“Mungkin pertemuan kita tak semanis kisah-kisah cinta mereka. Tetapi aku berharap, kisah ini akan direstui oleh semesta.” -Anaphalis Javanica
Rey melepas tas ranselnya, kemudian menyerahkannya pada Gibran. Lelaki itu terlihat sangat tegar meskipun raut lelah sangat kentara di wajahnya. Rey menggendong Ana dan mulai melanjutkan perjalanan. Gibran mengikuti langkah Rey dari belakang, sembari membawa tas ransel yang sudah Rey titipkan padanya.
"Apa Mas Rey tidak akan kelelahan kalau terus-terusan menggendong Ana seperti ini?" tanya Gibran saat mereka mulai melanjutkan perjalanan.
"Lelah itu pasti, Mas. Tapi saya akan berusaha menahannya sekuat tenaga, demi Ana," sahut Rey
"Memangnya Mas Rey kekasihnya ya? Sampai-sampai Mas rela melakukan ini semua demi dia?"
Rey tersenyum mendengar pertanyaan Gibran. Mungkin siapapun yang melihat perbuatan Rey yang seperti itu akan menyangka bahwa dia adalah kekasih Ana. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, dia melakukan semua itu tidak lain hanya karena rasa kemanusiaan. Dia merasa bahagia saat penderitaan orang lain dapat berkurang karena bantuan dirinya.
"Bukan, Mas. Saya juga baru bertemu dengan Ana, di pendakian ini. Tapi ada suatu hal yang membuat saya tidak bisa meninggalkannya sendirian," ucap Rey
"Eemm apa itu yang dinamakan cinta, Mas?" tebak Gibran
"Hahaha" seketika Rey terbahak. Jangankan kembali merasakan cinta, memikirkannya saja Rey sudah trauma. Kisah masa lalunya yang begitu kelam membuatnya tak ingin lagi mengenal rasa itu.
"Mas Gibran ngaco," ujar Rey sembari masih terkekeh pelan
"Loh kok ngaco, Mas. Merasakan cinta itu suatu hal yang wajar loh," timpal Gibran
"Mas Gibran benar. Jatuh cinta memang suatu hal yang wajar. Tetapi sakit karena dampak cinta itu yang membuatnya tidak wajar, Mas. Mungkin setiap orang akan berbeda persepsi tentang hal ini, tetapi bagi orang yang pernah trauma karena cinta, memilih untuk tidak merasakannya lagi itulah yang wajar." Rey mencoba menjelaskan keadaan hatinya saat ini kepada Gibran, bahwa trauma masa lalunya masih saja mengikutinya kemanapun ia melangkah.
"Duh, maaf ya Mas Rey, jika perkataan saya membuat Mas mengingat masa lalu yang tidak pantas lagi diingat," ucap Gibran merasa bersalah pada Rey.
"Santai saja, Mas. Tidak apa-apa kok."
Mereka terus berjalan menyosori lorong-lorong pendakian. Sesekali Rey meminta untuk istirahat, karena tubuhnya yang mulai terasa kelelahan. Perjalanan itu cukup menguras tenaganya, medan terus saja menanjak dan punggungnya mulai terasa pegal dan sakit.
Bagi sebagian orang pasti beranggapan tidaklah mungkin saat mendaki sambil menggendong orang lain. Hal itu terdengar seperti sebuah lelucon. Tapi Rey akan tetap berusaha untuk menjadikannya nyata. Rey yakin, apapun yang diusahakan, tidak mustahil untuk bisa benar-benar terjadi.
Di perjalanan itu, Rey berhenti beberapa kali. Saat tubuhnya mulai tidak kuat untuk melangkah, dia memutuskan untuk istirahat dan memulihkan keadaanya.
"Mas Rey, mau gantian?" tawar Gibran saat melihat Rey mulai kelelahan
"Tidak perlu, Mas Gibran. Saya hanya butuh istirahat sebentar," sahut Rey kemudian duduk dan membaringkan Ana diatas rerumputan.
"Kalau Mas Rey tidak kuat, tidak perlu dipaksakan, Mas. Bisa-bisa nanti berdampak buruk sama kesehatan Mas Rey sendiri. Kita bisa tunggu sampai Ana terbangun dari pingsannya." Gibran mencoba memberikan saran kepada Rey. Dia merasa kasihan melihat Rey dengan napas yang tak lagi teratur.
KAMU SEDANG MEMBACA
REYANA (The Secret Of Edelweiss)
RomansaSaat seorang gadis bernama "Anaphalis Javanica" harus menghadapi kemarahan Semeru karena dosa orang tuanya di masa lalu. Sedang dirinya harus mengambil bunga edelweiss dari gunung itu untuk menyembuhkan seseorang yang berjasa dalam hidupnya. Sampai...