DONT FORGET TO LIKE AND COMMENT
HAPPY READING
*
*
*
*
*
Netranya mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan terangnya cahaya yang menyambut secara tiba-tiba. Melirik ke kanan dan kiri berusaha mencari tau dimana ia sekarang.Saat ingin bangun dan mencoba duduk, kepalanya terasa sakit luar biasa. Ringisan pun tak bisa dielakan untuk keluar dari belah bibirnya.
"Ini dimana?"
Sang pemilik suara, Arka, memandang sekeliling sembari memegangi kepalanya. Tak sengaja ia melirik sebuah pigura yang terpajang di dinding, dan setelahnya ia menghela napas.
"Apart kakek."
Arka memeriksa dirinya sendiri yang sekarang sudah berganti pakaian dan luka-lukanya sudah diobati bahkan lengan kirinya juga diperban. Ia menghembuskan napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.
Duduk diam merenung. Arka kembali mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Lagi-lagi hatinya berdenyut perih saat tatapan datar tanpa senyuman dari Mahesa, Sean, Aksara, dan juga Bima kembali membayanginya.
Tangan kananya terangkat dan menepuk dadanya sendiri berkali-kali mencoba meredamkan sakit yang menyiksa.
"Bangsat, sakit banget ternyata."
Sepanjang hari ini, dia belum bertemu Dhimas karena berbeda kelas dan jurusan. Ia juga belum mengabari Juna yang masih ada di rumah sakit. Secercah harapan terlintas dibenaknya. Berharap jika dua orang itu mau menerimanya terlepas dari silsilah keluarganya yang punya masa lalu kelam.
Arka berjengit saat suara nyaring dering ponselnya terdengar. Dengan sedikit kepayahan, ia meraih benda persegi itu. Ia menyeringit saat nomor tidak dikenal terpampang di layar.
"Halo?"
"Bang Arka? Ini Juna."
Senyum merekah tak bisa Arka sembunyikan. Ia menegakan posisinya dan kembali berbicara.
"Juna? Kamu pakai nomor siapa?"
"Gue pinjem handphone salah satu suster di sini, bang."
"Lho, ponselmu kemana?"
"Gue jual ponsel, laptop, juga ipad tadi pagi. Gue butuh uang buat pengobatan kak Divia, maaf baru ngabarin."
Senyum Arka sedikit luntur dan digantikan oleh raut wajah cemas saat mengetahui keadaan Juna sekarang.
"Terus sekolahmu gimana?"
"Gue izin ngga masuk buat beberapa hari ke depan sama wali kelas. Dan untungnya disetujuin. Gue mau ke bandung, kak Divia harus ditanganin sama psikolog di sana."
"Kenapa kamu ngga kasih tau? Abang bisa bantu biayanya."
Terdengar tawa pelan mengalun dari Juna. Sebelum akhirnya remaja itu kembali berkata.
"Bang Arka udah banyak bantuin gue selama ini. Gue ngga mau ngerepotin bang Arka lagi, selagi gue mampu, gue bisa hadapin sendiri kok."
"Juna, kamu ngga ngerepotin sama sekali." tegur Arka.
"Bang, perasaan gue dari kemarin udah ngga enak. Lo ngga pa pa kan?"
Senyum Arka kembali tersungging, tapi kali ini bukan senyuman manis seperti biasa melainkan senyum miris yang ia tujukan pada dirinya sendiri.
"Gue percaya sama menfess tadi malem. Tapi gue juga percaya sama lo bang. Lo pasti punya alasan kenapa harus nyembunyiin itu semua. Anak-anak yang lain ngga aneh-aneh, kan?"
Arka membisu. Ia ingin menjawa iya, tapi itu pasti akan membuat Juna khawatir. Ingin menjawab tidak, namun sekujur tubuhnya mengatakan hal lain.
"Gue sedikit tenang karena di sana ada bang Mahesa dan yang lain. Mereka pasti ngejaga lo."
Arka menertawakan perkataan Juna dalam hati. Air matanya turun bulir demi bulir membasahi pipinya.
"Gue minta maaf banget bang, gue ngga bisa dampingin lo sekarang. Tapi gue janji, setelah kak Divia lebih baik, gue bakal langsung pulang dan sekolah."
"Iya. Sekarang kamu fokus sama kak Divia dulu. Abang tutup ya, mau tidur lagi."
"Hm, bye bang Arka. Tungguin gue pulang ya."
Tanpa membalas lagi, Arka langsung mematikan sambungan telepon dan melemparnya ke samping. Atensinya melekat pada sebuah foto yang berisikan dua orang remaja laki-laki berupa sama yang saling merangkul satu sama lain. Dirinya teringat dengan kisah pilu yang tertuang apik di dalam buku yang tadi malam ia baca.
Tentang kisah hidup kedua kakeknya yang malang. Yang harus terpisah sejak kecil. Yang harus mendapat siksaan fisik dan batin hingga remaja. Yang harus kembali terpisah untuk mempertanggungjawabkan kejahatan yang mereka perbuat.
Harus saling melepaskan karena maut mengambil salah satu dari mereka terlebih dahulu. Kakak beradik yang sekarang sudah kembali bersatu dalam keabadian di atas sana.
Rasa bersalah kembali menyergap rongga dadanya di saat ia menyumpahi sosok sang grandpa kemarin. Sekarang ia tahu kenapa sang kakek begitu murka padanya.
"Grandpa... Arka minta maaf... " lirihnya sambil terisak.
Saking tak kuatnya, Arka sampai menjambak rambutnya sendiri. Mengumpati dirinya yang dengan lancangnya berkata kasar pada keluarganya sendiri.
Ponsel yang tergeletak di samping kembali menyala, menampilkan sebuah pesan dari sosok sahabat yang kembali menorehkan luka tanpa permisi.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
DAMAGRANTI || PJS
Fanfiction[DILARANG MENIRU ALUR DAN ASPEK DALAM CERITA INI. JADILAH SEORANG PEMBACA DAN PENULIS YANG BIJAKSANA] ~Enhypen lokal fanfiction~ Mengisahkan tentang Arkasena. Remaja biasa dengan segala lika-liku kehidupannya. Start : 26 Juni 2021 End : -