Part 1. Naik Daun

6 0 0
                                    

Part 1. Naik Daun

Jakarta, 9 juli 2021

"Bagus-bagus," komentar wanita bersanggul itu dengan mata fokus menatap layar ponsel.

Dering ponsel mengejutkannya, senyumnya semakin lebar lalu mengangkat panggilan telepon di ponselnya.

"Halo Daniaa...," sapanya begitu ceria.

"Haalo tante."

"Kamu udah lihat beritanya 'kan? Selamat ya, filmnya sukses besar, tiketnya laris. Tante senang banget."

"Iya tante. Dania senang banget. Para pemerannya juga dapat banyak komentar positif."

"Bener ... bener, tadi sempat cek instagramnya Theo, pengikutnya sampai sejuta. Padahal Theo bukan pemeran utama."

"Tapi justru peran Theo lebih dicintai penonton tante daripada pemeran utamanya. Apalagi Theo masih baru dan ganteng hehehe."

Theo keluar dari kamarnya dalam keadaan rapi, ia mengernyit melihat ibunya di ruang keluarga sana nampak begitu bahagia berbicara dengan seseorang lewat telepon.

Maya menutup sambungan telepon, "mau ke mana kamu? Bukannya acara perilisan film udah selesai?"

"Mau ke sekolah, ma," balas Theo.

"Dania mau datang makan bareng, jadi jangan pergi-pergi dulu!" sebuah perintah yang tak ingin ditolak.

"Mama makan berdua aja sama Dania."

"Kamu juga mau ngapain sih ke sekolah? Bukannya lagi libur karena penerimaan siswa baru?"

"Aku diminta tampil di acara penutupan, ma."

"Dania itu mau kalau kamu juga ada. Toh ini buat ngerayain suksesnya film kalian."

"Ma, ini Bu Tyas yang minta langsung. Aku nggak enak kalau nolak. Apalagi selama ini, dia bantuin aku soal pelajaran selama aku syuting. Kalau nggak ada Ibu Tyas mungkin aku udah tinggal kelas."

Maya mendekat dengan tangan terlipat depan dada, "dan kamu nolak permintaan mama?"

Theo menunduk, mengambil nafas dalam-dalam, "maaf, ma."

"Sudah pergi sana!"

Theo mengangguk ragu, "Theo pergi, assalamualaikum." Lalu ia mematri langkah keluar.

"Makanya kamu harusnya belajar giat! Jadi nggak perlu ngerepotin orang kayak gitu. Lagian naik kelas tapi peringkat bawah nggak ada gunanya Theo. Jangan jadiian alasan main Film buat kamu malas. Kalau kamu selalu dapat nilai rendah, gimana mau masuk universitas."

Theo berjalan sambil mendengarkan semua serangan itu, membuat bahu bidangnya mengendor. Ibunya bahkan tidak memujinya karena kesuksesan filmnya, ibunya bahkan tak tahu betapa lelah dirinya, tapi ibunya selalu menuntut untuk menjadi sempurna agar bisa dibanggakan di depan teman-teman DPR-nya.

---

Saat semua orang sedang berkeliaran karena jam istirahat, seorang laki-laki nampak duduk di sudut kelas, tatapan tajamnya tertuju pada layar ponselnya, seolah ada sesuatu yang amat ia benci di sana. Satu tangannya tanpa sadar sudah meremas kuat kertas hingga kertas itu berpisah dari buku.

"Bisa-bisanya lo bahagia?" batinnya.

"Bisa-bisanya lo masih berani hidup?"

"Nggak tahu malu."

Laki-laki dengan bibir tebal itu membanting ponselnya di meja, memalingkan wajah dari layar ponsel yang menunjukkan wajah Theo Alstar. Ia menghembuskan satu helaan nafas kesal dari mulutnya, tatapan tajam itu hilang berganti sendu. Ia lalu mengusap dahinya, "papa," lirih laki-laki itu. Ia merasakan sesak begitu dalam setiap kali mengingat tentang ayahnya.

Yura dan BintangnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang