{11}

1.2K 327 99
                                    

DONT FORGET TO LIKE AND COMMENT

HAPPY READING

*
*
*
*
*


Arka keluar dari ruang konseling dengan membawa surat peringatan di tangannya. Wajahnya memar, dan perutnya terasa sakit. Namun, ia tetap berjalan lurus menuju kelasnya tanpa mempedulikan para siswa yang terang-terangan menghinanya.

Ia masuk ke dalam kelas dan menuju bangkunya untuk mengambil tas, tapi yang ia temukan adalah tasnya yang sudah tergeletak di lantai dan semua bukunya sudah tidak ada.

Tas berwarna hitam itu ia ambil, lalu ia mengedarkan tatapan tajamnya pada seluruh teman sekelasnya.

"Dimana?"

Seisi kelas hening. Entah mereka tak peduli atau sedikit gemetar karena mendengar Arka yang untuk pertama kalinya berbicara dengan nada datar.

Brak

"GUE TANYA DIMANA?!"

Para siswa berjengit kaget ketika Arka menendang bangku dengan keras. Seorang siswi akhirnya menjawab dengan pelan.

"Di lapangan basket..."

Setelah mendengar itu, Arka langsung berjalan keluar. Meninggalkan teman sekelasnya yang langsung menghembuskan napas lega karena Arka sudah keluar.

Arka berjalan cepat ke arah lapangan basket. Ia bisa melihat gerombolan siswa yang entah mengerubungi apa, tapi ada asap yang sedikit mengepul ke atas.

Perasaanya sudah tidak enak. Ia menghampiri kerumunan itu dan melihat sesuatu yang membuat kepalanya mendidih.

Di sana, ada buku-bukunya yang tengah dibakar oleh beberapa siswa yang ia kenali sebagai langganan peserta olimpiade.

Dengan kasar, Arka mendorong siswa lain yang hanya melihat tanpa mau bertindak untuk menyingkir. Langkahnya membawanya berdiri di depan para siswa arogan itu.

Arka menginjak buku-bukunya yang tengah terbakar supaya apinya cepat padam. Setelahnya, ia memungut sisa-sisanya ke dalam tasnya tanpa banyak kata. Menghiraukan tatapan semua siswa yang seakan mencabik-cabik tubuhnya tanpa ampun.

Arka bangkit dan berjalan menjauh. Ia ingin pulang. Menenangkan batinnya yang lelah.

Namun baru beberapa langkah ia menjauh, netranya menangkap seseorang yang begitu ia kenal tengah berdiri memperhatikannya dengan dingin. Dia adalah Aksara. Sesok sahabat yang begitu Arka lindungi.

Arka berhenti dan menatap sahabatnya itu. Tapi sosok Aksara malah berbalik dan berjalan menjauh seolah enggan bertatap muka dengannya.

Dalam hati, Arka tertawa keras. Ia tergelitik dengan kejadian yang dilihatnya hari ini. Bagaimana tombak yang dulu ia asah sekarang malah berbalik menusuk ke arahnya.

Arka kembali melangkah pergi. Ia ingin tidur dan berharap ini semua adalah mimpi.

~~Arkasena~~

Sedikitnya Arka bersyukur karena masyarakat umum tak begitu tau tentangnya. Jadi dalam perjalanan pulang, ia bisa lalui dengan nyaman.

Namun, ternyata ia salah.

Di depannya ada segerombolan siswa yang menghadangnya. Arka kenal. Mereka adalah anak-anak Dewan Ambalan yang pernah ia ancam karena menjelek-jelekan Bima.

Arka menatap mereka tanpa ekspresi. Sementara yang ditatap mengeluarkan senyum remeh.

"Ini yang katanya mau ngelaporin kita ke Sean? Ternyata anaknya penjahat hahaha"

Kedua tangannya mengepal kuat mendengarnya. Namun, untuk sekarang Arka sudah lelah. Ia hanya ingin istirahat.

"Minggir, saya mau pulang."

Baru saja Arka akan lewat, tasnya langsung ditarik dan ia di dorong hingga terjatuh. Selanjutnya ia diseret ke sebuah gang sepi. Beberapa kali Arka meminta pertolongan, tapi orang-orang acuh seakan mereka tak melihat Arka yang tengah membutuhkan empati mereka.

Tubuhnya terhempas menghantam tanah lembab yang dipenuhi lumut. Arka berusaha bangkit, namun pundak kirinya langsung diinjak oleh salah satu dari mereka.

Siswa yang sejak tadi memimpin berjongkok di samping Arka yang terlentang. Senyum mengerikan tersungging di wajahnya membuat Arka sedikit ngeri.

"Ri, pisau."

Sebuah pisau lipat pun diberikan pada remaja yang masih di samping Arka. Jantung Arka berpacu dengan cepat saat melihat benda mengkilap itu kini ada di hadapannya.

"Kalian___AAAARGHH!"

Rasa sakit menyerang lengannya ketika pisau itu mengiris kulitnya hingga menembus dalam. Darah mengucur dan sang korban hanya bisa menjerit kesakitan.

Para remaja tadi malah tertawa terbahak-bahak. Bahkan salah satu dari mereka merekam semuanya. Kepala Arka tertoleh ke samping. Seseorang yang Arka kenali tengah berdiri di ujung gang.

"BIMA!!! BANTUIN ABANG!!!"

"BIMA!!! ABANG MINTA TOLONG!!!"

"BIMA!!!"

Berkali-kali Arka berteriak meminta tolong, namun sosok Bima yang sudah ia anggap adik sendiri tak bergerak sedikitpun dan malah memandang Arka dengan tatapan datar.

"Hahaha, minta tolong sama dia? Justru dia yang ngasih tau jalan pulang lo ke kita, bego!"

Kepala Arka ditoyor dengan kasar oleh remaja yang masih asik melukiskan goresan berdarah di lengan kirinya. Mereka semua menertawakan Arka yang sekarang menatap nanar ke arah Bima.

Perasaan Arka hancur tak bersisa. Dalam satu hari, empat orang sahabat sudah berhasil menorehkan masing-masing luka padanya.

Kini Arka pasrah. Ia tak melawan saat tubuhnya dipukul menggunakan balok kayu oleh adik-adik kelasnya ini. Rasa sakit di sekujur tubuhnya tak sebanding dengan rasa sakit yang teramat sangat pada hatinya.

Para remaja tadi semakin brutal. Mereka meludah, menginjak, dan menendang tubuh Arka yang sudah lemas tak berdaya.

Di sisa-sisa kesadarannya, Arka kembali menoleh pada Bima yang masih terdiam sebelum akhirnya remaja itu berlalu begitu saja meninggalkannya.

Tak dapat dideskripsikan bagaimana hancurnya Arka sekarang. Sedih, kecewa, marah, dan murka bercampur menjadi satu. Semua bentuk pertolongan dan pengorbanannya serasa tak kasat mata sekarang.

Air mata mengalir membasahi bumi yang mendekapnya erat hingga akhirnya semesta mengurangi kesakitan yang tengah Arka alami dengan merenggut kesadaran remaja malang itu.

TBC


Biar adil, aku buat pasangan kakek dan cucu ini sama-sama merasakan kesakitan✌

DAMAGRANTI || PJSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang