13. Dikejar Pembunuh

66 15 13
                                    

Aku memiliki banyak pertanyaan yang sengaja ku tabung dalam pikiran. Entah kepada siapa pertanyaan-pertanyaan ini akan ku lontarkan nanti. Sebab, orang yang seharusnya mampu menjawab, kini sedang mengejarku dengan senjata api di tangan. Merapi tiba-tiba menjadi orang yang menakutkan dengan raut wajah penuh nafsu untuk membunuh.

Aku masih berlarian melalui rimbunnya hutan jati. Tanpa beralas kaki, ku terjang berbagai permukaan tanah meski harus tertusuk duri semak-semak ketika melangkah. Sengaja tak ku pilih jalan setapak. Supaya dia sedikit kesulitan untuk mengejar.

Jantungku masih berdegup kencang. Merapi masih menembakkan beberapa kali senjata apinya ke arahku. Meski beruntung pelurunya hanya mengenai batang-batang pohon. Caraku berlari memang tidak beraturan. Tentu saja jika aku berlari lurus, akan mudah baginya mendaratkan peluru.

Rasanya lariku mampu lebih jauh mendahuluinya. Seumur hidup baru kali ini aku merasa mampu berlari sangat cepat. Mungkin karena perasaan terdesak, sehingga aku mampu mengerahkan seluruh daya untuk menjauh dari si pembunuh.

Sebuah gubuk bambu berdiri di depan sana. Lentera menerangi serambinya. Meski ini siang hari, suasana hutan memang sangat gelap karena rimbunnya pepohonan dengan dahan-dahan tinggi. Aku bisa saja bersembunyi di gubuk itu. Tapi, sepertinya justru akan mudah untuk ditemukan. Lagipula aku tidak tahu, apakah gubuk itu berpenghuni atau tidak.

Keputusanku untuk bersembunyi, kini beralih kepada sebalik batu besar yang berada jauh di sisi kanan gubuk itu. Sengaja ku tutupi seluruh tubuhku dengan semak dan sampah daun-daun kering. Berharap Merapi tidak dapat melihatku.

Dari celah semak ini, aku mampu mengintip keluar. Ku lihat Merapi sudah mendekat, raut wajahnya sedikit dihinggapi rasa cemas. Dia tengak-tengok kebingungan dalam rangka mencari keberadaanku. Dia menembakan lagi pistolnya ke udara. berharap aku ketakutan lalu terkejut. Ya, aku memang ketakutan, aku juga terkejut. Tapi aku berusaha semaksimal mungkin untuk menahan teriakan.

Tiba-tiba seseorang keluar dari dalam gubuk bambu. Seorang perempuan yang dari kejauhan ku perhatikan seperti aku mengenalinya. Dia mendekati Merapi, lalu saling berbincang. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi mereka berdua terlihat sangat akrab. Untung saja aku tak memilih bersembunyi di sana.

Setelah perbincangan itu, mereka berdua memutuskan untuk memasuki gubuk itu. Aku bisa sedikit bernapas lega, setidaknya Merapi sudah berhenti mengejarku. Meskipun cepat atau lambat, dia pasti akan melanjutkan pencariannya sampai aku ditemukan. Karena jika tidak, dia akan berada dalam bahaya. Aku lah satu-satunya saksi hidup pembunuhan Merapi terhadap gadis itu.

Perempuan di gubuk itu, aku baru ingat sekarang. Jelas aku kenal dia siapa. Dia adalah Mbak Rina, istri dari Mas Bondan. Tetangga ku yang menjadi korban pembunuhan misterius. Rupanya jelas sekarang siapa laki-laki yang mengajak Mbak Rina keluar kala itu. Di tengah keadaan serba mencekam, satu per satu fakta mulai tersingkap.

Aku harus menyelamatkan diri bukan hanya untuk hidupku. Tapi juga untuk mempertahankan fakta-fakta ini agar bisa diketahui orang lain. Siapapun yang akan melanjutkan kasus ini nantinya, dia harus tahu.

Aku memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dengan mengindik pelan agar tak menimbulkan suara. Ketika aku sudah cukup jauh berjalan menuruni perbukitan hutan jati yang curam. Aku kembali berlari kencang. Berharap aku dapat menemukan pemukiman, jalanan, kota, atau apapun yang dapat menyelamatkanku.

Hingga akhirnya aku menemukan jalan beraspal. Ku coba menunggu beberapa kendaraan yang lewat, lalu ku berhentikan untuk menumpang. Meski banyak di antara mereka pada akhirnya hanya melaju saja tanpa menghiraukan keberadaanku.

Tempat ini memang sangat sepi. Wajar jika mereka mengira aku dedemit hutan atau orang gila. Pakaianku sangat lusuh. Rambutku acak-acakan dihinggapi dedaunan kering. Aku pun tanpa beralas kaki. Aku tak peduli dengan penampilan ketika nyawa ku saja sedang terancam.

Sampai kemudian aku mendapati mobil yang akhirnya mau berhenti ketika dengan sangat terpaksa ku hadang di tengah jalan.

"Jangan sakiti saya. Ampun... jangan sakiti saya," raung si supir. Dia seperti ketakutan melihat penampilanku.

"Pak, tolong saya, Pak. Saya orang baik-baik. Saya mau menumpang ke Megakarta. Ada orang yang ngejar-ngejar saya, ada yang mau bunuh saya, Pak."

"Jadi, kamu bukan dedemit?"

"Bukan, Pak. Saya manusia. Tolong saya, Pak."

"Ya sudah, sini masuk."

Aku bergegas masuk ke mobil pick up yang membawa sayuran ini. Rupanya si supir memang awalnya ketakutan melihat penampilanku. Karena katanya jalanan ini dikenal sangat angker. Dia sering melalui jalanan ini sendirian. Dia banyak bercerita tentang pengalaman para rekan-rekan sesama supir ketika melewati jalanan ini. Mereka sering mengalami hal-hal ganjil.

Aku tidak peduli apa yang dia katakan. Aku hanya meringkuk dengan mengangkat kedua kaki ke atas jok mobil. Aku ketakutan setengah mati setelah ditimpa kejadian mengerikan hari ini. Namun, tiba-tiba aku mendengar si supir mengatakan hal yang berhubungan dengan kucing. Perhatianku langsung tertuju pada ocehan yang semula ku abaikan itu.

"Tadi bilang kucing kenapa, Pak?"

"Iya... Temen saya katanya pernah dikejar-kejar kucing buas sekali di daerah sini. Itu kejadiannya waktu tengah malam lho, mbak. Katanya kaya dikejar zombie. Kucing besar-besar. Matanya menyala terus larinya kenceng. Mobil kecepatan 90 kilo per jam pun masih kekejar."

"Itu kapan kejadiannya, Pak?"

"Belum lama sih... Sekitar satu bulan yang lalu."

Fakta ini semakin menambah titik terang kasus ini, juga sekaligus menambah pertanyaan-pertanyaan baru. Banyak yang ingin ku tanyakan perihal ceritanya itu. Namun, entah kenapa tiba-tiba kepalaku jadi pusing. Tubuh seperti diserang rasa lelah begitu hebat. Mataku tak kuat lagi untuk terjaga.

***

Aku dibangunkan oleh si supir. Katanya ini sudah masuk kota Megakarta.

"Bangun, Mbak. Kita udah di Megakarta. Saya harus lanjut perjalanan lagi."

"Oh... Iya, Pak. Makasih banyak."

Aku menurini mobil itu. Dengan penampilan yang sangat compang camping seperti orang tidak waras, tentu menjadi pusat perhatian orang.

Ke mana tujuanku kali ini? Tidak mungkin aku pulang ke rumah susun. Bisa saja aku tidak aman di sana. Lebih baik aku ke tempat tinggal temanku saja, Lisda.

Hari ini dia bekerja, begitu pula seharusnya aku. Tapi, aku tahu di mana dia biasa menyimpan kunci pintu kos-kosannya. Di bawah pot bunga.

Seusai mandi, akhirnya aku bisa beristirahat dengan tenang dan nyaman. Meskipun ini hanya kenyamanan sementara. Ada banyak masalah yang harus ku selesaikan setelah ini.

Kenyamanan dalam merebahkan badan di kasur empuk ini, sudah sangat aku rindukan dalam beberapa hari belakangan. Ku pikir ini akan jadi istirahat paling menenangkan. Ternyata kegelisahanku kembali digugah oleh segumpal gelombang di bawah selimut. Seperti ada seseorang di sebaliknya. Bagaimana mungkin ada manusia yang merebahkan diri di sini sementara sebelum aku masuk, pintu masih terkunci rapat.

Aku menjerit keras ketika ku singkap selimut itu dan ku dapati seorang pria sedang menatapku tajam, seolah sengaja menunggu untuk disingkap. Teriakanku langsung dibekap oleh tangannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Misteri Si Gadis KucingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang