"Kehilangan"

29 17 4
                                    

“Kau tau? Semua orang menyalahkanku saat kau tak ada disini. Kau tau? Aku begitu terpuruk saat kehilangan dirimu. Karena semua orang tak pernah bisa mempercayaiku seperti kamu, dan semua orang tak mampu memahami hatiku sebaik dirimu. Kembalilah, aku butuh.” -Anaphalis Javanica.

Sepanjang perjalanan turun ke bawah, hati Ana terus merasa gelisah. Dia tak bisa fokus pada jalanan yang dilewatinya, pikirannya terus saja tertuju pada keberadaan dan keselamatan Rey. Saat sampai di Kalimati, air matanya kembali merembes ke permukaan. Segala kebersamaaannya dengan Rey menyisakan kenangan yang tak bisa dimengerti oleh siapapun. Setiap deru napas yang ia hembuskan, mengingatkannya pada senyum Rey, tatapan tajamnya, bahkan kata-katanya yang selalu menenangkan.

Kenapa seseorang terlihat begitu berharga setelah pergi dari hidup kita? Kenapa kehilangan harus menjadi puncak dari setiap sesal yang dirasakan seseorang? Jika penyesalan mampu membuat seseorang kembali, maka itu yang akan dilakukan oleh Ana. Jika dia tau Rey akan menghilang setelah dia tinggalkan di belakang, mungkin dia tak akan pernah meninggalkannya. Jika dia tau Rey akan pergi dari sisinya, dia tak akan melepaskan laki-laki itu di genggamannya. Tapi semua hanya tinggal sesal, dia tak mampu menemukan Rey dimanapun. Dia tak bisa bersama lagi dengan laki-laki itu.

Langkahnya kembali gusar saat sampai di Jambangan. Di tempat itulah Rey menggendongnya. Di tempat itulah laki-laki itu berjuang sekeras tenaga mempertaruhkan nyawanya. Ana kembali mengusap air matanya yang tak henti-hentinya mengalir. Dia terus berjalan meski kakinya terasa pegal, dia sama sekali tak memperhatikan lagi seperti apa penampilannya saat ini. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana dia bisa cepat sampai di Ranu Kumbolo dan memberitahukan kepada Atta dan Keira tentang menghilangnya Rey. Yang ada di pikirannya juga hanyalah bagaimana para petugas cepat bergerak dan menyelamatkan nyawa Rey.

"Mbak, tidak mau istirahat dulu?" tanya salah satu pendaki yang turun bersama Ana.

Ana menggeleng kuat, dia tak ingin menyia-nyiakan waktunya untuk istirahat. Saat ini waktu satu detik pun sangat berarti bagi dia, "Tidak usah, Mas. Jika Mas mau istirahat tidak apa-apa. Saya akan melanjutkan turun ke bawah sendirian,"ujar Ana.

"Oh, tidak Mbak. Maksud saya takut Mbak kelelahan."jawab pendaki tersebut.

"Tidak, Mas. Saya tidak lelah sama sekali. Saya harus cepat-cepat sampai di bawah, agar Rey segera mendapatkan pertolongan."

Ana sedikit mempercepat langkahnya. Dia tak ingin orang-orang menganggap dia lemah. Dia harus kuat demi Rey.  Para pendaki tersebut mengangguk paham, mereka mengerti bagaimana kekhawatiran yang sedang Ana rasakan.

Saat sampai di Cemoro Kandang, kaki Ana seakan tak kuat lagi untuk melangkah. Namun ia tetap memaksakan kakinya untuk mengikuti pikirannya. Dia terus berjalan meskipun selalu terseok-seok.

"Mbak, istirahat dulu ya. Kita beli air dulu," ucap salah satu pendaki saat melihat langkah Ana yang mulai lunglai.

Ana tetap menggeleng kuat. Dia melanjutkan langkahnya dan tak menghiraukan perkataan siapapun. Sampai pada akhirnya tubuhnya sendiri tak kuat, dia jatuh terjerembap. Ana menangis sejadi-jadinya, dia merasa beban hidupnya kini lebih besar.

"Tuhan, kenapa kau terus menguji diriku? Kenapa kau tak pernah membiarkan aku tersenyum lebih lama? Aku lelah jika terus-terusan seperti ini!!!" teriak Ana frustasi.

Semua pendaki yang ada di sekitar tempat itu menghampirinya. Mereka menolong Ana dan memberikannya minum. Mereka juga merasa iba melihat kondisi fisik Ana yang tak lagi terurus, ditambah lagi air mata yang terus mengalir di pipinya yang mulai kusam.

"Sebaiknya Mbak istirahat dulu."

"Jangan memaksakan diri."

"Kasihan sekali dia."

REYANA (The Secret Of Edelweiss)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang