Izuru mengerjapkan matanya pelan, mata rubynya lantas menilik kearah jam weker yang terletak tepat di meja samping kasurnya. Jam 05:30, angka itu lah yang tertera di jam weker itu. Hari masih terbilang sangat pagi, dan sayup-sayup ia bisa mendengar suara dari luar kamarnya, suara itulah yang membangunkan dirinya.
Ia pun bangkit dari kasur, apa Hajime sudah bangun? Kenapa ia bangun pagi sekali? Bukankah sekolah dimulai jam delapan pagi?
''Hajime?" ucapnya selepas ia membuka pintu, sosok yang ia kenal berdiri di depan kompor dengan menggunakan celemek putih. ''Izuru? Sepertinya aku membangunkanmu ya? Maaf.''
''Tidak apa-apa,'' Izuru berjalan menuju samping Hajime, ''Sedang masak apa?''
''Aku sedang memasak ebi untuk bekal.''
''Bukankah ... itu terlalu banyak untuk kau makan sendiri? Kau mau membuat bekal untuk siapa saja?''
Untuk sesaat, gerakan tangan Hajime terhenti, ''Untukku, untukmu dan ... Komaeda.''
Entah mengapa, Izuru sudah menduganya. ''Hmm ... kau sudah berteman lagi dengannya ya?''
''Yaa, walau awalnya dia keras kepala. Kami belum sedekat dulu, tapi masih lebih baik daripada tidak sama sekali.'' sahut sang brunet, Izuru terdiam sesaat saat melihat senyum tipis terukir di wajah saudaranya itu.
''Kau tidak tidur lagi, Izuru? Masih ada waktu untuk tidur.''
''Tidak, aku akan menemanimu saja. Kau mau kopi? Biar kubuatkan.''
''Ah, iya. Terima kasih!''
🍀
Hinata sudah sampai di depan rumah Nanami dan Komaeda, mereka berdua belum muncul. Apa dirinya yang terlalu pagi?
Tidak, sekarang sudah jam 07.30. Tapi tak ada tanda-tanda mereka berdua akan keluar dari rumahnya.
''Kemana mereka ... '' gumamnya kesal, ia memilih untuk menghampiri Nanami terlebih dahulu.
Ting tong!
Setelah beberapa saat, salah satu penghuni rumah itu muncul, ''Eh, kak Hinata? Sedang menunggu kak Chiaki ya?''
''Ehm, ya ... apa dia sudah bangun?''
''Sudah, dia akan keluar sebentar lagi. Aku duluan ya kak!'' ucap Chihiro terburu-buru sebelum sosoknya menghilang dibalik tembok.
Kini matanya menatap rumah Komaeda, ia mencoba untuk memencet bel, namun tak ada sahutan.
''Hinata-kun? Maaf menunggu lama.'' ucap Nanami dengan rambut yang sedikit berantakan, ''Dimana Komaeda-kun?''
''Entahlah ... '' Jujur, dirinya penasaran, kemana lelaki surai susu itu.
''Kita tunggu lima menit lagi, kereta datang jam 07:45, kita masih ada waktu.''
Setelah ditunggu, sang pemilik rumah bercat pastel itu pun datang dengan raut yang acak-acakan, Hinata mendelik. ''Kalian kenapa malah berpenampilan seperti ini sih?''
''Ahh, maaf ... aku habis tersandung.'' ucapnya kikuk.
''Komaeda-kun sering kena sial ya.''
''Itu harga yang kubayar untuk mendapat keberuntungan, ahaha.''
Alis dua temannya mengerenyit heran, ''Baiklah, hei, ada luka gores di sebelah sini.'' Hinata menunjuk pipinya sendiri, mengisyaratkan luka yang ia maksud.
''Mana?''
''Sebentar,'' Hinata menggeledah tasnya dan mengeluarkan sesuatu. ''Ini dia!''
''Eh, apa–" Sebelum berkata-kata, sesuatu menempel di pipi Komaeda, sebuah plester luka dengan gambar kelinci. ''Abaikan saja gambarnya.''
Komaeda membatu, memegangi pipinya. Dan seperti biasa, Hinata tak begitu ambil pusing.
Di sisi lain, tampaknya Nanami cukup menikmati drama sabun sederhana yang ditampilkan dua kaum adam itu.
''Ayo cepat berangkat, kereta akan datang empat menit lagi.''
''APA!?"
🍀
Hinata's POV
Sesampainya di sekolah, tentunya kami langsung duduk di bangku masing-masing. Di sepanjang perjalanan, Komaeda tidak berbicara sepatah kata pun dan malah mengalihkan pandangannya ketika aku mengajaknya berbicara.
Jika kuperhatikan ... kulitnya ternyata putih dan pucat, bahkan lebih putih dari gadis-gadis yang ada di sini. Tubuhnya pun kurus untuk seukuran laki-laki setinggi 180cm, ditambah lagi dengan bulu matanya yang lentik.
Itu yang kuperhatikan semenjak aku bertemu dengannya.
Apakah dia hidup dengan baik selama ini? Semenjak ditinggal kedua orangtuanya, siapa yang mengasuhnya? Dia tergolong underweight, dan itu tidak kelihatan sehat baginya.
Jari-jarinya pun tampak kurus dan rapuh.
''Aduh–" Dengan ceroboh, ia menjatuhkan penghapusnya ke lantai, dan kebetulan penghapus itu terjatuh dekat dengan bangkuku, tentu saja aku berinisiatif mengambilkannya. Begitu juga tangan Komaeda yang hendak menggapai penghapus itu, jadi secara langsung tangan kami bersentuhan.
''M-maaf!'' ucapnya sambil mengambil penghapusnya dengan sigap, wajahnya tampak memerah dan terlihat jelas akibat kulitnya yang putih pucat itu. Aku pun hanya mengerjap bingung.
Ada satu hal yang kulihat di penghapus itu, ada sebuah tulisan ''–ta'' yang terdapat di balik kertas penghapus itu.
Dia ... sedang menyukai seseorang rupanya, maka dari itu dia tampak malu dan gugup saat aku hendak mengambilkan penghapusnya.
''–ta'' ya ... siapa ya kira-kira? Kuwata? Momota? Tidak mungkin sih, haha. Yang pasti wajahnya ketika malu-malu itu tampak lucu sekali.
Kulirik dia sekali lagi, kini dia benar-benat enggan memandang ke arahku maupun Nanami, ia hanya tertunduk, dan aku tak bisa melihat wajahnya karena tertutup rambut seputih saljunya itu.
Jika dia sedang jatuh cinta, kurasa aku bisa memberinya beberapa saran sebagai teman. Walau aku bukan orang yang pandai dalam menasihati orang, setidaknya ini salah satu hal yang bisa kulakukan sebagai teman.
Kini aku memangku kepalaku sembari menatap keluar jendela dengan senyuman yang terukir di wajahku. Bunga-bunga musim semi masih berkembang di luar sana, ditiup angin semilir yang sedikit menggelitik pipiku.
Hajime ga peka.
Btw buat yang gak tau, di Jepang itu ... seseorang yang menulis nama orang yang disukainya di balik kertas penghapus, berharap cintanya berbalas.
Sebenarnya ini cuma salah satu love charm, ada lagi yang kaya ''under the umbrella'' charm.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucky (un)Lucky | Danganronpa, KomaHina Fanfiction
Fiksi Penggemar⚠ Boys love a.k.a yaoi/male x male content ⚠ Hajime Hinata, lelaki sepantaranku yang sangat mengagumkan. Disukai siapa saja, ramah, baik, dan pastinya pemberani. Sangat berbanding terbalik denganku yang hanya seonggok sampah ini, namun ia tetap beru...