“Rasa sakit yang paling membekas adalah, ketika kita sangat menyayangi seseorang, namun kita tak mampu berbuat apapun untuk membuatnya bahagia.” ~Anaphalis Javanica
Dengan langkah yang sedikit ragu, Ana menapaki jalan-jalan berkerikil itu. Kakinya terasa berat untuk menginjakkan kaki di tempat yang menyebabkan hidupnya hancur. Dia meremas jari-jemarinya untuk sekedar meminimalisir kecemasan yang dia rasa. Tetapi perlahan, kakinya mundur selangkah demi selangkah, bahkan sebelum dia sampai di hutan itu. Bayangan tentang kejadian 7 tahun yang lalu, membuat nyalinya ciut. Kebakaran yang nyaris merenggut nyawanya itu membuat napasnya terasa sesak. Dia berbalik arah dan meninggalkan tempat itu tanpa berani mencobanya.
“An, kau datang darimana, Nak?” sapa sang Ayah ketika dia sudah sampai di rumahnya kembali.
Ana menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Dia tak mampu menjawab pertanyaan sang Ayah, “Eummm… Itu Ayah, Ana datang dari.. anu,” bibirnya seakan kelu saat ingin mengatakan yang sesungguhnya.
“Kamu kenapa, hemm? Tidak biasanya kamu seperti ini,” sang Ayah mengusap puncak kepala Ana dengan lembut, “Katakan pada Ayah, kau tidak pernah menyembunyikan sesuatu dari Ayah, bukan?”
“Tidak, Ayah.”
“Lalu?”
Ana menghela napasnya dengan lelah, “Aku.. aku berencana untuk mendatangi juru kunci gunung itu, Ayah,” dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan kecemasan yang begitu kentara di wajahnya, “Tapi, aku belum berani menginjakkan kaki di hutan itu lagi. Aku masih trauma. Maafkan aku tidak pamit terlebih dahulu pada Ayah.”
Tanpa sepengetahuan Ana, sang Ayah sangat terkejut dengan penuturan anak gadisnya itu. Dia tak pernah menyangka, Ana akan mempunyai pemikiran sejauh itu.
“Tapi kenapa, Nak? Untuk apa?” sang Ayah bertanya dengan nada yang dibuat sesantai mungkin. Dia tak ingin memperlihatkan keterkejutannya.
“Aku.. aku ingin bertanggung jawab pada Abang, Ayah. Aku tidak bisa membiarkan Abang terus-terusan menahan rasa sakit karena diriku. Aku yang bersalah, dan aku juga yang harus menyelesaikannya. Aku tidak mau hidup diatas penderitaan Abangku sendiri, Ayah.”
Air mata kini telah merambasi pipi putihnya. Dia tak lagi bisa menahan genangan itu untuk tidak keluar dihadapan Ayahnya. Bahunya berguncang hebat menahan sesenggukan yang ia paksa berhenti. Ayahnya tak tega melihat anak gadisnya serapuh itu. Dia tak pernah tahu, bahwa Ana begitu memikirkan masalah itu selama ini.
“Sudahlah, Nak. Kau tidak perlu memikirkan masalah itu. Biarkan Ayah yang mengurusnya. Ayah berjanji, Abangmu akan segera sadarkan diri.” Ujar sang Ayah, walaupun dia tak yakin dengan perkataannya sendiri.
“Tapi kapan, Ayah? Sampai kapan Abang harus menderita seperti itu?” Ana memandangi wajah Ayahnya yang semakin hari semakin menua. Terlihat sang Ayah sedang berpikir keras, “Apa sebenarnya Ayah tahu, penawar dari sakit yang Abang derita? Apa Ayah menyembunyikannya dariku selama ini? Ana mendesak sang Ayah dengan pertanyaan yang menuntut, “Jawab, Ayah!!!” suaranya sedikit meninggi, namun nadanya terdengar putus asa.
Dia merasa sangat lelah dengan semuanya. Ayahnya tak pernah bercerita apapun kepadanya. Tentang dirinya, orang tuanya, alasan kenapa dia tidak boleh mendaki gunung, bahkan penawar dari sakit yang Abangnya derita. Ana merasa putus asa jika harus mencari semua jawabannya sendiri. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, mencoba menghapus sisa-sisa air mata disana.
“Maafkan Ayah,” hanya itu kata yang terlontar. Kemudian Ayahnya pergi tanpa memberikan pernyataan apapun lagi pada Ana.
“kenapa semuanya harus disembunyikan dariku, Ayah. Kenapa?” batin Ana.
************************************************************************
Tok Tok Tok
Terdengar suara ketokan di pintu kamar Ana. Ketokan itu sudah terdengar kesekian kalinya. Ana tahu, itu pasti ayahnya. Semenjak percakapan tadi siang, Ana mengurung dirinya di kamar. Berulangkali Ayahnya mengajaknya makan, namun dia tak menggubris ajakan itu sama sekali. Bukan karena dia durhaka pada Ayahnya, namun hanya ini satu-satunya cara agar Ayahnya terbuka dan mau memberi tahu penawar sakit Abangnya.
“Nak, apa kau marah pada Ayah? Apa kau sudah tidak sayang Ayah?” perkataan Ayahnya sunnguh membuat hati Ana sakit. Namun dia harus bertahan, dia tidak boleh goyah sebelum Ayahnya memberi tahu yang sesungguhnya.
“Keluarlah, Nak. Ayo makan.” Ana tetap bersikukuh pada pendiriannya, meskipun ia tahu Ayahnya masih menunggunya dibalik pintu itu.
“Ana. Jangan mendiamkan Ayah seperti ini. Ayah sudah kehilangan Abangmu untuk diajak bicara. Apa kau juga tidak mau berbicara dengan Ayah?” suara serak itu membuat pertahanan Ana goyah. Dia tak mampu jika harus mendengar Ayahnya berkata seperti itu. Perlahan, dia membuka pintu kamarnya, menyaksikan sang Ayah berdiri disana, dan menghambur ke pelukannya.
“Maafkan Ana, Ayah. Ana hanya ingin Ayah memberitahu penawar itu. Itu saja. Ana tidak pernah punya niatan untuk mendiamkan Ayah,” ujarnya, masih dalam peluk Ayahnya.
“Baiklah, Ayah akan memberitahukannya nanti padamu. Tapi kau harus makan terlebih dahulu.”
“Benarkah, Ayah?” sang Ayah mengangguk dan mencium puncak kepalanya.
“Baiklah, Ana akan makan bersama Ayah.”
Sehabis makan malam, Ana menghampiri kamar sang Abang, diikuti oleh Ayahnya dari belakang. Mereka berdua duduk bersisian di tepi ranjang.
“Ayah, Ayah tahu kalau Ana sangat menyayangi Ayah dan Abang. Tolong jangan rahasiakan apapun dari Ana, Ayah. Ana hanya ingin tahu penawar dari sakit Abang” Ana menatap lembut mata sang Ayah. Berharap tak ada kata-kata yang bisa membuat Ayahnya tersinngung.
“Apa kau benar-benar ingin tahu penawar dari sakit Abangmu, Nak?”
“Iya, Ayah. Aku sangat dan sangat ingin tahu itu. Aku ingin menebus kesalahan yang dulu pernah aku lakukan pada Abang. Tolong beritahukan padaku Ayah.”
Sang Ayah menghela napas panjang sebelum memberitahukan segalanya pada Ana, “Dulu, sewaktu Ayah menolong Abangmu dari kebakaran itu, Ayah tidak pernah tahu kalau dia akan menjadi koma seperti saat ini. Ayah hanya berpikir, mungkin Abangmu butuh beberapa hari untuk bisa sadarkan diri. Tetapi, setelah beberapa bulan berlalu, dan Abangmu tak kunjung sadar juga, Ayah baru menyadari bahwa ada yang salah dengan kejadian waktu itu. Akhirnya, tanpa sepengetahuanmu, Ayah pergi ke hutan untuk bertemu dengan juru kunci gunung. Disanalah Ayah tahu kalau sewaktu kebakaran itu, Abangmu tidak sengaja menyentuh barang terlarang, sehingga menyebabkan dia menjadi koma seperti ini,” sang Ayah mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan ceritanya, “Dan untuk membuat Abangmu tersadar kembali, hanya ada satu cara, Nak. Dan Ayah belum bisa melakukannya sejauh ini.”
“Katakan padaku Ayah. Katakan apa penawar itu?”
“Kau juga tidak akan bisa melakukannya, Nak.”
“Kenapa tidak, Ayah? Aku akan melakukannya. Demi Abang.”
Perkataan anak gadisnya itu membuat sang Ayah tertunduk lesu. Bahkan Ayahnya sangat tahu, bahwa Ana tak ‘kan bisa melakukannya.
“Kau tidak akan bisa, Nak. Tapi baiklah, akan Ayah beri tahu padamu tentang penawar itu,” sang Ayah mengambil jeda beberapa menit untuk melanjutkan perkataannya, “Penawarnya adalah Bunga Edelweiss yang tepat berada di Kalimati. Abangmu akan tersadar saat Edelweiss itu didapatkan dan dibakar tepat di puncak Mahameru."
“Kalimati?” Ana mengulangi perkataan Ayahnya mengenai tempat bunga itu berada.
“Iya, Nak. Kalimati adalah tempat tumbuhnya Bunga Edelweiss yang ada di gunung Semeru. Tampat itu berada tepat sebelum puncak Mahameru. Kau tidak bisa kesana.”
Ana terdiam mencerna perkataan Ayahnya. Dulu, sewaktu dia kecil, Ayahnya sangat melarangnya pergi ke gunung Semeru. Bahkan dia juga dilarang pergi ke hutan dan jalur-jalur pendakian. Sewaktu dia memaksa ke hutan, kejadian menakutkan itu malah terjadi dan menyebabkan Abangnya sakit sampai saat ini. Ana kembali berpikir, bahwa Ayahnya melarangnya karena ada suatu alasan yang kuat, yang menyangkut dirinya, namun tidak diketahui olehnya.
“Ayah, kenapa aku tidak boleh ke hutan, jalur-jalur pendakian, atau bahkan mendaki gunung Semeru? Apa alasannya? Rahasia apa lagi yang belum aku ketahui, Ayah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
REYANA (The Secret Of Edelweiss)
RomansaSaat seorang gadis bernama "Anaphalis Javanica" harus menghadapi kemarahan Semeru karena dosa orang tuanya di masa lalu. Sedang dirinya harus mengambil bunga edelweiss dari gunung itu untuk menyembuhkan seseorang yang berjasa dalam hidupnya. Sampai...