Prolog

11 1 0
                                    

Angin berhembus ganas, dedaunan yang tadinya bertengger di ranting akhirnya lepas juga kalah dengan kekuatan angin. Awan makin gelap, rintik demi rintik mulai turun menyapa bumi. Jalanan malam itu lengang, kendaraan yang lewat dapat dihitung jari.

Sebuah mobil hitam melaju di atas jalanan yang penuh genangan air, membelah tirai-tirai hujan dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Kamu peringkat empat lagi?" kerutan pada dahi wanita itu dengan jelas menunjukkan suasana hatinya.

"Kamu ada masalah apa sih Theo? Mama udah masukin kamu les-les paling bagus dan bisa-bisanya kamu masih stuck di peringkat empat sialan itu?"

"Kamu bahkan gagal casting juga."

"Apa sih yang bisa mama banggain dari kamu?"

"Mama muak Theo, mama capek dipermaluin terus karena kamu. "

"Aku benci mama," batin cowok itu. Hanya dalam hati dan akan tertanam dalam hati.

Kebencian yang tertanam. Berarti dapat tumbuh besar selama sang mama terus menyiraminya dengan luka dan serangan menyakitkan itu.

Meski sudah sangat sering mendengar kalimat merendahkan dari ibunya, namun Theo tetap merasa terluka. Ibunya seperti sedang menabur garam di atas luka yang menganga. Sangat perih.

"Mama beneran malu ya sama kamu. Kamu tahu, gimana panasnya kuping mama di mana-mana denger teman-teman mama banggain anak-anaknya sementara mama cuman bisa diam dengerin mereka. Di tambah lagi cuman jadi pemeran figuran. Kamu ngapain aja sih selama ini? Bisa kan buat mama bangga? Jangan cuman tau bikin malu aja," komentarnya di sela-sela kesibukan menyetirnya.

"Iya, Ma. Aku akan belajar lebih giat. Aku juga akan berusaha dapat peran lebih bagus lain kali," balas Theo tak ingin memperpanjang masalah. Hari ini, ia hanya sangat lelah.

Theo lalu menyandarkan dahinya di jendela, tatapan sendu itu menatap kosong ke luar jendela, melihat deretan pohon di pinggir jalan yang seperti sedang bergerak.

Maya menatap putranya, "Kamu juga bilang begitu dulu."

"Kamu harusnya bisa contoh kakak kamu-"

"Kata-kata itu lagi," batin Theo dengan dada yang bergemuruh menahan sesak. Diperlakukan tak adil dan juga selalu dibanding-bandingkan

"Dulu waktu dia seusia kamu, dia nggak pernah tuh buat mama kecewa kayak gini. Dia pintar, selalu menangin lomba, pokonya selalu banggain mama. Sedang Kamu. Kerjaannya cuman buat mama malu."

"Maaf, ma," lirih Theo sedikit bergetar.

Ujung hidungnya perih, matanya terasa panas lalu mulai berkaca-kaca, hari ini dengan semua kegagalan itu, ia butuh pelukan atau setidaknya hiburan namun yang ada hanya serangan yang menohok. Mamanya tak akan menyadari kesedihan itu, bahkan melihatnya saja tidak. Bagi Maya, satu-satunya orang yang menderita di sini hanyalah dirinya.

Laki-laki itu memejamkan mata sejenak hingga membuat bulir bening luruh di kedua pipinya. Ah, sesak itu tak kunjung lenyap.

Maya menarik tangan Theo agar Theo menatapnya, "Kamu kalau dikasi tahu, dengerin baik-baik! Lihat mama! Kamu kayak gini terus, masuk telinga kanan keluar telinga kiri."

Theo yang baru saja memperbaiki posisi duduknya menghadap ke depan justru langsung dibuat terkejut ketika truk sedang melaju ke arah mobil mereka, "Maaa..." teriaknya refleks.

Maya langsung menatap ke depan, jeda beberapa detik baru kemudian memutar setir begitu cepat untuk menghindari truk tersebut.

BRUKKKKK

Semuanya terjadi begitu cepat, bahkan tak ada waktu untuk memutuskan hal terbaik yang harus dilakukan di situasi krisis ini, semuanya terjadi begitu saja.

Yura dan BintangnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang