku injak dengan tidak sengaja.

Tiba-tiba gerombolan kucing ini mengeluarkan suara-suara nyaring layaknya suara kucing liar ketika bertarung. Namun bedanya, ini sungguh sangat banyak. Semakin nyaring bunyi mereka, semakin bertanbah pula lah kucing-kucing liar yang turut datang berkerumun. Mereka ada yang datang dari gang lain, dari atas atap, dari pohon, dari balik tempok pagar, dan dari tong sampah.

Aku ingin sekali lari, tetapi takut kakiku akan menginjak mereka lagi. Karena kini jumlah mereka begitu banyak. Jika diibaratkan gerombolan semut dan permen, maka aku permennya. Aku hanya bisa berdiri gemetaran dan menutup mata. Kucing-kucing itu mulai memanjat celana jeans ku. Ada 3 ekor sepertinya yang masih berusaha mendaki tubuhku.

Aku tak lagi bisa menyaksikan sekeliling karena mataku tertutup rapat-rapat. Namun, tiba-tiba satu per satu suara nyaring para kucing semakin berkurang. Kucing yang merambat ke badanku pun kini sudah menyerah dan memilih untuk turun.

Aku heran, kenapa tiba-tiba saja mereka bubar? Aku kembali membuka mata perlahan. Hanya tersisa beberapa ekor saja rupanya. Kemana yang lain?

"Gimana? Udah ketemu pembunuhnya?" suara dari seseorang terdengar begitu dingin dari arah belakang. Aku menoleh ke belakang perlahan. Rasa takutku dikalahkan oleh rasa penasaran.

Suara itu seperti suara seorang gadis remaja. Kini mataku sudah menatap lurus ke arahnya. Wajahnya gelap tertutup bayangan Hoody. Seluruh wajah hampir tak mampu ku saksikan dengan jelas, kecuali hanya kedua sorot matanya yang terlihat seolah menyala. Padahal hari masih sore. Pada dasarnya gang ini memang gelap karena ada di antara dua bangunan tinggi yang menghalangi pancaran sinar matahari.

Dia menggendong anak kucing yang sedang sekarat. Anak kucing yang baru saja secara tidak sengaja aku injak. Sedangkan gerombolan kucing liar lainnya mengerumuni wadah makanan yang gadis itu bawa.

"Siapa kamu, Dek?" tanyaku dalam kondisi bibir yang bergetar ini. "Kenapa kamu selalu mengikuti saya?"

"Aku cuma anak jalanan biasa yang kebetulan lewat. Nggak bermaksud ngikutin Kakak," kata Gadis itu dingin. Suaranya benar-benar masih belia. Tetapi aku bahkan tidak bisa melihat di mana mulutnya yang dia gunakan untuk bicara.

"Terus kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?"

"Aku muncul cuma ketika mereka lapar."

Aku mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga hal yang buruk akan menimpa. "Dari mana kamu tahu soal pembunuhan itu?"

"Siapa warga sini yang nggak tahu?" katanya lagi dengan tatapan mata mengarah ke anak kucing yang masih dia gendong.

"Kamu tinggal di sini, kok saya nggak tahu?"

"Harusnya Kakak tahu. Tapi Kakak malas mencari tahu," tuduhnya dengan nada yang menghakimi. Kini matanya menatap ke arahku.

"Salah saya apa, Dek?" Pertanyaanku tak digubris olehnya.

"Temui aku malam ini jam 9 di lantai 2. Pintu nomor 16."

Apa benar dia tinggal di Rumah Susun yang sama denganku? Aku bahkan tidak pernah menyadari kalau ada penghuni seorang gadis remaja di lantai 2. Atau aku saja yang kurang bergaul.

"Resti...!" teriak seorang pria memanggil namaku. Aku langsung menoleh ke arah yang berlawanan dengan posisiku yang semula menghadap gadis itu.

Siapa pria brewokan ini? Dia kini berjalan cepat menghampiriku dengan senyuman. Tetapi aku kenal seragamnya. Persis seperti yang dipakai Bromo.

"Kamu Resti kan?" tanya pria ini.

"Kok tahu?"

"Bromo nggak pernah salah dalam mendeskripsikan orang." Sudah ku duga. Dia sepertinya orang yang Bromo bicarakan akan menggantikan tugasnya.

"Jadi, anda...?"

"Saya Merapi. Abangnya Bromo." Dia mengulurkan tangannya mengajakku bersalaman. Aku sambut jabat tangannya itu dengan elegan.

Meski sedikit menahan tawa mendengar namanya itu. Usai salaman, secara refleks menutup mulutku dengan tangan kanan untuk meredam tawaku agar tak lepas.

"Kamu pasti penasaran sama kaitan antara nama kami dan gunung api. Tapi itu bisa diceritakan nanti," kata Merapi yang juga sedikit senyum. "Lagi ngomong sama siapa tadi?"

Hah? Aku pun menoleh. Ternyata gadis itu sudah tidak ada. Gerombolan kucing pun sudah bubar semuanya.

"Tadi dia ada di sini..."

"Dia siapa?"

"Gadis itu..."

***

Kami bersama segera menuju ke Rumah Mbak Rina. Mencoba kembali menemani Detektif Swasta yang satu ini untuk memecahkan kasus. Terlihat dia kembali melakukan apa yang Bromo lakukan.

"Lho? Bukannya kemarin Bromo juga ngelakuin itu? Kok diulangi lagi?" tanyaku sedikit protes.

"Ini untuk memastikan bahwa semua kalkulasinya pas dan presisi," katanya beralasan sambil terus mengukur jejak dengan meteran kecil.

"Jadi kamu nggak percaya sama adik kamu sendiri?"

"Saya nggak percaya siapapun."

"Pasti membosankan punya Kakak macam anda."

Dia menatap ke arahku, tatapannya tajam dan galak.

"Ya... Maaf, bukan gitu maksud saya," kataku yang sedikit tidak enak hati.

"Kami bukan keluarga melankolis. Kami semua punya prinsip sendiri-sendiri. Bahkan kami tidak saling percaya satu sama lain."

"Kenapa bisa begitu?"

"Panjang ceritanya."

"Mungkin bisa dimulai dari kalimat yang paling pendek...?"

Merapi menarik napas panjang, lalu mengembuskannya sambil kemudian berdiri dan menghampiriku yang tengah duduk di sofa.

***

Misteri Si Gadis KucingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang